Presiden Joko Widodo dalam pengantar rapat terbatas mengenai kebijakan pembangunan kelautan, di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (15/6/2016) mengatakan Indonesia bisa menjadi negara besar bila mampu mengolah potensi luar biasa dari sektor kelautan.
“Dari informasi yang saya peroleh, potensi ekonomi sektor kelautan di Indonesia adalah 1,2 triliun dolar AS per tahun. Dan diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja 40 juta orang. Sektor kelautan bisa menjadi penggerak ekonomi kita,” kata Presiden Jokowi seperti dikutip dari situs Sekretariat Kabinet.
Itu berarti masih banyak potensi laut Indonesia yang belum dimanfaatkan secara maksimal, sehingga Presiden menginginkan program pembangunan sektor kelautan harus dilakukan lebih terarah, lebih tepat sasaran, dengan mengkonsolidasikan seluruh program pembangunan.
“Saya juga perlu menekankan bahwa kebijakan pembangunan kelautan tidak hanya bagus di atas kertas, namun harus betul-betul memberikan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan nelayan, kesejahteraan rakyat kita,” tambahnya.
Potensi Kelautan
Indonesia memang menyimpan potensi kelautan yang sangat besar. Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (Ganti) Rokhmin Dahuri menyebutkan potensi produksi lestari ikan laut sebesar 7,3 juta ton per tahun atau sekitar 8 persen dari total stok ikan laut di dunia.
Dengan total potensi produksi perikanan budidaya (akuakultur) di laut, perairan payau (tambak), dan perairan tawar diperkirakan sebesar 60 juta ton per tahun, maka total potensi produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya mencapai 68 juta ton per tahun. Oleh karena itu FAO pada 2012 menyatakan potensi produksi perikanan di Indonesia terbesar di dunia.
Sementara Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PDSPKP KKP) Nilanto Perbowo mengatakan total produksi ikan nasional pada 2015 mencapai 13,7 juta ton.
Potensi Ikan Tuna
Salah satu jenis ikan yang menjadi primadona dengan nilai ekonomi yang tinggi adalah ikan tuna. Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli mengatakan menurut data FAO pada 2014, sekitar 6,8 juta metrik ton tuna dan sejenis tuna ditangkap oleh banyak negara di seluruh dunia. Dan 16 persennya atau 1,1 juta ton per tahun merupakan pasokan dari Indonesia.
“Indonesia memiliki kontribusi cukup signifikan dalam bisnis tuna dengan mengekspor sekitar 209,410 ton dengan nilai produksi mencapai 768,4 juta USD pada tahun 2013. Tentunya nilai ekonomi dari perdagangan produk perikanan tuna Indonesia ini sangat besar dan menjadi peluang yang baik bagi para pelaku usaha tuna Indonesia,” ujar Rizal Ramli dalam 2nd Bali Tuna Conference (BTC-2) dan 5th International Coastal Tuna Bussiness Forum (ICTBF-5) pada Mei 2016 di Bali.
Oleh karena itu, Rizal yakin dan berharap KKP mampu meningkatkan jumlah produksi tuna sehingga dapat meningkatkan jumlah ekspor ikan tersebut untuk memenuhi sampai 25 persen kebutuhan global.
Akan tetapi ada permasalahan dalam produksi tuna dunia, dimana berdasar data FAO, sepertiga stok tuna yang ada saat ini diperkirakan ditangkap pada kondisi biologically unsustainable levels. Sedangkan stok tuna sisanya ditangkap pada kondisi maksimum (fully fished).
Data stok sumberdaya tuna yang sama, khususnya di bagian barat Samudera Hindia, juga telah mengalami penurunan yang cukup signifikan sebesar 30% selama beberapa tahun terakhir. Penurunan ini umumnya disebabkan oleh kegiatan IUU Fishing.
Data Produksi Tuna
Koordinator Kajian Bidang Strategis Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Alan Koropitan mempertanyakan tentang data produksi perikanan tuna sebesar 1,1 juta ton per tahun.
“Perlu dipastikan apakah (data produksi tuna) 1,1 atau 1,2 juta ton per tahun, karena data dari KKP itu data sejak 2011 dan belum pernah dikoreksi,” katanya.
Alan menjelaskan tahun 2011 ketika armada kapal besar penangkap tuna masih beroperasi penuh, produksi tuna mencapai 800.000 ton per tahun. “Ikan tuna yang diekspor 200.000 ton, sehingga ada selisih 600.000 ton. Jumlah itu kemana? Apa semua masuk ke pasar domestik? Saya tidak yakin. Mungkin jumlah itu yang diekspor, tapi tidak tercatat. 600.000 ton tuna kalau diopitimalkan ke pasar domestik, akan luar biasa,” kata Lektor Kepala bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB itu.
Sedangkan saat ini, armada kapal penangkap ikan tuna yaitu kapal diatas 30 GT sedikit yang beroperasi karena masih dilakukan analisis dan evaluasi (anev) kapal oleh Tim Satgas IUU Fishing. Ini mempengaruhi produksi penangkapan ikan.
Data KKP dan KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) pada 2015, sebanyak 635.820 kapal atau 99 persen armada perikanan Indonesia beroperasi di perairan kurang dari 12 mil laut. Kapal tersebut berspesifikasi kapal tanpa mesin dan atau mesin tempel.
Sedangkan 4.320 kapal besar berukuran diatas 30 gross tonnage (GT) atau 1 persen dari jumlah armada kapal di Indonesia yang beroperasi di perairan zona ekonomi ekslusif (ZEE). Karena tuna merupakan ikan pelagis yang berada di lautan dalam seperti di ZEE, Alan menduga, produksi tuna sebesar 800.000 ton per tahun pada 2011, saat ini mengalami penurunan.
Overfishing Tuna
Badan Pusat Statistik (BPS) dan KKP menyebutkan pada kuartal II 2015, produksi tuna mengalami peningkatan 15,47 persen, dimana madihidang (tuna madidihang/yellowfin tuna) meningkat 18,21 persen, tuna sirip biru meningkat 74,60 persen, dan tuna mata besar (bigeye tuna) mengalami peningkatan 10,11 persen.
Direktur Program Coral Triangle WWF Indonesia Wawan Ridwan mengatakan hasil tangkapan tuna Indonesia memang mengalami peningkatan sebagai hasil dari aktivitas penangkapan di perairan pasifik (Wilayah Pengelolaan Perikanan/WPP 716 dan WPP 717 sebagai bagian dari Western and Central Pacific Fisheries Commission/ WCPFC), perairan kepulauan (WPP 713, WPP 714, WPP 715) dan perairan samudra Indonesia (WPP 572 dan WPP 573 sebagai bagian dari Indian Ocean Tuna Commission/IOTC).
Tetapi Indonesia perlu mewaspadai stok ikan tuna di perairan Samudera Indonesia. Data dari IOTC menyebutkan rata-rata penangkapan tuna madidihang pada 2010 – 2014 sebesar 373,824 ton. Sedangkan penangkapan tuna madidihang pada tahun 2014 mencapai 430,327 ton, sudah melewati angka penangkapan maksimum (maximum sustainable yield/MSY) yaitu 421 ton. Sehingga penangkapan ikan tuna madidihang dianggap sudah overfishing.
Jika ingin memulihkan stok tuna madidihang pada level 50 persen pada 2024, maka IOTC menyarankan penangkapan dikurangi sebesar 20 persen dari tingkat penangkapan tahun 2014.
Sedangkan penangkapan cakalang (skipjack tuna) pada tahun 2014 mencapai 432,467 ton, dengan rata-rata penangkapan sebesar 402,229 ton, masih dibawah angka penangkapan maksimum yaitu 684,000 ton.
IOTC memprediksikan bila penangkapan tidak dibatasi, maka pada 3 – 10 tahun mendatang, stok tuna madidihang dan cakalang tidak bisa kembali pada posisi stok awal. Ini membahayakan bagi keberlangsungan tuna tersebut.
Sementara produksi perikanan tuna Indonesia dari kawasan Samudera Hindia, kebanyakan berupa tuna madidihang dan cakalang. Sehingga apabila penangkapan dua jenis tuna tersebut tidak berkelanjutan dan overfishing, maka dalam jangka panjang, akan mengalami penurunan produksi tangkap, yang berujung pada penurunan pendapatan nelayan dan pendapatan Negara.
Pengaturan Penangkapan
Oleh karena itu, Wawan menyarankan agar mewaspadai tren penurunan stok dari tuna madidihang di Samudera Hindia. Hal ini terjadi terutama karena tidak adanya pengelolaan penangkapan tuna di kawasan IOTC, sehingga sangat disarankan agar IOTC untuk mulai memberlakukan pengaturan penangkapan ikan tuna di Samudera Hindia melalui penggunaan harvest strategy dan implementasi harvest control rule.
Untuk pengaturan ini, ada contoh inisiatif positif dari Komisi Perikanan Pasifik Barat dan Tengah (WCPFC) yang mulai mengatur penangkapan ikan tuna sebagai embrio untuk mendukung implementasi harvest control rule. WCPFC merupakan komisi yang beranggotakan 26 negara, yang mengatur pengelolaan dan penangkapan ikan di wilayah tersebut.
Pengaturan tersebut menjadi penting, karena kebiasaan hidup juvenile ikan tuna madidihang yang biasanya hidup bergerombol dengan cakalang dewasa. Selain pelarangan penangkapan pada musim tertentu, alat tangkap ikan tuna juga perlu diatur sehingga juvenile ikan tuna yang belum sempat bereproduksi, tidak turut tertangkap.
Selain itu, inisiatif positif dari KKP dalam menyusun harvest strategy dan harvest control rules yang ditargetkan mulai operasional pada tahun 2017 untuk ikan cakalang, madidihang dan tuna mata besar di perairan kepulauan Indonesia (WPP 713, WPP 714, WPP 715) perlu juga dijadikan sebagai pembelajaran yang bisa diangkat dan diselaraskan dengan peraturan pemanfaatan perikanan di tingkat regional.
Disinilah peran penting Indonesia sebagai anggota dari IOTC. Indonesia harus berperan untuk mendorong agar Komisi Tuna tersebut segera mengadopsi Harvest Control Rule dalam waktu dekat.
Fokus Pasar Tuna Domestik
Meski produksi ikan Indonesia merupakan yang terbesar di negara Asean yaitu 13,6 juta per tahun, namun data FAO menyebutkan konsumsi ikan Indonesia sebesar 32,24 kg/kapita/tahun, berada di peringkat kelima setelah Malaysia sebesar 58,1 kg/kapita/tahun, Myanmar sebanyak 55 kg/kapita/tahun, Vietnam sebanyak 33,20 kg/kapita/tahun dan Filipina sebesar 32,70 kg/kapita/tahun.
Sedangkan potensi total perikanan Indonesia sebesar 68 juta ton per tahun, menurut Rokhmin Dahuri, mampu mencukupi kebutuhan ikan dalam negeri yaitu dengan 9,7 juta ton per tahun jumlah penduduk 254 juta, bila tingkat konsumsi konsumsi ikan sebesar 32,24 kg/kapita/tahun.
Oleh karena itu, Alan Koropitan menyarankan produksi ikan nasional diutamakan untuk memenuhi kebutuhan berupa konsumsi ikan nasional daripada diekspor ke luar negeri. Hal ini merupakan kewajiban dari UU N0.45/2009 tentang Perikanan yang menyebutkan produksi ikan diprioritaskan untuk memenuhi pasar domestik terlebih dahulu.
“UU Perikanan mewajibkan untuk perikanan tangkap prioritas distribusinya harusnya memenuhi pasar domestik dulu. Sisanya kelebihannya baru bisa diekspor. Kalau mengatakan produksi ikan untuk orientasi ekspor, padahal kita belum garap potensi pemasaran dan distribusi domestik, itu menyalahi UU,” jelasnya.
Produksi ikan tangkap maupun budidaya dengan kualitas terbaik, lanjutnya, seharusnya untuk memenuhi kebutuhan domestik, dan hal tersebut tetap menguntungkan bagi nelayan.
Akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan ikan nasional, terkendala oleh Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) untuk mendistribusikan tangkapan ikan ke seluruh wilayah Indonesia yang belum sepenuhnya berjalan optimal. Belum terpadunya sistem tersebut mempengaruhi ketersediaan ikan.
Oleh karena itu, lanjut Alan, pemerintah perlu memperhatikan sarana dan infrastrukstur untuk rantai distribusi ikan (cold chain) sebagai bagian dari SLIN agar ikan terdistribusi merata ke seluruh wilayah Indonesia dalam keadaan masih segar.
“Bagaimana SLIN-nya agar hasil tangkapan ikan yang sebagian besar ada Papua dan Indonesia Timur bisa terdistribuskan dengan baik,” katanya.
Pemerintah sendiri telah mengeluarkan Permen KP No.5/PERMEN-KP/2014 tentang Sistem Logistik Ikan Nasional pada Februari 2014. Tetapi terlihat belum ada aksi signifikan dari pemerintah tentang SLIN itu.
Perbaikan SLIN tersebut juga dibarengi dengan gerakan makan ikan nasional oleh pemerintah yaitu Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan) yang saat hanya bersifat himbauan. “Evaluasi bagaiman program makan ikan, harus ada strategi yang baik, termasuk insentif juga untuk daya beli ikan masyarakat. Ini perlu sistemik dan intervensi dari pemerintah,” jelas Alan.
Sehingga, daripada menargetkan menjadi eksportir tuna dunia, alangkah lebih baik pemerintah memfokuskan SLIN untuk kebutuhan domestik sesuai dengan UU Perikanan terlebih dahulu. Setelah hal itu terpenuhi, baru berpikir untuk melakukan ekspor tuna.