Mongabay.co.id

Investigasi Ungkap Korindo Babat Hutan Papua dan Malut Jadi Sawit, Beragam Masalah Ini Muncul

“Mana ada bird of paradise menari-nari di dahan sawit? Karena bukan itu ia punya tempat. Kangguru tak mungkin cari makan di sawit? Ekosistem habis, ya sudah, ia habis. Tinggal manusia yang harus berjuang. Karena manusia punya akal budi.”

Hamparan hijau sawit, berlajur-lajur dari ketinggian. Tertata rapi. Bagian lain, hutan baru terbabat, sudah beralur-alur.  Kayu tumbangan masih tampak. Ada juga alat berat baru memilah-milah kayu hasil tebangan. Pepohohan hutan makin menyusut, kebun sawit makin luas.  Itulah  sebagian temuan investigasi,  berupa penghancuran hutan dalam konsesi PT Korindo Group di Papua dan Maluku Utara.

Laporan investigasi gabungan beberapa organisasi yang rilis Kamis (1/9/16) di Jakarta ini,  mengungkap, betapa perusahaan-perusahaan sawit dan kayu yang bernaung dalam bendera PT Korindo Group, menghancurkan hutan Papua, seperti di Merauke dan Boven Digoel dan Maluku Utara di Gane, Halmahera Selatan. Deforestasi besar-besaran terjadi.

Kebakaran (bakar) lahan dalam konsesi sawit Korindo juga terjadi dalam beberapa tahun ini. Konflik-konflik lahan juga muncul karena hak-hak warga terabaikan.

Adapun organisasi dan lembaga yang tergabung dalam membuat laporan  ini antara lain, Mighty, SKP-KAM Merauke, Yayasan Pusaka, dan Federasi Eropa untuk Transportasi dan Lingkungan. Juga Federasi Korea untuk Gerakan Lingkungan.

“Kami sudah laporkan ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sudah kirimkan laporan ke Dirjen Penegakan Hukum dan Menteri Siti Nurbaya,” kata Bustar Maitar, Direktur Mighty Asia Tenggara.

Laporan dimulai sejak 2013 hingga Juni 2016 ini, menelusuri fakta-fakta Korindo ini lewat citra satelit, video dan foto-foto dari lapangan langsung atau lewat drone (pesawat tanpa awak). Dari sana, terlihat bagaimana kawasan yang dulu berhutan, kini tinggal lapangan luas.  Sebagian lahan, sudah ditanami sawit, bagian lain masih hamparan kosong.

Dari video, tampak, alat-alat berat bekerja membersihkan lahan. Kayu-kayu bagus dikumpulkan. Stacking dibuat,  berupa jalur berisi tumpukan kayu-kayu kecil.

“Kalau ada stacking-stacking begitu, itu diduga mau persiapan pembakaran. Karena, biasa stacking itu siapkan buat dibakar,” kata Bustar.

Laporan ini, katanya,  untuk memperlihatkan apa yang dilakukan Korindo di Papua dan Malut. Bukan anti sawit,  tetapi ingin hutan tersisa terjaga. “Deforestasi harus berhenti. Ini hutan tersisa.”

Hutan Papua, kaya keragaman hayati dan banyak belum terungkap. Kalau di Kalimantan dan Sumatera, ada orangutan, di Papua, ada kangguru pohon, sampai burung cendrawasih (burung surga).

“Mereka akan dikorbankan dengan pembukaan hutan besar-besaran di Papua. Kalau dilanjutkan terus (pembabatan hutan), tak hanya Korindo, kita akan kehilangan harta yang tersisa di Indonesia,”katanya.

Lahan konsesi Korindo di Papua. Foto: dari screenshot video investigasi

Menurut dia, deforestasi terus berlanjut karena permintaan pasar global sawit terus meningkat, dari buat diterjen, sabun sampai biofuel. “Demand ini terus meningkat, terus naik, jadi peluang bagi banyak perusahaan buat buka kebun terutama sawit.”

Dalam laporan berjudul Burning Paradise: Palm Oil in The Land of the Tree Kangaroo ini menyebutkan, sejak 2013, Korindo mulai agresif membabat hutan untuk kebun sawit.

Konsesi Korindo tersebar di beberapa daerah, sekitar 160.000 hektar,  tujuh konsesi seluas 149.000 hektar, di Papua. Sisanya, 11.000-an hektar di Malut. Korindo juga membantu perusahaan Korea,  Daewoo, dengan kebun sawit 30.000 hektar di Papua.

Sampai Juni 2016, masih ada 75.000 hektar hutan berharga yang belum dibuka di konsesi sawit Korindo. Hutan-hutan ini, berisiko terbabat. Sebagian besar, hutan primer, sisanya, hutan sekunder.

Satu contoh seperti disebutkan dalam laporan, anak usaha Korindo, PT Tunas Sawa Erma.  TSE memiliki tiga perkebunan. Sebagian konsesi TSE sudah tanam sawit. Bagian lain baru pembersihan hutan 2016. Konsesi ketiga, masih belum dibuka dengan luas pada Mei sekitar 25.000 hektar hutan.

Karena pembabatan hutan ini, dua pembeli besar, Musim Mas dan Wilmar, menghentikan pembelian dari Korindo.

Merespon itu, TSE mengumumkan tiga bulan moratorium alias tak membuka lahan baru. Dalam tiga bulan itu, mereka berjanji memperbaiki diri seperti nol deforestasi, dan tak beroperasi di lahan gambut.

Hutan sudah bersihkan dan stacking-stacking sudah selesai dibuat. Foto screenshot video investigasi
Sumber data dari laporan

 

 

Kebakaran dan konflik lahan

Sejak penelitian 2013, tim menemukan banyak sekali titik api di dalam konsesi Korindo. Bustar memperlihatkan, pada 2013, dari citra satelit di konsesi PT Dongin Prabhawa, ada 43 titik api. Konsesi sama, katanya, pada 2014, titik api makin banyak, 144.

Sejak akhir 2010, Donghin Prabhawa,  sudah membuka kebun dan menanami sawit seluas 24.000 hektar. Pada akhir 2015, kebun tanam sudah seluas 24.200 hektar.

Investigasi menemukan, periode 2011-2016, pembabatan hutan seluas 6.700 hektar, dengan 2.900 hektar hutan primer.

Dari sebaran titik api lewat citra satelit itu terlihat, sebagian besar ada di pinggiran. “Ini indikasi mulai perluasan hutan, ada di pinggiran konsesi,” katanya.

Pada 2015, titik api makin banyak, terutama di daerah yang mulai dibuka. Bahkan, dari citra satelit yang terlihat api, bukan titik panas lagi, seperti pada TSE.

“Cara-cara lama diterapkan di Papua. Karena paling mudah, murah buat bersihkan lahan dengan membakar,” ucap Bustar.

Hutan baru dibabat. Foto dari screenshot video investigasi
Api tampak di konsesi Korindo. Grafis dari laporan

Konsesi lain, PT Citra Abadi,  temukan hal sama, pembakaran terus berlanjut. Dari 2013-2014, titik api terpantau dalam konsesi ini.

Pada 2013, ketika masih bersama Greenpeace, dia juga melakukan flyover. “Ini pembakaran di jalur-jalur stacking.  Kalau ada orang bilang ini masyarakat yang bakar, ya pikir sendiri.”

Bahkan, pada September 2015, laporan menyebut, api dalam konsesi Korindo,  meluas ke perkebunan warga Sekely. Perusahaan tak berbuat apa-apa. Malah, perusahaan menuduh warga sengaja membakar lahan pertanian mereka.

Tahun ini, katanya, temukan pola hampir sama di Kalimantan dan Sumatera. Jalur penumpukan kayu (stacking) mulai dibuat.

“Ketika kering, itu akan dibakar. Stacking ini kemungkinan besar dibakar. Gak mungkin masyarakat bikin ladang di sini,” katanya.

Begitu banyak titik api di konsesi, memperlihatkan Korindo diduga kuat melanggar hukum Indonesia soal larangan membuka lahan dengan membakar.

Kala pembersihan lahan, kayu-kayu besar seperti merbau disisihkan karena mempunyai nilai ekonomis. Jadi, katanya, berbisnis di hutan tropis itu untung berlipat ganda. “Dapat kayu, dapat lahan dan tanaman sawit.”

Korindo, tak hanya bergerak di bisnis perkebunan sawit. Perusahaan ini juga punya usaha kayu lapis dan kayu triplek.

Bustar mengatakan, aksi perusahaan buka lahan dengan bakar berjalan mulus karena pantauan atau pengawasan pemerintah sangat minim, salah satu penyebab lokasi begitu jauh.

Kala hutan Papua, terbabat jadi sawit, di manakah kangguru pohon ini bisa tinggal? Mereka menanti kepunahan…Foto dari laporan.

***

Louis Koula, dari Suku Mandobo, Papua, tampak tak bisa menyimpan kekesalan. Dia melihat, hutan adat sudah tak berpohon, hanya tinggal lahan kosong bercampur sisa-sisa tebangan kayu.

Parahnya lagi, lahan itu kini diklaim milik Korindo. Suku lain telah menjual hutan Mandobo, tanpa sepengetahuan mereka.

Tak ada izin Mandobo, perusahaan membabat hutan sepihak. Kini, suku mereka kehilangan hutan, sumber kehidupan.

“Ini lahan kami, hak kami. Tak ada kehidupan lagi. Bagaimana masa depan kami?” katanya, seperti tampak dalam video. Dia menunjuk hutan adat yang sudah hilang.

Pastor Anselmus Amo, Pimpinan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke mengatakan, konflik tak hanya terjadi antar warga dan perusahaan, juga ada marga. Marga ada yang bersedia melepaskan lahan, ada yang tak mau.

“Mandopo ini merasa keberatan karena lahan mereka dilepaskan oleh marga lain. Harusnya klarifikasi dulu, apa batas benar atau tidak agar tak konflik,” katanya.

Perusahaan, katanya, memang ada izin pemerintah tetapi proses-proses di lapangan seharusnya dengan persetujuan warga.

“Mereka memang dapat izin, tapi proses untuk sampai dapat izin yang banyak kecurangan. Saya mau bilang gitu. Prinsip yang ada dalam bisnis dan HAM, FPIC sama sekali tak ada,” kata Amo.

Free Prior Informed Consent (FPIC) adalah prinsip yang menegaskan hak masyarakat adat menentukan bentuk-bentuk kegiatan apa yang diinginkan pada wilayah mereka.

Louis Koula, dari Suku Mandobo, Papua, dalam interview di video menceritakan hutan mereka yang hilang menjadi konsesi Korindo. Foto dari screenshot video
Sumber dari laporan

Sejak mulai Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), katanya, untuk proyek pangan ternyata banyak masuk investasi sawit. Tak hanya Korindo, juga perusahaan lain.

Perusahaan masuk, minim sosialisasi.

“Kalau tanya apa ada sosialisasi, paling satu kali. Mengapa tanda tangan? Dibawa jalan-jalan ke kota, lihat sawit ke daerah lain, lalu tanda tangan.”

Setelah itu, perusahaan datang bongkar lahan,  di belakang ada aparat militer.

“Kalau tak izinkan, militer yang bergerak. Dalam perusahaan sawit ini, aparat militer sangat berkepentingan,” katanya.

Dia mencontohkan, ada koperasi Kodim, jadi kontraktor land clearing perusahaan. Ada juga, yang menjadi eksekutor lapangan agar warga mau menyerahkan atau memberi izin  atas lahan mereka.

“Hal seperti ini masyarakat pasti takut.”

Untuk Orang Papua, kata Amo, ketakutan warga ada dua sebab. Pertama, sebagai manusia biasa takut dengan militer. Kedua, stigma kalau melawan disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM).

“Kalau lawan perusahaan, yang dibawa (warga) bendera merah putih, (supaya tak distigma OPM). Ini stigma gampang buat bunuh orang Papua adalah OPM. Ini bukan hanya di Merauke. Padahal masyarakat sebenarnya tak tahu soal ini.”

Kayu-kayu bagus hasil pembersihan hutan buat kebun sawit dikumpulkan dan menjadi nilai ekonomi tersendiri. Foto: dari laporan
Korindo di Malut. Sumber laporan

SKP-KAM, katanya, konsern perlindungan hak-hak warga “Manusia tak tinggal di langit, tak melayang-melayang di udara. Manusia itu di atas tanah dan hidup mereka masih menyatu dengan hutan. Kalau hutan mereka diambil, itu bukan hutan saja diambil, segala isi di hutan juga habis,” katanya.

Bukan hanya manusia perlu hutan,  mahluk hidup lain juga.

“Mana ada bird of paradise menari-nari di dahan sawit. Karena bukan itu ia punya tempat. Kangguru tak mungkin cari makan di sawit. Ekosistem habis, ya sudah, ia habis.”

Satwa dan tumbuhan tak bisa membela diri.  “ Tinggal manusia yang harus berjuang. Karena manusia punya akal budi,” katanya.

Kala investor masuk, pemerintah dan pengusaha berjualan kata-kata ‘mensejahterakan masyarakat.’ “Benarkah masyarakat sejahtera?”

Kondisi menyedihkan malah banyak terlihat di kampung-kampung dekat konsesi. Warga kehilangan lahan, tak punya hutan buat menggantungkan hidup dari berburu sampai memanfaatkan sumber lain.

Suku Mandobo, satu contoh. Mereka kehilangan hutan karena jadi konsesi Korindo.

“Soal jualan sejahtera kala investor masuk, sudah terbukti tak ada terjadi dengan melihat contoh di Kalimantan dan Sumatera. Apakah Papua, Malut,  harus mengalami hal serupa juga?” tanya Bustar.

Dalam foto-foto dan video pun tampak kehidupan warga menyedihkan. Infrastruktur, seperti jalanpun jauh dari sebutan jalan alias sangat buruk.

Pantauan titik api dari tahun ke tahun. Sumber dari laporan

Jualan kesejahteraan yang dihembuskan, kata Amo,  hanya omongan perusahaan. Kenyataan, Orang Papua, banyak miskin.

“Kesejahteraan apa yang dibawa? Apa ukuran kesejahteraan? Masuk investasi, lalu dapat kerja di perusahaan lalu sejahtera? Belum tentu. Ukuran sejahtera, bukan karena ada perusahaan.”

“Tinggal di hutan, berburu, dapat makan, besok cari lagi, mereka bahagia. Kesejahteraan itu terkait kebahagiaan. Bukan soal ada kerja di perusahaan baru sejahtera,” katanya.

Kepunahan Orang Papua

Y.L Franky, Direktur Yayasan Pusaka, khawatir kepunahan Orang Papua, kala investor masuk mengambil lahan-lahan adat dan membabat hutan.

Dalam filosofi Papua, katanya, kala tanah dan hutan hilang, maka orang asli Papua bisa habis. Saat ini saja, katanya, dari populasi warga di Papua, sekitar 3,5 juta jiwa, orang asli Papua, paling tak sampai 50%.

Hutan, rumah dan tempat hidup orang Papua, terbabat menjadi kebun sawit…Foto dari screenshot video investigasi
Cendrawasih merah (Paradisaea rubra), yang ditemukan di Papua. Buruk endemik Papua yang langka inipun makin terancam kala hutan hilang jadi sawit. Foto: Tim Laman

Kala mereka makin terdesak, penguasaan lahan jatuh ke pemodal seperti Korindo. Di Papua dan Malut, grup perusahaan ini tak kurang punya kuasa kelola sekitar 900 ribuan hektar terdiri dari kebun-kebun sawit dan HPH. Belum lagi perusahaan lain.

Pada 2014, Yayasan Pusaka, bersama SKP-KAM juga mengeluarkan Atlas Sawit Papua. Laporan ini berisi, kuasa perkebunan sawit yang menyebar di Papua dan Papua Barat. Dari sana tampak, hutan-hutan sudah banyak dikuasai perusahaan.

Tak hanya di Papua. Di Halsel, Malut, konflik lahan dengan warga juga terjadi. Dalam laporan itu disebutkan, PT Gelora Mandiri Membangun (GWM), anak usaha Korindo ini, juga mengabaikan hak-hak warga, dengan tak bisa memenuhi FPIC kala membuka kebun.

Sejak awal proyek tak ada informasi yang baik kepada warga. Kebun-kebun warga dihancurkan begitu saja. Pada Januari 2012, warga berdemonstrasi menuntut penghentian operasi GWM.

Petengahan 2013, konflik meluas, dengan mengkriminalisasi 14 warga—yang berakhir di pengadilan dengan vonis bebas murni dari hakim. Walhi Malut, mendampingi warga sejak awal. Konflik masih berlanjut hingga kini.

Pada 11 mei 2016, Walhi Malut menggugat Korindo atas beberapa permasalahan seperti warga makin kesulitan air bersih, Amdal bermasalah, sampai mempertanyakan izin hak guna usaha (HGU). Tuntutan lain soal penanaman sawit di lereng curam, pembakaran, dan mengabaikan hak-hak masyarakat.

Desakan

Dengan ada temuan ini, mereka mendesak pemerintah bertindak tegas. Tahun lalu, pemerintah menegaskan apabila perusahaan terbukti membakar lahan maka izin akan dicabut dan lahan diambil alih negara.

“Bukti ada. Bagaimana pemerintah tegakkan hukum. Segera lakukan kajian mendalam untuk restorasi,” kata Bustar.

Laporan ini, katanya, sudah diberikan kepada Menteri LHK.

“Mudah-mudahan jadi perhatian Bu Menteri. Kami tak ingin apa yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera terjadi di Papua.”

Izin-izin sawit di Boven Digoel. Sumber dari Atlas Sawit Papua

April lalu, Presiden Joko Widodo, menyatakan akan memoratorium sawit, alias tak ada lagi pembukaan hutan dan lahan buat sawit.

“Kami minta hal sama seperti diminta Presiden. Penuhi yang diminta Presiden. Hutan-hutan belum dibuka, harus dilindungi.”

Perusahaan, katanya, juga lakukan FPIC dengan kembali mulai proses bertanya ke masyarakat. “Apakah mereka mengerti dan setuju dengan perusahaan ada. Semua masyarakat terlibat, tak hanya pegang kepala-kepala suku atau marga. Tak hanya dari pemerintah,” katanya.

Dia mendesak, para pembeli sawit Korindo berhenti sampai perusahaan benar-benar menjalankan komitmen menjaga hutan terisa dan menghargai hak-hak masyarakat.

“Musim Mas dan Wilmar, yang sudah punya komitetmen nol deforestasi, sudah berhenti membeli.”

Temuan investigasi ini, katanya, jangan dituding sebagai kampanye hitam. Justru sebaliknya, hasil ini demi memastikan minyak sawit Indonesia benar-benar kredibel di pasar hingga memberikan kebanggaan bagi negeri ini.

Kalo yang ada bilang kampanye hitam, itu yang lakukan kampanye hitam sebenarnya perusahaan-perusahaan membakar lahan dan langgar hak-hak masyarakat. NGO berusaha perbaiki citra Indonesia.”

Franky meminta perusahaan mengembangkan mekanisme penyelesaian konflik dan meninggalkan cara-cara kekerasan.

“Banyak kekerasan di Korindo. Ini cara-cara tak benar, kalau perusahaan mau terus investasi, harus tanggung jawab.”

Amo menuntut perusahaan harus menghargai hak asasi manusia (HAM). Dia mempersilakan, bisnis-bisnis yang tak sesuai HAM mundur dari Papua.

Perusahaan kerap berdalih telah memberikan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/CSR) kepada warga kala menjawab pelanggaran-pelanggaran hak-hak warga.

Pelanggaran HAM, kata Amo, tak bisa disumbat dengan CSR. “CSR itu tanggung jawab sosial, bukan buat tutupi pelanggaran HAM. Ini saya ingin bicara. Supaya tak dibilang tolak perusahaan, tapi agar berbisnis dengan benar. Kami tak anti Korindo,  tapi anti pelangaran HAM oleh Korindo.”

Sawit di Merauke, antara lain ada grup Korindo. Foto dari Atlas Sawit Papua

 

Terbuka diskusi?

Luwi dari Korindo, yang datang saat rilis laporan itu kala diminta tanggapan mengatakan, temuan laporan ini merupakan informasi berharga bagi Korindo. Meskipun, katanya, isi laporan itu mesti ada konfirmasi lebih lanjut, ada hal-hal yang tak terhubung langsung dan angka-angka provokatif.

Menurut dia, ada perbedaan terminologi antara perusahaan dan pembuat laporan. “Misal bicara soal deforestasi, saya tak tahu, kita punya pemahaman yang sama gak soal deforestasi.”

“APL (area penggunaan lain-red) bukan hutan, kalau buka di APL, apakah saya lakukan deforestasi? Tentu kita bisa diskusikan,” katanya mencoba berdalih temuan yang menyatakan Korindo melakukan deforestasi.

Namun, Luwi mengakui, dalam investasi kadang ada kekurangan. Salah satu upaya perbaikan, salah satu anak usaha Korindo, moratorium tiga bulan.

“Dalam tiga bulan berikan kesempatan untuk perbaiki diri.”

Diapun bilang perusahaan terbuka diskusi. “Kami senang dan terbuka buat diskusi. Mungkin dalam suasana lain kami bisa, yang lebih fair ada pemerintah. Kami terbuka.”

Luwi juga mengakui terjadi kebakaran pada konsesi sawit Korindo. “Betul, apa yang kami mau bantah?”

Dia coba membela perusahaan dan berusaha membelokkan soal taman nasional yang terbakar.  “Siapa yang tanggung jawab? Harusnya kan kita sama-sama tuntut pemerintah.”

Kayu-kayu tebangan dari babatan hutan buat sawit di konsesi Korindo. Foto dari screenshot video
Exit mobile version