Mengenal Beras Hasil Pertanian Alami dari Seko

Seko, begitu nama wilayah di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan,  ini. Daerah ini bisa dikatakan terdiri dari padang ilalang, petak sawah, hutan, dengan Gunung Kambuno yang memiliki kektinggian 2.900 mdpl. Seko berada sekitar 120 kilometer dari Sabbang, atau 600 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan. Ia terbagi dalam Seko, Seko Tengah dan Seko Padang.

Saya ke Desa Tana Makaleang di Seko Tengah, menggunakan ojek motor selama dua hari. Di sini,  tak ada penginapan, tak ada listrik pemerintah. Penduduk menggunakan genset dan urunan membeli bahan bakar. Nyala lampu hanya antara pukul 18.00-22.00.

Saya tinggal di rumah Andri Karyo, anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu.

Pada malam kedatangan, saya dan dua teman AMAN Tana Luwu, menghabiskan di ruang dapur. Melihat keluarga Andri memasak pakai kayu bakar. Asap membumbung keluar melalui sela-sela atap.

Setelah makan malam siap, kami melahap dengan cepat. Saya tertarik melihat nasi putih bersih, bulir lebih berisi (gendut) dari beras kepala kuaitas terbaik di pasaran Makassar. Aroma harum. Inilah beras dambo.

Beras ini khas Seko. Ia ditanam hampir di seluruh persawahan warga. Ternyata, dambo menempati peringkat kedua dibanding beras tarone, juga khas Seko.

Di Seko, hampir seluruh warga memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bekerja sebagai petani sawah dan berkebun kakao maupun kopi.

Persawahan warga tak jauh dari kampung. Irigasi cukup sederhana, menggunakan selokan-selokan kecil serupa parit yang mengalirkan air dari kaki gunung.

Di Seko, warga mengolah sawah dan kebun tak menggunakan pestisida, maupun pupuk. “Buat apa. Tanah sudah subur, kami tak pake pupuk, hasil kebun tetap baik,” kata Benyamin Langga, warga Desa Tana Makaleang.

Bersama Benyamin, kami menyusuri jalan setapak dengan jurang sisi kanan. Dua elang terbang bebas. Sayap begitu lebar. Di pepohonan kecil beberapa elang alap bermain. Ketika kehausan, dengan mereka cekatan menapaki bukit dan membawa beberapa buah mentimun.

Tangan Benyamin menunjuk beberapa petakan lahan, sekitar empat hektar. Sisi bukit tak begitu terjal jadi lahan menanam padi ladang,  padi tarone.

“Lima tahun sekali,” katanya.

“Jadi beras tarone, tak ditanam setiap waktu.”

Proses penumbukan padi tarone di Seko. Foto: Eko Rusdianto
Proses penumbukan padi tarone di Seko. Foto: Eko Rusdianto

Di Seko, masyarakat menanam padi ladang mempertimbangkan waktu dan memberi ruang pada tanah beristirahat. Petak lahan ketika usai panen, dibiarkan menjadi hutan kecil selama lima tahun. Ketika pohon dan rumput mulai lebat, mereka percaya humus tanah kembali baik dan layak dikelola.

Beras tarone menjadi kebanggaan masyarakat Seko. Tak mengherankan, Andri Karyo mengatakan, sebagai karunia besar dari Tuhan.

“Beras ini bagi saya memberi semangat. Meskipun kami makan dengan lauk sederhana, itu digantikan dengan aroma beras yang sangat enak,” katanya.

Jika memperhatikan saksama, beras tarone memiliki bulir lebih kecil dibanding dambo. Menanam tarone, warga terlebih dahulu menyemai biji padi di lahan khusus sekitar tiga minggu. Jarak tanam 20 sentimeter. Dari masa tanam ke panen sekitar enam bulan.

Warga Seko pakai arit dan ani-ani untuk memanen beras tarone. Padi-padi yang masih bersama daun dan batang diikat, disatukan dalam gumpalan disebut sangoyong. Setiap satu sangoyong menghasilkan sekitar delapan liter beras.

Setiap hektar padi tarone, menghasilkan sekitar 100 kilogram beras atau 150 ikat (sangoyong). Ikatan-ikatan kecil itu disatukan dalam satu gumpalan beras dinamakan sa’koto–16 ikat.

Untuk mendapatkan kualitas beras baik, katanya, gumpalan itu dijemur dan dijejerkan rapi, pada rangka kayu, setinggi tiga hingga empat meter.

Tak mengherankan, penemuan padi-padian dengan varietas tertentu di Sulawesi masih dijumpai, karena beberapa daerah terisolir dengan akses jalan sangat tak memadai.

Pada Mei 2016, di Mamasa, Sulawesi Barat, berdekatan dengan Seko, ditemukan beberapa padi lokal. Bahkan  di Luwu, ada padi lokal bernama sawerigading, berbiji bulat dan dikembangkan ketika masa pendudukan Jepang agar lebih mudah disumpit. Saat ini, dikembangkan di Kandoa.

Kekayaan beragam padi-padian di Sulsel tidaklah mengherankan. Dalam studi arkeologi di Leang Petta Kere, Maros, teridentifikasi ada Oryza zatyva (padi-padian) diperkirakan bermula sejak 3.800 lalu, namun belum dikonsumsi besar-besaran.

Warga menumbuk padi tarone secara manual. Foto: Eko Rusdianto
Warga menumbuk padi tarone secara manual. Foto: Eko Rusdianto

Akses Yang Sulit

Untuk mencapai Seko dari Sabbang, perlu waktu dua hari, satu malam–dalam kondisi tanah kering.  Kala hujan, perjalanan bisa tiga hari menggunakan kendaraan roda dua modifikasi.

Shocbecker motor ditinggikan. Gigi dan rantai lebih besar. Knalpot dimodifikasi agar bersuara keras–karena suara klakson tak berguna dalam perjalanan. Ban kendaraan diganti bergerigi agar mampu mencengkram tanah lengket.

Selama empat hari di Seko, pekan pertama Juni 2016, pengendara ojek yang mengantar kembali ke Sabbang, menjejalkan tempat duduk dengan kopi dan beras buat dijual. Di Seko beras tarone Rp4.000 per liter. Di Sabbang dua kali lipat, Rp8.000 per liter.

Sejak sekian tahun lalu, beras tarone menjadi primadona dan incaran masyarakat luar. Pada September 2015, Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo kala berkunjung ke Seko menyampaikan keinginan dan memerintahkan Pemerintah Luwu Utara mengemas baik beras tarone.  Sayangnya, hingga kini, pengemasan dan pengembangan produk belum terjadi.

Secara geografis, Seko berada di jantung Sulawesi. Jika mengambil peta Sulawesi, dan memberi titik wilayah itu, terlihatlah koordinat tepat di tengah. Seko berdekatan dengan Kalumpang dan Mamasa di Sulawesi Barat serta Poso, Sulawesi Tengah.

Seorang warga di Seko Tengah, Desa Tana Makaleang membawa hasil panen. Foto: Eko Rusdianto
Seorang warga di Seko Tengah, Desa Tana Makaleang membawa hasil panen. Foto: Eko Rusdianto
Cara masyarakat Seko menjemur padi. Foto: Eko Rusdianto
Cara masyarakat Seko menjemur padi. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,