Sumarjito: Pertanian Lahan Tanpa Bakar Bisa Dilakukan di Lahan Gambut

Sumarjito (53) namanya, penggerak petani lahan gambut yang tidak putus dalam berinovasi. Dengan modal semangat, Sumarjito berhasil mengembangkan tanaman nanas dan jeruk di lahan dengan pH rendah atau tingkat keasaman tinggi. Dengan metode yang dikembangkannya, menurutnya petani tidak perlu lagi membakar di atas lahannya. Sumarjito pun dikenal sebagai salah seorang penggagas pengembangan sistem Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) di Kabupaten Kuala Kapuas, Kalteng.

Meski lulusan STM Listrik, keturunan transmigran asal Jawa ini tidak asing dengan permasalahan lahan gambut. Bahkan karena kegigihannya, Sumarjito yang saat ini menjadi Koordinator Pencegahan dan Deteksi Dini Manggala Agni di Kuala Kapuas, ini pun mulai menuai hasilnya. Dari hasil kerja kerasnya juga, saat ini Pemkab Pulang Pisau mulai melirik model pengembangan PLTB bagi para petani.

“Kita ini jangan cuma bisa melarang, tapi juga harus cari solusi. Mau tak mau, suka tak suka, kita harus cari jalan keluar buat para petani,” kata Sumarjito saat ditemui di kediamannya di Tahai, Kuala Kapuas pertengahan Agustus lalu.

Dia mengaku berani mengambil resiko usaha pribadi, karena percaya hasilnya nanti akan dapat membawa kemaslahatan bagi masyarakat.

Menurutnya pengolahan lahan gambut harus dilakukan dengan hati-hati. Alih-alih menggunakan alat mekanis berat seperti ekskavator, cara manual akan lebih baik. Menurutnya cara manual yang dilakukan adalah dengan cara mencabut pohon yang ada, kemudian meratakan tanahnya. Setelah rata barulah dilakukan pembajakan.

“Kalau tanah digali terlalu dalam, akan membuat kadar asam naik tinggi, hasilnya tanaman tak akan tumbuh. Itu yang terjadi kalau pakai alat berat,” jelasnya.

Ia menyadari, memang menerapkan PLTB dengan cara manual membutuhkan waktu yang lama. Terlebih masih banyak anggapan, PLTB dengan cara manual tidak praktis. Ia sendiri sudah satu tahun mencoba mempraktekan PLTB dengan cara manual di atas lahannya seluas enam hektar yang ia jadikan sebagai laboratorium percobaan. Di lahan itu, ia hanya menanam nanas dan jeruk.

“Untuk nanas dan jeruk tahun depan hasilnya sudah dapat dipanen. Sudah berbuah. Insya Allah.”

Pun terkait dengan biaya yang dikeluarkan. Menurutnya, dengan PLTB menggunakan eskavator, biaya jatuhnya akan sangat mahal. Per hektar bisa mencapai Rp20 juta. Berbeda dengan biaya yang harus dikeluarkan dengan cara manual yang hanya Rp1,8 juta per hektar.

Sumarjito sedang mengolah lahan pertaniannya. Foto: Indra Nugraha
Sumarjito sedang mengolah lahan pertaniannya. Foto: Indra Nugraha

Cari Solusi

Awalnya, lelaki kelahiran 20 Oktober 1963 ini pun terbiasa membuka lahan dengan cara membakar. Namun berkaca dari dampak kebakaran lahan yang amat merugikan, dia pun berpikir untuk mencari solusi agar tidak ada lagi peristiwa kebakaran hutan (karhutla) yang seolah menjadi agenda tahunan.

Menurutnya dampak karhutla akan mengganggu aktivitas manusia. Termasuk berpengaruh kepada kualitas air. Ketika karhutla terjadi, abu turun ke sungai membuat air sungai meskipun hanya digunakan untuk mencuci muka, akan menimbulkan rasa pedih luar biasa, ikan yang ada di sungai pun sekarat.

Sumarjito tak menampik jika metode membakar lahan akan menambah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanah. Namun menurutnya, lahan yang dibakar pun kalau tak dibantu dengan pupuk ekstra juga akan menurun produksinya. Biaya yang dikeluarkan pada akhirnya juga akan sama mahalnya.

“Dengan membakar, kan harus bayar upah juga. Membakarnya ngupah, nanti nugal (menanamnya) juga ngupah. Sehektar perlu sepuluh orang baru bisa selesai satu hari. Per orang buat makan saja Rp25 ribu.”

Sebelumnya, konsep PLTB sudah berhasil dia terapkan. Di atas areal seluas 1,5 hektar di tempatnya bekerja ia membuat program multi produk yaitu BIS (Buah, Ikan dan Sayur). Tanah yang semula rawa lalu ditanami sayur mayur dan pohon jeruk. Di sekelilingnya dibuat track sepanjang 400 meter untuk kegiatan olahraga. Disana, ia pun membuat kolam ikan.

“Dulu banyak yang bilang gak mungkin. Tapi prinsip saya tanah itu seperti pot. Agar tanah ini subur, ya kita kelola dengan menggunakan pupuk. Bisa pupuk kimia, bisa juga organik  pupuk kandang.  Pertama pakai pupuk kandang lalu kita tanami jagung. Lama-lama karena sudah tercampur dengan pupuk, tanah menjadi subur baru kita tanami jeruk,” ujarnya.

PLTB selain untuk tanaman padi menurut lelaki dua cucu ini bisa dibilang relatif gampang. Karenanya, menanam nanas dan jeruk bisa dijadikan alternatif bagi para petani. Sembari menanam nanas, bisa ditanami dengan tumbuhan lain yang memerlukan waktu tanam cukup lama, seperti karet.

Baginya, menanam padi di lahan gambutlah yang menuntut keterampilan tersendiri, apalagi di lokasi yang baru dibuka dan masih banyak kayunya. Tunggul kayu harus dicabuti dan ditebas, termasuk gulma yang ada harus dibersihkan terlebih dahulu. Penanaman lahan untuk padi pun harus disesuaikan dengan musim, khususnya memperhatikan musim hujan.

Dari sisi ekonomi ia mengatakan, secara hitung-hitungan menanam nanas dan jeruk jauh lebih menguntungkan.  Untuk tanaman padi, ia mengatakan, paling banyak  bisa menghasilkan Rp6 juta per hektar. Sementara jika menanam nanas, di lahan 17 meter persegi bisa ditanami 600 pohon. Harga per bibit Rp800. Biaya tanam Rp100 ribu. Biaya perawatan juga relatif murah. Harga jual nanas paling murah Rp.3.500 per buah. Sumarjito pun optimis permintaan pasar untuk nanas dan jeruk tidak surut di masa depan.

Meski demikian, Sumarjito juga akan mencoba menanam padi di lahannya, semata untuk membuktikan bahwa model PLTB manual pun cocok untuk pertanian padi.

“Rencana perlu tiga kali dibajak agar siap tanam padi. Sekarang saya masih tahap penyempurnaan tanggul, mungkin nanti solusinya perlu ditambah kapur pertanian buat lahan.”

Dari sisi ekologis, menurut Sumarjito jika pembakaran lahan masih terus dilakukan akan membuat gambut habis, padahal gambut adalah penyimpan stok karbon yang amat banyak. Sekali terbakar, ia akan turun cukup dalam. Untuk daya pulihnya, butuh waktu 50 tahun sampai kembali ke masa awal.

Ia pun berharap agar kedepannya, Indonesia aman dari bahaya karhutla dan masyarakat juga bisa meningkat taraf perekonomiannya dengan adanya solusi alternatif membuka lahan tanpa membakar.

Apalagi beberapa aturan seperti Pergub Kalteng yang semula membolehkan masyarakat membuka lahan dengan cara membakar pun akhirnya dicabut. Hal ini turut membuat masyarakat menjadi resah. Seolah dengan dicabutnya Pergub tersebut, masyarakat tak lagi bisa berladang.

“Kalau ini berhasil akan saya promosikan ke banyak orang, yang penting terbukti dulu. Mudah-mudahan ini berhasil dan semua orang bisa menerapkan hal seperti ini dan tak membakar lahan lagi,” tandasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,