Izin HGU di Aceh Harus Dikaji Kembali, Mengapa?

Jumlah izin hak guna usaha (HGU) yang tersebar di Aceh mencapai 160. Namun, sejak izin tersebut dikeluarkan, hingga saat ini, tidak satu pun yang dievaluasi.

Data yang dikeluarkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, hingga Maret 2015, ada 127 perusahaan yang mengantongi izin HGU dengan luas mencapai 385.435 hektare. Dengan rincian, di Kabupaten Aceh Tamiang (27 perusahaan), Aceh Timur (25), Nagan Raya (15), Aceh Utara (12), Aceh Singkil (10), Subulussalam (9), Aceh Barat (7), Bireuen (7), Aceh Barat Daya (3), Aceh Jaya (3), Aceh Selatan (3), Aceh Tengah (2), Pidie (2), Pidie Jaya (1), dan Aceh Besar (1).

Koordinator Bidang Advokasi Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Baihaqi mengatakan Pemerintah Aceh harus mengkaji ulang, karena hingga saat ini perusahaan HGU tidak memberikan dampak positif untuk masyarakat dan pemerintah di Aceh. “Tidak ada pendapatan asli daerah (PAD) yang dihasilkan dan masyarakat di sekitar HGU hidup miskin. Banyak konflik lahan dengan masyarakat,” sebutnya, Senin (15/08/2016).

Contohnya Aceh Singkil. Adanya perusahaan yang beroperasi di sana tidak membuat daerah tersebut lepas dari kategori miskin dan tertinggal. Di Aceh Tamiang, dari luas wilayah kabupaten 1.957,02 kilometer persegi, 80 persennya luas HGU. “Akibatnya, pemerintah daerah kesulitan membangun fasilitas publik karena sulit melakukan pembebasan lahan.”

Menurut Baihaqi, kaji ulang HGU penting dilakukan karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang memantau sektor hutan dan lahan di Aceh. Terlebih ada beberapa HGU yang beroperasi di hutan lindung.  “Kami telah menyampaikan kepada Gubernur Aceh agar dilakukan peninjauan. Nantinya dapat diketahui apakah perusahaan mematuhi aturan yang berlaku atau tidak.”

Kepala Bidang Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nasir mengatakan, review izin perkebunan kelapa sawit merupakan agenda penting. Ekspansi perkebunan kelapa sawit dalam skala besar telah banyak merubah fungsi kawasan hutan.  Selain itu, ketidakpatuhan perusahaan terhadap hukum dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit merupakan faktor utama terjadinya bencana banjir di Aceh.

“Review izin menyeluruh harus dilakukan terhadap izin usaha perkebunan (IUP), usaha budidaya, maupun usaha industri pengolahan hasil perkebunan yang dilakukan terpadu dan melibatkan masyarakat.”

Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Efendi Isma menyebutkan hal yang sama. Menurutnya, HGU di Aceh dari sisi perizinan masih bermasalah, sementara dari proses izinnya tidak transparans dan akuntabel. “Kewajiban perusahaan untuk memberikan kebun plasma bagi masyarakat di sekitar HGU, tidak terlaksana.”

Persoalan sebenarnya, ungkap Efendi, bukan pada angka dan sebaran konflik, melainkan dampak lingkungan yang terjadi. Sebut saja banjir yang terjadi tiap tahun, kekeringan, juga gagal panen. “Semua ini berkaitan dengan HGU yang menyebar di seluruh kabupaten.”

Pemerintah Aceh harus melakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dan analisis regulasi yang tidak pro lingkungan dan rakyat kecil. “KPHA mengharapkan, kebijakan moratorium HGU di Aceh berdampak positif bagi kelestarian hutan Aceh dan memberikan kondisi lingkungan yang nyaman bagi generasi di masa mendatang,” ujar Efendi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,