Namanya Mbah Jobeh, alias ijo kabeh (hijau semua), sangat dihormati di Desa Petir, Kecamatan Rongkop, Gunungkidul. Setiap usai panen kacang gude, warga mengadakan upacara adat nyadran di petilasan Mbah Jobeh.
Gude, sejenis kacang, umumnya berwarna hitam, banyak tumbuh di daerah tandus. Bongko gude kini menjadi makanan khas Gunung Kidul.
Upacara adat dengan sesaji berawal dari satu kisah. Konon, suatu hari kekeringan melanda Desa Petir. Semua tanaman layu, lalu mati kekurangan air, tak terkecuali tanaman pertanian. Tersebutlah ada seorang petani bernama Ki Kenthung beristirahat di gubuk beratap ijuk di tengah ladang. Di sana ada gundukan tanah. Saat beristirahat sambil menghindari sengatan terik matahari, dia menggumam. “Besok mau makan apa kalau semua tanaman kering begini.”
Tak dinyana, muncul suara misterius, meminta Ki Kenthung tak berputus asa. “Ada banyak bisa dimakan tumbuh di atas dan di bawah tanah. Bekerjalah lebih keras. Bersyukurlah atas apa yang telah diberikan Sang Pencipta. Sudah, jangan mengeluh.” Serta merta tanaman kering di sekeliling perlahan menjadi hijau.
“Cerita rakyat ini menjadi latar belakang upacara pemberian sesaji berupa nasi tumpeng, bongko gude berukuran raksasa, daging, kepala kambing, dan hasil bumi di desa Petir, sebagai wujud rasa syukur,” kata Pamuji, warga Petir.
Dia bersama rombongan menjadi peserta Festival Upacara Adat se-Yogyakarta. Lima kabupaten yaitu Gunungkidul, Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan Yogyakarta menampilkan upacara adat terpilih di daerah masing-masing. Festival diadakan Dinas Kebudayaan di lapangan Denggung Sleman, Minggu (24/7/16).
Meski Dinas Kebudayaan tak mengambil khusus tema lingkungan, ke semua peserta menampilkan upacara adat yang mengandung pesan pelestarian lingkungan. Upacara adat itu sekaligus menjadi media memelihara kearifan lokal, dan meneruskan pesan konservasi lingkungan untuk generasi mendatang.
Ada upacara adat Umbul Kamulyan, dari Dusun Dayakan, Desa Purwomartani, Kalasan, Sleman. Umbul berarti mata air besar.
Berdasarkan cerita rakyat, di Dusun Dayakan ada sumber air sangat besar sumber penghidupan warga. Sumber air dianggap memiliki kekuatan mistis hingga dikeramatkan warga.
Konon, sebelumnya, warga tak memiliki sumber air. Sampai suatu ketika ditemukanlah mata air makin lama aliran makin besar hingga banjir. Datanglah seorang pintar menutup sumber air itu dengan sebuah gong. Akhirnya, aliran bisa dikendalikan, warga bisa membuat sumur. Warga menamakan sumber itu Umbul Kamulyan, mata air yang memberi kemuliaan.
Lalu tim Bantul menampilkan Merti Sendang Suro Setiko dari Dukuh Saradan dan Pancuran, Desa Terong, Kecamatan Dlingo. Sendang adalah telaga kecil air dari mata air. Sendang di desa biasa untuk mandi, mencuci, dan pertanian. Cukup banyak sendang di Bantul, seperti Sendang Ngembel, Pengasihan, dan Payungan. Ritual Merti Sendang diakhiri kesenian tayub.
Totok Pratopo, tokoh lingkungan Sungai Code di Yogyakarta mengatakan, semangat konservasi juga tercermin dari upacara Merti Code, pada festival ini mewakili Kota Yogyakarta.
“Ini sebenarnya revitalisasi kegiatan orangtua kita di kampung dulu. Pada bulan Syuro mereka mengadakan ruwatan kali,” kata pengagas Merti Code ini.
Sejak dihidupkan pada 2001 dan berganti nama menjadi Merti Code, upacara adat ini sudah 15 kali digelar setiap tahun. Selain bersih-bersih sungai dan kampung, juga gelaran wayang kulit, dan arak-arakan gunungan.
“Ide dasarnya, dulu orang selalu menempatkan sesaji pada sumber air, belik, pohon besar di pinggir kali, atau tempat-tempat tertentu. Pada zaman saya masih kecil itu menjadi edukasi efektif bagi anak-anak. Saya merasa hal-hal semacam itu perlu untuk menghormati alam,” katanya, seraya mengatakan, pelestarian lingkungan lewat pendekatan regulatif pemerintah tak selalu bisa diterima..
Semangat Merti Code adalah melestarikan sungai yang membelah Kota Yogyakarta di bagian utara itu dengan pendekatan budaya. Ritual berupa pengambilan air dari tujuh sumber mata air di hulu Sungai Boyong, dan Kampung Blunyah, seperti, Terban, Pogung, Petinggen, Jetisharjo, dan Cokrokusuman.
“Zaman saya kecil, mengencingi belik sangat takut. Jika menebang pohon orang-orangtua berembug dulu ini boleh ditebang apa tidak. Itupun pakai upacara. Sekarang, orang mudah menebang pohon.”
Setelah berlangsung 15 tahun, Merti Code pelahan mengubah kebiasaan warga sekitar Sungai Code, seperti kebiasaan membuang sampah.
“Saya jamin, tumpukan sampah di empat wilayah tak ada. Kalau sampah hanyut dari hulu, tentu masih. Apalagi panjang Code 42 kilometer, hulu 18 kilometer ke utara, daerah Sleman, sudah rusak.”
Untuk Kulon Progo, menampilkan upacara adat Merti Bumi Tinalah dan menjadi tim penampil terbaik serta berhak atas hadiah Rp8 juta. Upacara adat ini satu tahun sekali setiap habis panen, biasa jatuh pada Agustus. Tinalah adalah nama sungai yang banyak menghidupi warga Desa Purwoharjo.
“Pelaksanaan melibatkan 14 dusun, dalam satu desa. Dalam upacara itu warga membersihkan lingkungan, jalan desa, makam, dan sungai. Merti Bumi di pingir Sungai Tinalah sejak dulu, turun temurun. Acara dimeriahkan kirab gunungan dan bergodo,” kata Bambang Eko Sumaryanto, pegiat Merti Bumi Tinalah, warga Desa Purwoharjo.
Keunikan upacara ini, masyarakat tiap dusun dengan biaya sendiri membuat gunungan hasil pertanian, dan tumpeng sesaji buat dinikmati bersama.
Di luar upacara adat, ada aksi-aksi lain menopang aktivitas masyarakat di lingkungan Sungai Code. Setelah kawasan tertata rapi, bersih, dan terlihat hidup, kini mereka bersiap menjualnya sebagai destinasi wisata.
“Kalau warga merasakan manfaat wisata atas keberadaan sungai, dengan sendirinya ambil bagian menjaga dan melestarikan. Tanpa disuruh camat atau lurah,” ucap Totok.
Kini Totok menyiapkan paket wisata Code, bernama Jelajah Sepenggal Jogja. Ada pengembangan tiga cluster wisata. Pinggiran sungai, tempat bersejarah di Jalan AM Sangaji, dan Pecinan di Kranggan.
“Wisatawan akan diajak menyusuri kampung-kampung pinggir Sungai Code nan eksotik. Lalu mengunjungi beberapa bangunan bersejarah di Jalan AM Sangaji, dan kampung Pecinan di Kranggan.”
Peserta dari Sleman menampilkan upacara adat Umbul Kamulyan. Foto: Nuswantoro