Mongabay.co.id

Dengan Abon Ikan, Kelompok Ini Sukses Berdayakan Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir selalu identik dengan kemiskinan dan ketertinggalan, namun Kelompok Usaha Mangga Tiga membuktikan sebaliknya. Kelompok usaha olahan hasil budidaya perikanan yang berdomisili di Kelurahan Tanjung Merdeka, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan ini mampu merintis usaha abon ikan yang hasilnya mampu mengangkat derajat anggotanya dari kemiskinan.

Dalam rentang waktu empat tahun, kelompok ini bisa berkembang maju dengan produknya yang tersebar di berbagai toko dan gerai oleh-oleh di Kota Makassar. Produk mereka pun beragam, mulai dari abon ikan lele, abon ikan gabus, abon ikan cakalang, otak-otak, bakso ikan dan aneka produk pangan olahan lainnya.

Siang itu, awal Juni 2016, Mongabay  berkunjung ke Rumah produksi Mangga Tiga, sebuah ruang sederhana berukuran sekitar 4×4 meter, dengan beragam peralatan dapur tertata rapi di dalamnya. Aktivitas biasanya dilakukan di siang hari, ketika seluruh anggota kelompok sudah selesai mengerjakan pekerjaan di rumah masing-masing sebagai ibu rumah tangga.

Ratna Sari Dewi (42), Ketua Kelompok Mangga Tiga, orangnya sangat ramah dan terbuka. Kesuksesan Pokmas Mangga Tiga tak terlepas dari kemampuan bisnis dan keuletannya. Dari inisiatif Ratna ini pulalah gerak dan kesuksesan Kelompok Mangga Tiga bermula.

Berawal dari Lele

Menurut Ratna, Kelompok Mangga Tiga sebenarnya berdiri tahun 2007, namun baru aktif kembali tahun 2010. Awalnya kelompok ini fokus usaha pada pertanian sayuran organik, namun tak berkembang baik.

Awal mula pembentukan kelompok ini berlangsung secara tidak sengaja. Di awal 2010, Ruslan, suami Ratna, memulai usaha budidaya ikan lele. Sayangnya usaha budidaya ini banyak kelemahan.

Di tahun 2010, menurut Ratna, bisnis ikan lele ternyata belum cukup dikenal luas di Kota Makassar. Stigma ikan berkumis ini sebagai ikan yang kotor membuat sebagian masyarakat enggan mengkonsumsinya.

“Banyak yang budidaya namun kemudian terkendala di pemasaran. Meski hasil panen melimpah namun pembeli yang datang masih hitung jari. Belum lagi ketika ada kelebihan size. Ikan yang kecil tak tahu harus dijual kemana, karena tak ada yang mau membeli. Di sisi lain ikan ini, karena merupakan ikan tawar, sangat rawan mati dan cepat membusuk.”

Kelebihan stok ikan lele ini biasanya dikonsumsi sendiri. Namun karena konsumsi yang sama terus menerus setiap hari menimbulkan kebosanan, utamanya bagi anak-anaknya.

“Saya merasa sangat sayang membuang ikan-ikan ini. Saya mulai putar otak, apa kira-kira yang bisa dilakukan dengan kelebihan ikan ini.”

Dalam kegalauan itu, harapan muncul ketika Ratna bertemu dengan Salmiah, seorang penyuluh budidaya dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Makassar. Meski mereka sudah lama kenal, namun baru dalam sebuah pertemuan singkat tersebut Ratna menyampaikan keluh kesahnya terkait kelebihan stok ikan lele tersebut.

Salmiah kemudian menawarkan melatih mereka membuat produk olahan dari ikan lele, yang saat itu belum pernah dilakukan. Salmiah kemudian meminta agar Ratna dan sejumlah ibu-ibu lainnya menyiapkan 5 kg ikan lele.

“Saya bingung dan langsung bertanya ikan itu mau diapakan? Lalu katanya akan dibuat abon ikan. Lalu kami pun diajari cara mengolah ikan dan proses pembuatan abon ikan tersebut saat itu juga.”

Budi daya ikan lele di muara sungai Jeneberang menjadi salah satu alternatif usaha nelayan di Kelurahan Tanjung Merdeka. Kelebihan stok ikan bisa dimanfaatkan sebagai abon ikan, seperti yang dilakukan oleh Kelompok Mangga Tiga. Foto: Wahyu Chandra

Hasil abon ikan yang dikerjakan Ratna bersama dua orang lainnya tersebut ternyata cukup memuaskan dan siap jual. Produknya dijual di Pasar Tani di Anjungan Pantai Losari yang ada setiap hari minggu. Ratna dengan rasa percaya diri yang tinggi menyanggupi untuk ikut menjual abon ikan hasil buatannya ke acara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Sulsel tersebut.

Karena masih awal, kemasan produk mereka pun masih sangat sederhana, yaitu menggunakan kemasan nasi kuning berukuran 100 gram. Modal yang digunakan ketika itu belum terhitung dengan baik. Ikan lele belum dibeli, begitupun bumbu-bumbu lainnya, masih diambil dari rumah masing-masing.

Karena butuh merek dagang, Salmiah, menyarankan agar mereka memakai nama Mangga Tiga, karena sudah memiliki sertifikat, sehingga tidak susah lagi dalam hal pengurusan perizinan. Pengurus Kelompok Mangga Tiga pun tak keberatan kelompok itu diambilalih oleh Ratna dan ibu-ibu lainnya.

“Mulai dari sinilah kemudian Kelompok Mangga Tiga mulai dihidupkan kembali sampai sekarang,” jelas Ratna.

Proses penjualan awal di Pasar Tani diakui Ratna cukup mendebarkan, karena mereka harus bersaing dengan produk dari kelompok usaha lain yang sudah mapan. Di penghujung hari, produk mereka laku 8 bungkus, sementara sisanya 7 bungkus ternyata diberi uang pengganti dari panitia.

Dari situ, mereka makin termotivasti memproduksi abon lebih banyak lagi. Mereka juga mulai menghitung biaya produksi. Dengan biaya saat itu Rp250 ribu, menghasilkan 25 bungkus abon. Mereka jugal Rp15 ribu per bungkus, terkumpul hasil penjualan Rp375 ribu, dengan keuntungan Rp125 ribu.

Kesuksesan penjualan itu, membuat mereka mulai secara rutin menjajakan produknya di Pasar Tani tersebut. Produksi pun meningkat seiring dengan semakin banyaknya pelanggan. Apalagi mereka mulai membuat produk abon lain, seperti abon ikan gabus dan ikan cakalang.

Kini, dari 4 kali produksi selama sebulan bernilai Rp18 juta, meskipun sebagian dalam bentuk titipan barang di toko. Produksi abon ikan gabus misalnya, dari awalnya hanya produksi 10 kg kini meningkat menjadi 50 kg.

“Penghasilan bersih bisa dapat Rp8 juta lah, karena barang harus titip jual dulu,” tambah Ratna.

Produk mereka pun sudah dijual secara luas di banyak oulet di Kota Makassar, seperti Toko Satu Sama Jalan Landak, Grand Toserba Cendrawasih, Grand Toserba Panakkukang, Indomode Alauddin, Plaza Buah Hertasning, RS Hikmah, Cahaya Sulawesi, dan Toko Ole-ole Kota Daeng.

Dukungan Pendampingan

Setelah tiga tahun berproduksi seadanya, mereka mendapat dukungan dari Program Coastal Community Development International Fund for Agricultural Development (CCD-IFAD) atau Proyek Pembangunan Masyarakat Pesisir (PMP) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan kerjasama dengan IFAD.

Dari program ini, mereka mendapatkan bantuan peralatan dan pelatihan, yang berdampak pada produksi, motivasi dan rasa percaya diri yang meningkat.

Dengan peralatan usaha yang semakin baik dan lengkap, produksi Kelompok Mangga Tiga, Tanjung Merdeka, Tamalate, Kota Makassar, Sulsel ini pun meningkat hingga 5 kali lipat. Foto: Wahyu Chandra

Sebagian besar anggota kelompok ini berasal dari keluarga kurang mampu dengan profesi beragam, mulai dari nelayan tangkap, nelayan budidaya, buruh bangunan, pekerja bengkel dan penjual es keliling. Dari usaha ini, para anggota Kelompok Mangga Tiga bisa mendapatkan tambahan penghasilan sekitar Rp500 ribu – Rp 1 juta per bulan. Beberapa anggota kelompok bahkan sudah memiliki usaha sendiri dengan modal pinjaman dari kelompok.

Dahlia (36), salah satu anggota Kelompok Mangga Tiga, mengakui keaktifannya dalam kelompok dapat membantu menutupi kekurangan penghasilan dari suaminya yang berprofesi sebagai penjual es keliling. Dari kelompok ia juga mendapatkan modal usaha nasi kuning

“Hasil dari usaha kelompok dan usaha sendiri ini bisa membantu penghasilan keluarga dan membiayai anak-anak sekolah. Alhamdulillah kini anak tertua saya sudah SMA.”

Hal yang sama dirasakan, Rabiah (34), ibu rumah tangga dengan tiga anak orang ini mengakui tak kesulitan lagi dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. “Lumayan dari hasil kelompok kita bisa beli gas dan beras serta biaya sekolah anak-anak, tidak tergantung lagi pada suami.”

Exit mobile version