Kala Wilayah Kelola Warga Mentawai Makin Menyempit

Wilayah hidup atau kelola warga di Kabupaten Kepulauan Mentawai, makin menyempit. Hutan dan lahan, sebagian besar hutan negara ataupun sudah terbebani izin.

Dari 601.135 hektar daratan Mentawai, 491,925,42 hektar kawasan hutan, sudah terbagi dalam kawasan suaka alam/kawasan pelestarian alam (KSA/KPA) 183.378,87 hektar, hutan lindung 7.670,73 hektar, hutan produksi 246.011,41 hektar dan hutan produksi konversi (HPK) 54.856,28 hektar. APL hanya 109.217,71 hektar, sebagian pernah ada usulan izin usaha perkebunan sawit  seluas 73.500 hektar.

Kepala Bappeda Mentawai Naslindo Sirait membenarkan kondisi ini. Dia mengatakan, dilihat pemanfaatan ruang setiap pulau dapat digambarkan wilayah hidup masyarakat sangat kecil. Dari 119.045,34 hektar hutan produksi di Siberut, terbebani izin dan ditetapkan arah pemanfaatan seluas 117.175 hektar.

Pemanfaatan itu, untuk PT. SSS 47.605 hektar, arahan  hutan tanaman industri 20.110 hektar dan restorasi ekosistem (RE) 50.000 hektar. Luas hutan produksi tersisa 1.330 hektar. Ruang penghidupan masyarakat Siberut tersisa 83.646,13 hektar pada hutan produksi 1.330 hektar, hutan produksi konversi 48.972,69 hektar dan areal penggunaan lain 33.343,44 hektar.

Di Pulau Sipora, hutan produksi dan HPK 34.789,92 hektar. Seluas 33.300 hektar ditengarai sedang pengurusan izin PT. Hutani Bhara Union Lestari. Jika konsesi izin hutan alam disetujui, luasan hutan tak berizin tinggal 1.482,92 hektar. Jika ditambahkan dengan APL 26.066,51 hektar, ruang dapat dimanfaatkan 20.663 jiwa di Sipora hanya 27.556,43 hektar.

Di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan dari 78.418,73 hektar hutan produksi menjadi konsesi HPH PT. MPL seluas 78.000 hektar, . hutan produksi belum berizin hanya 418,73 hektar. Jika ditambahkan dengan APL 36.850,56 hektar, ruang penghidupan 24.625 jiwa di kedua pulau ini hanya 36.850,56 hektar. Andai jadi perkebunan, ruang penghidupan masyarakat terjepit.

Dia mengatakan, setop izin pada perusahaan  dan revisi RTRW bisa jadi skenario memperbesar wilayah kelola masyarakat di Mentawai.

Menurut Naslindo, RTRW Mentawai mengacu kepada RTRW Sumbar hanya menyediakan ruang kelola bagi masyarakat melalui APL 109.200 hektar (18%) dari 601.000 hektar daratan Mentawai. Sedang, 82% atau 491.000 hektar hutan negara berupa hutan lindung, suaka alam, hutan produksi, dan HPK.

“Kenyataan saat ini, 111.058 hektar hutan negara beralih menjadi pemukiman, perladangan, fasilitas umum, dan perkantoran,” katanya dalam diskusi publik bertajuk Memastikan Ruang Kelola Rakyat aman, adil dan berkelanjutan di Mentawai, pekan lalu.

Sagu di Pulau Siberut. Foto: Rachmadi
Sagu di Pulau Siberut. Foto: Rachmadi

Keterbatasan ruang kelola, katanya, menyebabkan Pemerintah Mentawai kesulitan membangun infrastruktur mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dia mencontohkan, pembangunan jalan trans Mentawai sepanjang 393,3 km, 65% atau 254 km di kawasan hutan hingga menjadi kendala. “Belum lagi soal ingin membuka sawah baru.”

Naslindo menilai, Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Mentawai (PPMHA) belum selesai juga menjadi persoalan dalam tata ruang Mentawai.

Untuk itu, dalam revisi RTRW Sumbar 2017, akan mengusulkan mengeluarkan 111.058 hutan negara.

“Perlu saya ingatkan, perubahan kawasan bukan untuk menebang dan menghabiskan hutan, hutan itu ada fungsi lestari, tak semua bisa dibuka,” katanya.

Untuk mempercepat pengesahan Ranperda PPMHA, tahun depan Bappeda Mentawai berencana membuat kajian etnografi.

Rifai Lubis, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) mengatakan, ruang kelola rakyat Mentawai terhadap sumber daya alam sangat minim.

“Ini mau kita dorong bagaimana SDA Mentawai dikelola masyarakat dengan aman, adil dan berkelanjutan,” katanya.

Hutan di Saibi, SIberut. Foto: Rachmadi
Hutan di Saibi, SIberut. Foto: Rachmadi

Dia menyebutkan, energi terbesar mendorong Mentawai memisahkan diri dari Padang Pariaman karena ada perasaan tak menerima perlakuan sewenang-wenang terhadap pengelolaan SDA juga terjadi kesenjangan pembangunan.

“Pembangunan Mentawai saat gabung Padang Pariaman sangat minim, sumber daya alam dikeruk,” katanya.

Kini, bicara layanan pendidikan, pembangunan infrastruktur sudah ada tetapi kedaulatan ruang dan pengelolaan SDA masyarakat Mentawai, minim.

“Kita masih lihat konsesi-konsesi di masyarakat belum melalui persetujuan tanpa paksaan. Kehadiran perusahan hanya menjadi kewenangan si pemilik kekuasaan yang menjadi penerbit izin,” katanya.

 

Sahkan Perda PPMHA

Desakan segera mengesahkan Perda PPMHA juga datang dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mentawai. Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Mentawai Rapot Pardomuan mengatakan,  berbagai produk perundang-undangan tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah mengakui keberadaan masyarakat adat melalui peraturan daerah maupun produk hukum lain.

Kayu log perusahaan melintas di pemukiman. Foto: YCMM
Kayu log perusahaan melintas di pemukiman. Foto: YCMM

Dia menyebut antara lain, UU Kehutanan, UU Pengelolaan Wilayah dan Perlindungan Wilayah Pesisir, UU Desa dan lain-lain. Bahkan secara khusus UU Pemerintahan Daerah mengatur kewenangan pengaturan masyarakat adat kepada pemerintah daerah terutama urusan sosial.

“Jadi tak perlu lagi ada keraguan DPRD Mentawai mengesahkan Ranperda PPMHA ini, dasar hukum jelas,” katanya.

Menurut Rapot, persoalan mendasar masyarakat adat Mentawai adalah konflik tenurial atau kehutanan. Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan N0. 35/Menhut-II/2013 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Kabupaten Mentawai, kawasan hutan wilayah ini 491.917.29 hektar, sekitar 85% daratan.

Pengambilalihan wilayah adat berimplikasi pada ruang hidup, ruang spritualitas dan kearifan lokal lain hilang. Penunjukan hutan negara sepihak, katanya, berpotensi memicu konflik.

AMAN, katanya, sudah memberikan peta partisipatif wilayah adat Saureinu, Matobe, Rokot, Goisooinan, Sagurujuw kepada Bupati Mentawai saat Musda AMAN II,  18 Mei 2016. Keinginan mereka, ada penetapan wilayah adat itu melalui SK Bupati paling lambat 20 Oktober 2016.

Tokoh masyarakat Saibi Samukop Surkino Sanenek mengatakan, Ranperda PPMHA merupakan aturan yang ditunggu-tunggu agar adat Mentawai benar-benar terlindungi.

Dia mendesak DPRD segera mengesahkan Ranperda PPMHA. “Tak ada alasan membatalkan atau mengulur-ulur.”  Pemerintah Mentawai, katanya, sudah mengajukan draf ke DPRD.

Dengan ada pengakuan dalam Ranperda PPMHA, katanya, dapat membentengi masyarakat adat.

Kampung Rereiket, SIberut: Rachmadi
Kampung Rereiket, SIberut: Rachmadi

Surkino menduga, pengesahan Ranperda PPMH di DPRD terjadi tarik  ulur. Kemungkinan, katanya, ada kepentingan di DPRD.

“Saya menduga begitu. Kalau secepatnya disahkan tanah ulayat kita makin jelas, ketika ada investor masuk penentuan dari kita,” ujar dia.

Dari Sikabaluan Siberut Utara, Sikebbukat Uma Sikaraja, Tunduken Sikaraj juga mendesak DPRD Mentawai segera mengesahkan Ranperda PPMHA.

“Tanah leluhur mesti dikuasai sepenuhnya oleh suku dan dikelola baik oleh suku demi kelangsungan hidup anggota. Bukan ditentukan oleh siapa-siapa termasuk negara (Polak punu teteu buik tak suku masi jago ibailui kabaraijat purimanuaijat kabagat suku),” katanya.

Bagi Orang Mentawai,  tanah merupakan jati diri suku hingga tak sembarang diberikan kepada orang lain. “Apalagi itu polak punuteteu,” katanya.

Begitu juga dengan Taleku, dari Suku Sikebbukat. “Tanah nilai terpenting dalam masyarakat Mentawai. Tanpa tanah, masyarakat Mentawai tak ada nilai,” katanya.

Untuk adat dan budaya, katanya, selaras dengan kearifan masyarakat Mentawai itu sendiri. “Adat dan budaya antara satu daerah dengan daerah lain di Mentawai berbeda-beda. Mereka punya nilai dan kearifan lokal sendiri,” katanya

mentawai5-info-grafis-izin-pemamfaatan-kawasan-hutan-mentawai Sumber: AMAN

Rekomendasi ke DPRD

Hasil diskusi akan jadi rekomendasi yang langsung diserahkan kepada Wakil Ketua DPRD Mentawai,  Kortanius.

Rekomendasi itu berisi, pertama agar DPRD Mentawai segera melanjutkan pembahasan Ranperda PPMHA Mentawai,  dan pengesahan selambat-lambatnya November 2016.

Kedua,  peta partisipatif wilayah adat yang sudah diserahkan bisa ditetapkan paling lambat 20 Oktober 2016.  Ketiga, agar pemerintah memenuhi kewajiban layanan dasar.

Keempat, mendukung dan meminta pemerintah menolak rencana taman nasional atau izin-izin lain sebelum tata batas partisipatif melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik, pembuatan peta. Penetapan juga melalui pengesahan menteri.

Kortanius berjanji menyampaikan rekomendasi ini kepada anggota DPRD Mentawai yang sedang kunjungan kerja ke luar daerah.

Dia bilang, agenda dewan cukup padat akhir tahun ini, dari pembahasan LKPJ, sampai pembahasan APBD Perubahan 2016. “Kalau pembahasan dan penetapan RAPBD Mentawai 2017 tak selesai sampai Desember, kita akan kena sanksi. Ini berdampak terhadap pembangunan dan masyarakat Mentawai,” katanya.

Mengenai revisi taman nasional dan kawasan hutan lain, DPRD siap mendukung. “Kita maju bersama dengan masyarakat dalam revisi ini. Kita sepakat.”

Usai pertemuan di DPRD Mentawai, masyarakat melanjutkan dialog dengan Bupati Mentawai, Yudas Sabaggalet di Kantor Bupati. Hadir Kepala Bappeda Mentawai, Naslindo Sirait, Plt. Sekda Mentawai, Saiful Jannah, Kepala Inspektorat Miko Siregar, Kepala Dinas Kehutanan Mentawai Tasliatul Fuaddi dan Sekretaris Dinas Pendidikan, Dominikus Saleleubaja.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,