Fokus Liputan: Perusahaan Datang, Warga pun Ikutan Nambang Emas di Tumpang Pitu (Bagian 2)

Para penambang sedang mendulang 14 Juni 2010. Foto: Ika NingtyasPara penambang sedang mendulang emas pada 14 Juni 2010. Foto: Ika Ningtyas

Lingkungan darat sampai perairan sekitar Tumpang Pitu, terancam tambang emas perusahaan. Pada bagian lain, tambang tradisional pun beroperasi. Warga banyak menjadi pekerja tambang, dari petani dan nelayan, beralih ke petambang.

Saat kami berada di Pantai Lampon, sambil membicarakan air muara yang keruh, Bu Mis menceritakan soal wilayah di balik bukit yang berjajar di Pantai Lampon. Dia menawarkan kami blusukan ke punggung bukit itu.

“Di sana ada Pantai Parang Kursi. Ada tumpukan karang menyerupai kursi. Kata orang tua, Nyi Roro Kidul, pernah duduk di sana. Menuju ke Parang Kursi jalannya sulit. Licin. Mintalah antar ke warga jika ingin ke sana,” kata warga Lampon ini.

Baca juga: Fokus Liputan: Tambang Emas Tumpang Pitu, Ancaman Kerusakan Pesisir dan Perairan (Bagian 1)

Fitriyati, warga Pancer juga bercerita tentang pantai indah di Kecamatan Pesanggaran ini. Penduduk sekitar menyebut Pantai Parang Kursi. Ada juga menyebut Pantai Manis. Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, menyepakati Parang Kursi, sebagai nama pantai itu.

Lokasi tepat di tengah-tengah Pantai Lampon dan Pulau Merah. Panorama alam alami dan bersih. Wisatawan masih jarang ke sana.

Keindahan Pantai Parang Kursi, terlihat dari air laut sangat jernih, pasir putih kemerahan, hijau lumut menempel di batu karang, serta karang-karang besar tersusun rapi.

Untuk menuju Parang Kursi, bisa lewat Lampon, terlebih dahulu menyeberangi muara. Jika lewat Lampon, harus izin ke Markas Intai Amfibi. Jalur umum menuju Parang Kursi melalui jalur Desa Ringinagung.

Ternyata, tak hanya pantai indah ada di belakang bukit itu.  Di sana, juga ada tambang emas tradisional. Ia berada di Petak 56.

Menurut Bu Mis, para penambang tradisional kumpul di Petak 56. Beberapa orang menyebut kawasan itu sebagai Kampung Seket Enem.

Kami menyusuri petak-petak Perhutani yang jadi pertambangan tradisional. Berjalan kaki. Bisa juga pakai sepeda motor. Jalan curam. Ketika musim hujan, becek.

Melewati lahan jati Perhutani dan sesekali berjumpa penduduk yang mencari bambu wuluh. Sepanjang jalan mendekati Pantai Parang Kursi, terlihat puluhan tenda warna-warni milik para penambang tradisional.

Para pekerja tampak beraktivitas.

Deretan tenda berwarna-warni penuh sesak dengan beberapa peralatan penggalian, baju-baju penambang bergelantungan. Ada kompor, dan peralatan masak juga tikar sederhana sebagai alas para penambang kala melepas lelah.

Letak kompor dan beberapa peralatan masak tepat di sebelah sumur tempat mereka menggali tanah. Masak, makan minum dan istirahat di tenda tempat mereka menambang.

Ada juga blower, sebagai asupan oksigen bagi penggali lubang. Lubang galian hanya seukuran tubuh manusia dewasa hingga hanya bisa menampung satu orang. Mereka bekerja bergantian.

Informasi tentang potensi logam mulia berupa emas mudah menyebar. Menurut Aris, penambang asal Jember, biasa kabar dari getok tular–teman-teman penambang lain.

Biasa juga lewat media pesan singkat melalui ponsel. Begitu info disebar, esok hari rombongan penambang dari berbagai daerah akan datang. Tidak diketahui pasti penyebar pertama kali.

Kebanyakan para penambang merupakan pekerja. Mereka dibayar untuk pertambangan ini. Ada modal besar membiayai mereka mulai peralatan penggalian lubang, mesin gelondong, bahan kimia pemisah emas, hingga kebutuhan makan sehari-hari.

Biasa dalam satu lubang ada tiga pemilik modal dengan pekerja tiga sampai enam orang. Dalam satu lubang menghabiskan dana besar.

Aris bilang, dana Rp100 juta tak cukup untuk proses dari awal sampai akhir. Dana, katanya, bisa sampai miliaran rupiah.

Mesin gelondong penambang emas. Foto: BaFFEL
Mesin gelondong penambang emas. Foto: BaFFEL

Ada warga sampai menjual rumah tetapi tak mendapatkan hasil apa-apa hingga gulung tikar. Jarang ada penambang berawal dari modal sendiri. Terkadang ada juga yang investasi mesin gelondong, pembayaran menggunakan sistem bagi hasil.

Dia bilang, lebih gampang pakai sistem dulang (panning), karena serbuk emas langsung dapat tanpa proses pemisahan.

Ada beberapa kasus sistem dulang masih menggunakan air raksa atau merkuri.  Ketika ada serbuk emas susah dipisahkan, katanya, harus menggunakan merkuri.

Penggunaan merkuri terkadang langsung di sungai tempat penambang mendulang.

Beberapa penambang termasuk Aris mengaku tak pernah mendapatkan pelatihan khusus seputar penambangan. Mulai pemetaan lokasi, katanya, pencarian batu atau tanah yang mengandung emas, penggalian lubang, gelondong hingga pemisahan emas mandiri berbekal pengalaman teman-teman terdahulu.

Sebelum berangkat ke lokasi pertambangan, biasa mereka akan memetakan wilayah dan kondisi masyarakat sekitar melalui mesin pencari. Segala informasi yang dibutuhkan kebanyakan didapatkan di mesin pencari di internet. Termasuk bagaimana proses pemisahan emas, mereka dengan mudah melihat detail di Youtube.

Aris menjelaskan,  pengolahan dan pemisahan emas dengan sistem gelondong. Para penambang, katanya,  akan menggali sumur untuk mendapatkan tanah dan batu mengandung emas.

Setelah itu,  akan dimasukkan ke mesin gelondong untuk menghancurkan tanah maupun batuan. Hasilnya, seperti lumpur karena selama proses dicampur dengan air.

Dalam 50 kg gelondong perlu sekitar dua ons air raksa. Makin banyak air raksa, akan makin bagus hasil. Untuk proses ini, mereka akan membuat bak-bak kamar mandi seukuran 2.000-5.000 liter. Limbah dibuang di sekitaran tempat gelondong.

peta-tambang-tumpang-pitu

Dalam pertambangan emas tradisional, tak semua pemain pemodal lokal. Ada juga pengusaha-pengusaha dari daerah lain di luar wilayah pertambangan.

Sistem yang dipakai, jual beli tanah dan batu hasil galian untuk kemudian digelondong di tempat mereka sendiri.

Menurut Aris, biasa dari pengusaha lokal yang dekat hubungan dengan pemerintahan.

Ada beberapa sistem yang jarang dipakai di pertambangan tradisional ini karena biaya tinggi dan faktor keselamatan. Antara lain, kata Aris, proses pemisahan menggunakan sianida, teknologi elektro winning dan potasium.

Sistem elektro winning dan sianida biasa diterapkan perusahaan besar. Meski tak banyak, ada juga pertambangan emas tradisional pakai sianida.

Untuk sistem potasium membutuhkan keahlian dan alat khusus. Cara ini, katanya, murah tetapi berisiko tinggi terhadap keselamatan pekerja.

Proses pakai sianida, Aris pernah mencoba bersama beberapa teman. Ketika batu dan tanah diduga mengandung emas dicampur sianida, akan mengeluarkan asap putih pekat dan sedikit berbuih.

Asap putih ini, katanya, seperti daun-daun basah terbakar. Bau menyengat dan membuat pusing.

Aris merasa pusing dan dada sesak ketika mencoba itu. Padahal, katanya, dia masih menggunakan sianida dalam takaran kecil. Untuk proses ini, dia tak menyarankan dalam ruangan gelap dan tertutup. “Harus banyak ventilasi udara.”

Para penambang sebagian tahu tentang dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan mereka. Namun, mereka seakan mengabaikan itu demi hasil yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan ekonomi secara cepat.

“Kebanyakan penambang, termasuk saya, pasti mengharapkan hasil maksimal. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, juga meningkatkan perekonomian di mata masyarakat.”

Jalur menuju Pantai Parang Kursi, melewati hutan jati Perhutani. Foto: Zuhana A Zuhro
Jalur menuju Pantai Parang Kursi, melewati hutan jati Perhutani. Foto: Zuhana A Zuhro

Mereka berangan tinggi. “ Pokoknya mimpi tinggi-tinggi, bahkan sampai tak masuk akal. Kalau saya, jika berhasil banyak, akan beli apapun. Kalau sudah rugi,  tak ada hasil, rasanya sudah nggak karuan. Kadang kalau di daerah lain ada lagi lokasi yang mengandung emas, ya berangkat lagi. Nggak kapok!” ucap Aris.

Lukman Hakim, pemuda Desa Sumberagung, wilayah ring satu area pertambangan mengatakan, kala orang-orang berdatangan menambang, masyarakat sekitar juga ikut jadi penambang.  Wilayahnya,  di Gunung Kucur, tepat sebelah timur konsesi PT Bumi Suksesindo (BSI).

Menurut dia, pertambangan rakyat memerlukan dana besar. Dalam satu lubang, bisa sampai ratusan juta rupiah bahkan miliar rupiah.

“Untuk galian lubang, tidak bisa diukur mas. Itu semua tergantung rezeki. Ada 10 meter dapat. Ada yang menggali hanya tiga meter, sudah dapat,” katanya.

Bagi dia, menggali emas itu kerja untung-untungan.

“Itu masalah rezeki. Ada yang menggali selama enam bulan kedalaman 40 meter,  baru dapat. Setiap penambang beda-beda peruntungan. Bahkan ada sudah mengeluarkan uang ratusan juta rupiah, tak dapat apa-apa,” ucap Lukman.

Karena peruntungan tak jelas, Lukman memutuskan berhenti dan melanjutkan menjadi petani jeruk. Baginya, usaha menambang tak sebanding dengan yang didapatkan.

“Kalau menjadi petani, hasil sudah jelas.”

Beberapa penambang tradisional masyarakat sekitar, ada yang lanjut, ada yang memiliki seperti Lukman, berbalik menjadi nelayan ataupun petani.

“Saya akan bertahan semampu saya tetap menjadi petani. Rugi kalau mau balik nambang,” katanya.

Lukman ingin menolak pertambangan ini, tetapi tak bisa bertindak apa-apa. “Mau gimana lagi, wong masyarakat sendiri banyak yang seperti ini.”

Ketika marak pertambangan tradisional, pada 2008, banyak warga menjual ternak dan lahan pertanian karena tergiur ikut menambang.

Keindahan Pantai Parang Kursi. Pantai-pantai di sekitar Tumpang Pitu. Foto: Zuhana A Zuhro
Keindahan Pantai Parang Kursi. Pantai-pantai di sekitar Tumpang Pitu. Foto: Zuhana A Zuhro

Mereka berlomba-lomba mendapatkan sebanyak-banyaknya emas. Dari sini, muncul penadah-penadah emas dengan modal besar. Ada yang menyediakan alat gelondong untuk pemisahan emas. Rumah-rumah semi permanen dibangun untuk proses gelondong. Limbah dibuang di sekitar tempat itu.

Selain di Sumberagung dan Pancer,  peralihan pencaharian warga ke tambang juga terjadi pada sebagian masyarakat Lampon.

Gejala ini sempat diteliti Denar Septian Arifin, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarya.

Dalam skripsi Denar berjudul Dampak Peralihan Mata Pencaharian Terhadap Mobilitas Sosial (Studi pada Masyarakat Lampon Dusun Ringinsari Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi) memperlihatkan, pada awal 2008, saat marak pertambangan tradisional di Tumpang Pitu, hanya lima keluarga Lampon ikut menambang.

Seiring waktu, melibatkan hampir seluruh warga Lampon. Tahun itu juga, terjadi peralihan mata pencaharian besar-besaran warga Lampon. Awalnya, petani menjadi penambang emas tradisional.

Untuk menjadi penambang emas tradisional di Tumpang Pitu, warga Lampon harus menghadapi dan melobi pihak keamanan terdiri dari Brimob dan polisi yang menduduki kawasan pertambangan.

Saat itu, banyak penambang ditangkap pihak keamanan karena aktivitas mereka dianggap melanggar hukum alias menambang emas ilegal.

Dalam penelitian, Denar mewawancarai 15 orang. Tiga Kepala Desa Pesanggaran, Kepala Bidang Kesejahteraan Desa Pesanggaran, dan Kepala Dusun Ringinsari Lampon. Dua belas lain nelayan dan penambang.

Peralihan mata pencaharian warga Lampon tak bisa lepas dari alasan keinginan untuk meningkatkan taraf hidup mereka.

Batuan yang mengandung emas milik penambang di Petak 56. Foto: Zuhana A Zuhro
Batuan yang mengandung emas milik penambang di Petak 56. Foto: Zuhana A Zuhro

Mereka bilang, nelayan hanya mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kebanyakan buruh nelayan di Lampon, hidup serba kekurangan. Penghasilan sebulan rata-rata Rp800.000, hasil paling tinggi kadang Rp2.000.000.

Kala menjadi penambang, kalau beruntung, bisa mendapatkan hasil hingga puluhan juta rupiah.

Faktor lain, hambatan nelayan. Warga Lampon, banyak memilih jadi nelayan dibanding bercocok tanam.

Meski begitu, menjadi nelayan bukan tanpa hambatan, seperti kondisi perairan di laut Lampon yang mulai sepi ikan, minim modal, sampai keterbatasan teknologi atau alat tangkap ikan.

Penelitian Denar menyebutkan, peralihan mata pencaharian, juga berdampak pada kedinamisan mobilitas sosial masyarakat. Dalam waktu enam tahun, masyarakat banyak mengalami gerak sosial meningkat dan menurun.

Ada beberapa faktor menyebabkan gerak sosial meningkat kemudian menurun sedemikian cepat. Di antaranya, pendapatan tambang, gaya hidup, untung-untungan dan praktik hukum tak jelas.

Menurut Fitriyati, sebelum marak pertambangan tradisional maupun perusahaan,  Tumpang Pitu merupakan kawasan sangat dikeramatkan warga. Ia merupakan tempat pelarian Whong Agung Wilis.

Tenda-tenda biru para penambang di Petak 56. Foto: Zuhana A Zuhro
Tenda-tenda biru para penambang di Petak 56. Foto: Zuhana A Zuhro

Ada banyak mitos beredar di masyarakat seputar kawasan keramat itu. Salah satu mitos, Tumpang Pitu merupakan tujuh tumpeng yang dibuat Wong Agung Wilis dan pasukannya sebagai tempat persembunyian ketika dalam pelarian.

Salah satu bukti tersisa adalah Pura Segara Tawang Alun, sampai saat ini selalu dikunjungi umat Hindu dari seluruh pelosok negeri.

Fitri sendiri heran dan menyayangkan, kawasan yang dulu keramat malah ramai ditambang baik perusahaan maupun pertambangan tradisional.

Dari catatan, kemunculan pertambangan tradisional ini, awalnya aksi protes masyarakat penolak pertambangan emas di Gunung Tumpang Pitu.

Mereka bosan dengan janji-janji pemerintah perihal pencabutan izin eksplorasi. Saat itu, kuasa masih dipegang PT Indo Multi Niaga (IMN).

Masyarakat menganggap, tanah yang digali IMN adalah milik warga, hingga mereka merasa berhak untuk menambang emas di sana.

Kini, PT Merdeka Copper Gold Tbk, dengan dua anak usaha mereka, PT Bumi Suksesindo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI), mendapatkan izin tambang di Tumpang Pitu.

Dyah Fatma Yuli, dalam penelitian skripsi berjudul ‘Konflik Pertambangan Emas di Gunung Tumpang Pitu Desa Sumberagung Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi tahun 2007-2009’ menyebutkan, pertambangan rakyat dinilai liar karena belum memiliki izin formal.

Tak sedikit warga menambang ditangkap dan terkena sanksi hukum. Penambangan liar masyarakat,  dianggap sangat berbahaya dan merusak karena pengetahuan masyarakat minim soal pertambangan.

Ketrampilan juga kurang hingga sering kecelakaan dan kematian akibat longsoran tanah dan terowongan-terowongan tambang. Selain itu, tak ada pengelolaan limbah. Peremajaan bekas galian tambang hampir tidak ada.

Setelah selesai dibiarkan menganga.

Lubang tambang di Petak 56. Foto: BaFFEL
Lubang tambang di Petak 56. Foto: BaFFEL

Jumlah penambang bukan hanya masyarakat sekitar Pesanggaran. Ada dari luar Banyuwangi bahkan luar Jawa Timur. Ada sekitar 6.000 orang. Pada 29 April 2009, dipulangkan paksa ke daerah masing-masing dengan pengawalan 190 personil aparat keamanan.

Pemulangan itu setelah Pemerintah Banyuwangi rapat koordinasi dengan Muspida, Perhutani dan pemilik izin ekplorasi emas IMN. Rapat dipimpin langsung Bupati Banyuwangi kala itu, Ratna Ani Lestari. Kesimpulan pertemuan, penambangan emas liar berpotensi besar merusak lingkungan hingga harus dihentikan.

Bersamaan dengan pemulangan penambang rakyat, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), menanggapi.  Jatam menilai,  pemerintah Banyuwangi tak adil karena setiap ada pertambangan rakyat selalu dilabeli ilegal karena tidak ada izin.

Menurut Jatam, kemunculan pertambangan rakyat karena masyarakat sekitar Tumpang Pitu latah menyikapi perusahaan pertambangan emas di sana.

Data Perhutani Banyuwangi Selatan, menyebutkan, selain di Petak 56, pertambangan rakyat juga ada Petak 79 dan 78,  Dusun Ringinagung Pesanggaran. Ada ribuan lubang galian tersebar. Di Petak 78, luas kerusakan sekitar lima hektar.

Di Petak 79, ditemukan lubang-lubang sumur bekas pertambangan tradisional dengan kedalaman mencapai 25–30 meter dibiarkan menganga. Ada sekitar 50 pohon jati Perhutani tumbang dan mati.

Pada 25 November 2009, ribuan lubang bekas tambang ditutup oleh ratusan petugas gabungan Perhutani, TNI dan Polri.

Pertambangan tradisional di anak Sungai Gonggo, terletak di tengah hutan menyebabkan aliran-aliran sungai rusak. Sebagian limbah bermuara di lautan Lampon, meninggalkan pencemaran di sungai yang berakibat pada perairan laut di sekitar.

Proses memisahkan tanah dengan emas menggunakan mercuri. Foto: Banyuwangi's Forum for Environmental Learning (BaFFEL)
Proses memisahkan tanah dengan emas menggunakan mercuri. Foto: Banyuwangi’s Forum for Environmental Learning (BaFFEL)

Penelitian kandungan merkuri

Susintowati, Dosen Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, meneliti Bioakumulasi Dalam Tubuh Biota di Muara Lampon pada Mei 2010 hingga Juni 2011.

Hasil penelusuran, memperlihatkan,  akumulasi merkuri dalam sedimen muara Sungai Lampon melebihi batas baku mutu.

Merkuri merupakan jenis logam berat seringkali sebagai pengikat emas pada proses amalgamasi. Penyebarannya,  di lingkungan harus diawasi ketat. Jika melebihi batas baku mutu, merkuri bisa membahayakan.

Dalam penelitian itu, Susintowati menggunakan metode Mercury Analyser di LPPT UGM. Hasilnya, akumulasi merkuri dalam sedimen muara hingga 0,45 ppm site I (mangrove timur), site II 65,52 ppm (lokasi amalgam), site III (bibir muara) hingga 1,17 ppm.  Sedangkan timbunan tailing tersisa setelah tambang ditutup 634,19 ppm.

Semua akumulasi sedimen dan tailing ini sangat tinggi, melebihi batas baku mutu. Sedang standar direkomendasikan di Indonesia adalah 0,001 mg/l—sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004.

Berdasarkan standar baku mutu ini, akumulasi merkuri di Lampon,  sangat tinggi. Merkuri secara alami akan keluar dalam bentuk gas ke atmosfer.

Masa bertahan merkuri,  di atmosfer sangat singkat, kira-kira 11 hari, di tanah bisa 1.000, 2.100, 3.200 tahun dan bisa lebih 250 juta tahun di sedimen samudera.

Lalu, berdasarkan perkiraan, sekitar satu bulan hingga lima tahun berada di perairan yang terkontaminasi merkuri.

Bioakumulasi merkuri dalam tubuh bioindikator Gastropod mollusca (siput) juga menunjukkan nilai tinggi, melebihi batas baku mutu. Pada Terebralia sulcata (kerang nenek) hingga 3,1 ppm , dalam tubuh Nerita argus (siput pantai) hingga 3,03 ppm. Juga dalam tubuh Patella intermedia, siput yang biasa di pantai berbatu mencapai 0,44 ppm.

Dengan analogi sederhana, Susintowati menjelaskan beberapa kemungkinan apabila proses ini masuk dalam rantai makanan melalui plankton di perairan laut Lampon yang terindikasi. Plankton kecil dimakan plankton besar. Plankton besar akan dimakan ikan, kerang atau siput. Ini semua akan terakumulasi dan sampai pada tubuh manusia.

Hasil penelitian Susintowati membuktikan, skala kecil pun tambang dan sudah ditutup sekian lama, namun efek cemar masih tetap ada dan tinggal di perairan laut Lampon. Bersambung

Suasana di tempat penggalian tambang rakyat. Foto: Ika Arumingtyas
Suasana di tempat penggalian tambang rakyat. Foto: Ika Ningtyas
Tenda-tenda penambang di Petak 56. Foto: Zuhana A Zuhro
Tenda-tenda penambang di Petak 56. Foto: Zuhana A Zuhro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,