WALHI Bakal Ajukan Banding Putusan Sidang Terkait Reklamasi CPI Makassar

Suasana hening dalam ruangan, tiba-tiba riuh oleh teriakan orang-orang. Seorang perempuan paruh baya bahkan berteriak histeris.

“Orang kaya dikasih naik, orang miskin dikasih turun. Kurang ajar orang kaya, mentang-mentang banyak uangnya,” teriak ibu itu berulang-ulang, yang segera dipeluk oleh keluarganya untuk menenangkan.

Itulah tanggapan dari warga warga dari Pulau Lae-lae sesaat setelah mendengar putusan Ketua Majelis Hakim Teddy Romyadi yang menyatakan menolak tuntutan WALHI terhadaxp Pemprov Sulsel terkait perizinan pembangunan Center Point of Indonesia (CPI) di wilayah Pantai Losari Makassar,  di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar pada Kamis (28/7/2016).

“Mengadili, menyatakan gugatan penggugat tidak diterima. Dua, menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp2.693.500,” ungkap Ketua Majelis Hakim sambil mengetuk palu dan kemudian segera meninggalkan ruang persidangan.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai kerusakan lingkungan di wilayah pesisir memang sudah lama terjadi, bukan dampak dari adanya reklamasi.  “Bau busuk yang dikeluhkan sifatnya fluktuatif, artinya tidak terus menerus yang berasal dari limbah buangan masyarakat dan bukan karena proyek reklamasi,” ujar Ketua Majelis Hakim.

Majelis hakim juga menyimpulkan tidak terungkap fakta adanya kerugian hidup berupa pencemaran atau kerusakan atau eksostem wilayah reklamasi dan perairan sekitarnya termasuk sekitar Pulau Lae-lae.

“Dengan tidak adanya kerugian lingkungan hidup berupa pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup atau potensi terdampak dalam kegiatan reklamasi CPI Pantai Losari, maka apakah penggugat masih punya kepentingan yang dirugikan dengan terbitnya objek sengketa tersebut?”

Dalam pertimbangan lain, majelis hakim juga menilai gugatan WALHI sudah kadaluarsa karena telah melewati batas waktu 90 hari setelah surat izin diterbitkan, sehingga gugatan tersebut tidak bisa diproses di PTUN.

Haswandy Andi Mas, Kuasa Hukum WALHI yang juga merupakan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, menyoroti perilaku hakim yang tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyatakan sikap dan pendapat atas putusan tersebut. Langsung menutup sidang dan meninggalkan ruangan.

“Satu hal tadi yang kami anggap tidak sesuai dengan hukum acara adalah tidak diberinya kami kesempatan bersikap. Padahal terhitung sejak dibacakannya putusan itu kami sudah bisa menyatakan sikap terkait upaya hukum apayang akan kami lakukan.Tadi hakimnya langsung saja melarikan diri. Seolah-olah ada beban moral. Olehnya kita akan mengajukan upaya hukum banding, bukan hanya terkait materi persidangan tapi juga perilaku hakim dalam persidangan karena ini sudah termasuk bagian hukum acara,” katanya.

Menurut Haswady, gelagat keberpihakan majelis hakim sebenarnya sudah terlihat jauh hari, ketika saksi ahli penggugat seakan tidak diberi kesempatan yang luas untuk memberikan pandangan-pandangannya.

“Saksi ahli kami tidak diberi kesempatan yang banyak dan selalu dipotong pembicaraannya dengan alasan tidak ada hubungan dengan masalah, tidak relevan dan hanya buang-buang waktu. Di sisi lain, saksi ahli tergugat justru diberi banyak ruang dan terbukti pada persidangan ini hanya pandangan saksi tergugat yang dijadikan pertimbangan putusan majelis hakim.”

Reklamasi Pantai Losari melalui proyek CPI diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya kerusakan terumbu karang di pesisir pantai Makassar. Foto : Wahyu Chandra
Reklamasi Pantai Losari melalui proyek CPI diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya kerusakan terumbu karang di pesisir pantai Makassar. Foto : Wahyu Chandra

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif WALHI, yang mengikuti persidangan ini dari awal menyatakan bahwa yang perlu dicatat dari persidangan ini bahwa adanya salah satu majelis hakim yang memiliki pandangan yang berbeda (dissenting opinion), sehingga pihak WALHI kemudian memutuskan untuk melakukan banding atas putusan tersebut.

Menurutnya, proses banding ini penting agar masyarakat luas mengetahui pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup dan memberikan keadilan buat kehidupan masyarakat kecil khususnya nelayan tradisional yang berada di wilayah pesisir di Makassar.

Nur Hidayati juga menyoroti kurangnya perspektif lingkungan dari majelis hakim dilihat dari pertimbangan putusan mereka.

“Kalau kita amati dari pertimbangan Ketua Majelis Hakim, itu terlihat bahwa dia tidak memiliki perspektif lingkungan hidup karena tujuan dari WALHI menggugat perizinan adalah sebagai wujud dari prinsip kehati-hatian dini dalam pengelolaan lingkungan hidup. Bukan semata untuk melihat apakah sudah terjadi dampak langsung, tetapi justru untuk mencegah terjadinya dampak lingkungan yang lebih besar yang akan berdampak bukan hanya pada generasi sekarang tapi juga generasi yang akan datang,” tambahnya.

Nur Hidayati berharap masyarakat bisa terus mengawal proses persidangan ini, khususnya pada proses banding, karena itu telah menjadi hak publik untuk mengetahui setiap proses dan putusan pengelolaan hidup dan ini sudah dilindungi oleh UU Lingkungan Hidup tahun 2009.

Asmar Exwar, Direktur WALHI Sulsel, menyatakan kekecewaanya atas putusan ini yang dinilainya melukai hati publik. Ia menilai reklamasi ini harus dilihat sebagai ancaman bagi ekosistem dan kehidupan ekonomi masyarakat nelayan yang ada di sekitar.

“Nyatanya hari ini kita tahu semua kalau gugatan ini ditolak. Kita melihat aspek-aspek menyangkut prosedural tidak terlalu diperhatikan. Saksi-saksi fakta dari masyarakat tidak menjadi pertimbagan putusan. Hakim lebih banyak menggunakan pendapat saksi ahli tergugat. Fakta bahwa reklamasi telah mengubah bentang alam juga tidak terlalu diperhatikan.”

Yusran Nurdin Massa, Direktur Yayasan Hutan Biru (Blue Forests), menilai putusan hakim ini sebagai preseden buruk bagi masa depan pesisir di Makassar, karena reklamasi ini didorong kuat oleh pemerintah.

Yusran mengkhawatirkan ke depan akan ada reklamasi 4.500 hektar,yang jauh lebih parah dibanding sekarang ini. Dan semuanya akan berjalan mulus ketika didorong pemerintah karena sudah adanya contoh kasus pada putusan hakim sekarang ini.

“Karena yang dorong itu pemerintah maka akan mulus jalannya tanpa melihat apakah izin lokasi dan izin pelaksanaan yang memang secara prosedural sudah sesuai. Ini akan berdampak pada 4500 hektar itu. Ini yang juga harus terus dikawal dengan baik agar pelaksanaannya nanti sesuai dengan fungsi-fungsi lingkungan hidup yang ada.”

Kasus reklamasi ini mencuat sejak adanya rencana Pemprov Sulsel untuk pembangunan istana negara di kawasan yang disebut Centerpoint of Indonesia (CPI), terletak di kawasan Pantai Losari Makassar. Dalam pelaksanaannya, proyek ini sempat diajukan ke pemerintah pusat untuk dianggarkan dalam APBN. Namun ditolak, sehingga pembiayaannya kemudian ditanggung oleh APBD Sulsel.

Besarnya beban anggaran yang harus ditanggung oleh APBD membuat pemerintah berbalik arah menggandeng swasta, dalam hal ini PT Yasmin Bumi Asri dan Ciputra TBK dalam mereklamasi pantai seluas 157 hektar.

Dalam kesepakatan tersebut disebutkan bahwa setelah pekerjaan reklamasi dan bangunan CPI selesai di lahan seluas 57 hektar maka akan diserahkan kepada pemerintah Provinsi Sulsel. Sisanya, lahan seluas 100 hektar kan dikuasai oleh Ciputra, yang diperuntukkan untuk kawasan bisnis, perhotelan, dan permukiman mewah.

Menurut Muhammad Al Amin, Biro Advokasi WALHI Sulsel, luas rencana struktur ruang pada KSP CPI yang diusulkan oleh pemerintah Provinsi Sulsel seluas 625,35 hektar di zona kawasan inti dan 840,75 hektar di kawasan penyanggah, sebagian besar direncanakan di areal reklamasi yang belum memiliki aspek legal, seperti belum adanya Perda Zonasi Wiayah Pesisir dan Pulau Kecil.

Padahal, menurutnya, dalam konteks payung hukum reklamasi, kegiatan reklamasi di wilayah pesisir haruslah diatur dalam regulasi di level provinsi dalam bentuk Perda zonasi wilayah pesisir dan perizinan.

Selain itu, kegiatan reklamasi juga harus mendapatkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagaimana diatur dalam Permen Kelautan dan Perikanan No 40/PRT/M/2007 tentang Pedoman Perencanaan tata Ruang Kawasan Reklamsi Pantai.

Wilayah pesisir kota Makassar juga merupakan kawasan strategis nasional sebagaimana diatur dalam RTRW, sehingga pembangunan ataupun pengembangan kota di wilayah pesisir Makassar seharusnya mendapatkan alas legal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

WALHI sendiri melayangkan gugatan ke PTUN Makassar pada 29 Januari 2016 lalu dengan nomor perkara No 11/6/2016/PTUN.MKS. Gugatan ini berisi tuntutan agar PTUN membatalkan Surat Keputusan Gubernur No 644/2013 terkait pemberian izin reklamasi kawasan Pantai Losari sebagai bagian dari proyek CPI kepada PT Yasmin Bumi Asri dan Ciputra, sebagai investor yang mendapatkan izin reklamasi dari Pemprov Sulsel.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,