Adaptasi Perubahan Iklim Berbasis Kearifan Lokal. Seperti Apa?

Salah satu strategi yang dinilai ampuh untuk mengurangi resiko bencana adalah adaptasi perubahan iklim berbasis kearifan lokal. Keyakinan itu terungkap dalam dialog publik bertema “Membangun Ketangguhan Melalui Adaptasi Perubahan Iklim”.

Program Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) menggelar dialog tersebut sebagai bagian dari peringatan Hari Internasional untuk Pengurangan Resiko Bencana. Menurut catatan APIK, selama dua puluh tahun terakhir, diperkirakan 90% bencana besar di dunia disebabkan oleh kejadian terkait cuaca.

Ari Mochamad, Climate Change Adaptation Governance Advisor program APIK, mengungkapkan, kearifan lokal dan modal sosial dapat menjadi contoh strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim.

Namun, penerapan strategi tersebut dipandang perlu mendapat dukungan partisipasi berbagai pihak seperti kelompok keagamaan untuk meningkatkan kesadaran, serta dunia usaha dengan investasi sosial. Selain itu, menurut Ari, diperlukan juga komitmen kepala daerah dalam merespon perubahan iklim untuk memperkuat kapasitas di tingkat daerah.

“Praktik adaptasi perubahan iklim harus dimulai dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat melalui aksi kolaboratif dan berlangsung sepanjang tahun. Hal tersebut harus dilakukan jika ingin mengurangi risiko bencana yang mengancam masyarakat dan menuju Indonesia yang lebih tangguh,” paparnya ketika ditemui Mongabay di Hotel Aryaduta Manado, Kamis (12/10/2016).

Ari menegaskan, komitmen pemerintah harus dimulai dengan sebuah proses kajian kerentanan. Salah satu elemen yang terdapat di dalamnya adalah historikal data yang terkait dengan bencana, kondisi masyarakat, termasuk juga skenario adaptasi kedepan.

“Dari situ akan terlihal sektor mana yang paling rentan. Dari kerentanan tadi, akan keluar pilihan-pilihan adaptasi. Misalnya, karena keterbatasan biaya yang dimiliki provinsi, maka prioritas di daerah akan di fokuskan di pesisir dan pertanian,” jelasnya.

Jadi, masih dikatakan Ari, strategi adaptasi yang dikembangkan harus meletakkan basis perencanaan dengan mempertimbangkan ancaman-ancaman perubahan iklim di dalamnya, sehingga pilihan-pilihannya akan menjadi tepat.

“Jangan bangun tanggul, tapi tidak banjir atau malah membuat bencana baru. Jadi pilihan adaptasi bisa dari yang murah, seperti kearifan lokal. Disesuaikan dengan karakter dan sesuai dengan konteks daerah, tidak bisa ditetapkan secara nasional,” tambah Ari.

Alat berat diterjunkan untuk membersihkan longsor yang merubuhkan rumah warga di Desa Lamsujeun, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, saat terjadi bencana tersebut beberapa waktu lalu. Foto: Junaidi Hanafiah
Alat berat diterjunkan untuk membersihkan longsor yang merubuhkan rumah warga di Desa Lamsujeun, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, saat terjadi bencana tersebut beberapa waktu lalu. Foto: Junaidi Hanafiah

Senada dengan itu, Abdul Latif Bustomi, Direktur Eksekutif Adaptasi Perubahan Iklim Nahdatul Ulama mengatakan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia sudah memiliki strategi adaptasi berbasis kearifan lokal, pemahaman soal perubahan iklim, pengurangan risiko bencana dan bagaimana cara menghadapinya.

Salah satu faktor yang mendasarinya adalah interaksi dengan lingkungan dalam kurun waktu yang relatif lama.  Dia mencontohkan kearifan lokal masyarakat di kepulauan Talaud seperti Mane’e atau Manam’mi.

Hasil interaksi masyarakat kepulauan dengan lingkungannya membuat mereka memiliki pengetahuan, semisal, lokasi dan musim ikan. Sehingga, untuk menangkapnya masyarakat tidak perlu menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan.

“Jadi ada keberlanjutan dan tanggung jawab pada masa depan. Bahwa, ikan bukan hanya dikelola untuk generasi sekarang.”

Sehingga, penyelarasan kebijakan pemerintah, kearifan lokal dan ajaran agama dinilai sebagai sebuah keharusan. Sebab, dia tak memungkiri bahwa dalam program-program pembangunan, terkadang terdapat upaya menerobos konsep-konsep kearifan lokal dan tidak mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan lingkungan.

Agar penyelarasan itu bisa tercapai, Abdul Latif menyarankan pada pemerintah untuk kembali menggali pengetahuan dan memori kolektif terkait kearifan lokal sebagai cara menghadapi perubahan iklim.

“Karena konsep kearifan lokal lebih mudah diterima daripada gagasan-gagasan dari luar yang tidak dimengerti masyarakat,” kata Abdul Latif.

Agar hal tersebut dapat terwujud, pemerintah diharapkan mau menyusun produk-produk legislatif yang berpihak pada konservasi-ekologis. Selain itu, ia mengingatkan bahwa tindakan yang cenderung merusak lingkungan memiliki pertanggujawaban yang bersifat eskatologis.

“Apa yang diperbuat hari ini akan dipertanggungjawabkan setelah meninggal. Sehingga, perlu juga membumikan ajaran agama ke dalam aksi nyata,” terang Abdul Latif.

Bencana Meningkat 95%

Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana BNPB, mengatakan, sebelum bencana terjadi masyarakat harus melakukan sesuatu. Tindakan itu diperlukan karena tiap tahunnya kejadian bencana alam terus terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari tahun 2002 hingga 2015, tren bencana di Indonesia meningkat dengan 95% merupakan bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, puting beliung, cuaca ekstrim dan kekeringan.

Kemudian, selama tahun 2016, terjadi sekitar 1700 kejadian bencana, dengan jumlah korban jiwa lebih dari 400 jiwa dan lebih dari 2 juta penduduk yang menderita mengungsi.

“Negara berkewajiban melindungi warga Negara dari bencana dengan memperkuat kapasitas penanggulangan yang ada di daerah. Masyarakat juga harus diberdayakan dan tidak lagi dipandang sebagai korban semata,” terangnya.

Lebih lanjut, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tingginya angka kejadian bencana di Indonesia juga diakibatkan oleh berubahnya pola iklim yang diperparah oleh aktifitas manusia, kerusakan ekosistem, serta produksi karbon yang menyebabkan kualitas lingkungan menurun.

Selain itu, penting pula menjaga kualitas lingkungan serta menjaga kualitas dan kapasitas sosial ekonomi. Praktik adaptasi perubahan iklim juga harus menjadi prioritas investasi.

“Hasil studi menunjukkan bahwa setiap US$ 1 juta yang kita keluarkan untuk mengurangi risiko bencana saat ini, akan menghemat sekitar US$ 7 juta dari kerusakan yang berpotensi timbul dikemudian hari,” demikian dipaparkan Syaiful Anwar, Kepala Subdirektorat Perencanaan Adaptasi Perubahan Iklim KLHK.

Dia mengatakan, bencana sebagai dampak perubahan iklim dinilai tidak dapat dihindari lagi, sehingga berbagai pihak harus melakukan adaptasi mulai saat ini. Selain itu, adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana tidak dapat lagi dilihat sebagai dua hal terpisah. Integrasi dua hal tersebut sangat krusial dan harus menjadi urusan bersama untuk membangun ketangguhan.

“Kejadian bencana berhubungan erat dengan perubahan iklim. Bicara tentang perubahan iklim tidak bisa lagi hanya fokus pada mitigasi tetapi juga adaptasi,” ujar dia.

Pemerintah sendiri, masih dikatakan Syaiful, berupaya meningkatkan ketangguhan dengan mengurangi kerentanan di masyarakat. Setelah itu menentukan pilihan-pilihan adaptasi karena ancaman di tiap daerah berbeda-beda.

“Dari pilihan-pilihan itu kita menetapkan prioritas, kemudian diintegrasikan dengan rencana pembangunan di daerah,” pungkas Syaiful.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,