Setelah sekitar 1,5 jam menanti dari jadwal, sekitar pukul 11.33, akhirnya, rapat paripurna pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Perjanjian Paris untuk Perubahan Iklim, dibuka pada Rabu (19/10/16). Pemberitahuan lewat pengeras suara menyebutkan, sudah ada tanda tangan 314 anggota DPR, hingga rapat kuorum dan bisa mulai.
“Apakah RUU Paris Agreement, dapat disetujui?” kata Agus Hermanto, pimpinan rapat bertanya usai pembacaan hasil rapat sebelumnya, berupa pandangan akhir fraksi di Komisi VII.
“Setujuuu….” Jawab para anggota DPR.
Sah. RUU Perjanjain Paris untuk Perubahan Iklim telah disetujui DPR RI. Indonesia telah mengesahkan ratifikasi perjanjian ini.
Agus mengatakan, pengesahan ini wujud komitmen Indonesia, sejalan dengan agenda nasional dan program pemerintah bidang lingkungan hidup.
Dengan ratifikasi ini, katanya, Indonesia akan mendapatkan manfaat antara lain, peningkatan perlindungan wilayah yang rentan perubahan iklim lewat mitigasi dan adaptasi, peningkatan pengakuan atas komitmen nasional dalam berbagai sektor seperti energi, kehutanan, pertanian, industri dan lain-lain.
Baca juga: Seluruh Fraksi DPR Setuju RUU Perjanjian Paris Melaju ke Pengesahan
Manfaat lain, katanya, Indonesia, bisa lebih berperan dan mempunyai hak suara serta beragam kemudahan lain, misal sumber pendanaan, transfer teknologi dan lain-lain.
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mewakili Presiden Indonesia dalam rapat itu mengatakan, Persetujuan Paris ini merupakan paradigma baru dalam penanganan perubahan iklim.
“Orientasi buat percepatan penanganan dampak perubahan iklim, yang menjadi ancaman sekaligus peluang,” katanya.
Indonesia, katanya, wilayah rentan dampak perubahan iklim karena kenaikan muka air laut di pesisir. Perubahan iklim juga berdampak pada kelangkaan sumber daya air. Pada sektor kesehatan, terjadi kasus demam berdarah, dan penyakit lewat air terutama musim penghujan.
“Perubahan iklim makin krusial. Kerusakan jalan, jembatan juga terjadi, permukaan tanah turun,” katanya.
Sektor pertanian juga berimbas, terjadi penurunan produksi, pola tanam berubah dan perubahan ekstrim termasuk kebakaran hutan lebih intensif.
“Ini buat tekan suhu rata-rata global dua derajat celcius. Jadi kewajiban setiap negara siapkan Nationally Determined Contributions. Penurunan harus meningkat secara periodik. Negara berkembang perlu dukungan buat upaya ini,” ujar dia.
NDC Indonesia pun perlu penetapan berkala. Tahap pertama, katanya, penurunan emisi 29% atau 41% dengan bantuan luar pada 2030. Ia akan tercapai lewat-sektor-sektor seperti kehutanan, pertanian, energi termasuk transportasi, industri, penggunaan produk dan penanganan limbah.
Dalam NDC Indonesia, energi menyumbang 16,87%, kehutanan 7,22%, pertanian 1,21%, Industri 0,71% dan limbah 2,99%.
Guna mencapai target tu, kata Siti, kebijakan-kebijakan dan instrumen sudah dibangun. “Kelembagaan pendanaan tengah disusun, berbagai kebijakan seperti moratorium, kan udah dijalanin,” katanya usai rapat.
Menurut dia, langkah Indonesia sudah banyak, tinggal konsistensi bahkan peningkatan aksi.
“Kalau implementasi sih saya tidak khawatir. Dukungan internasional bagus ya. Saya merasakan betul.
Paling penting sebetulnya, kerja sistematis dari Indonesia sendiri. Juga kesiapan masyarakat untuk berubah. Disitulah sosialisasi harus terus menerus dilakukan,” ucap Siti.
Arief Yuwono, Staf Ahli Menteri LHK bidang Energi mengatakan, setelah pengesahan di paripurna ini dokumen akan dikirim ke Presiden untuk tanda tangan dan diundangkan Kementerian Hukum dan HAM. Salinan ini akan dikirim ke Sekjen PBB.
“Secepatnya, minggu ini. Intinya sebelum COP,” katanya. COP-22 di Marakesh, Maroko, mulai pada 7 November ini.
Dengan ratifikasi ini, katanya, berarti Indonesia tak lagi sebagai observer. “Ini buat kita jadi punya suara. Itu bisa nentukan ke mana arah negosiasi dan kita hubungkan dengan kepentingan nasional,” katanya.
Ratifikasi ini juga, upaya menyelaraskan kepentingan nasional dengan Perjanjian Paris. “Momentum Paris Agreement ini adalah penguatan-penguatan dari apa yang udah kita lakukan supaya bisa lebih cepat lagi. Mengingat ancaman climate change makin gawat. Dampak meluas.”
Implementasi serius dan sunguh-sungguh
Ratifikasi ini mendapat tanggapan para pegiat lingkungan. Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, ratifikasi Perjanjian Paris ini merupakan langkah positif negara.
Dia bilang, makna ratifikasi ini sebenarnya lebih penting buat dalam negeri dibandingkan dunia internasional.
“Ini seharusnya menjadi komitmen politik negara dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim yang telah dialami jutaan warga negara Indonesia,” katanya.
Upaya ini, ucap Yaya, biasa dia disapa, tak terhenti sekadar ratifikasi tetapi harus tercermin dalam tanggung jawab negara memenuhi komitmen ini.
“Misal, komitmen menurunkan emisi hingga 29% tahun 2030 dan memastikan kebijakan adaptasi bisa mencegah bencana ekologis,” ujar dia.
Negara, harus menunjukkan komitmen itu dalam rencana-rencana pembangunan, seperti sektor energi, menghapuskan bertahap penggunaan energi fosil (batubara), dengan menggenjot energi terbarukan. Juga, menghentikan ekspansi perkebunan monokultur seperti sawit dan hutan tanaman industri (pulp) yang mengakibatkan deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan dan lain-lain.
Kala pemerintah tak mengimplementasikan komitmen ini, katanya, masyarakat bisa menuntut negara, dengan membawa ke pengadilan.
Pandangan tak jauh beda dikatakan Arif Fiyanto, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara. Greenpeace, katanya, menyambut baik ratifikasi Perjanjian Paris yang disahkan di DPR hari ini.
“Dengan meratifikasi, artinya Pemerintah Indonesia harus memenuhi komitmen pengurangan emisi yang disampaikan Jokowi di Paris, 29% pada 2030, 41% dengan dukungan internasional.
Pemenuhan komitmen, tak bisa terimplementasi tanpa ada kerja serius. Dia meminta, pemerintah melakukan dengan bersungguh-sungguh. “Upaya pengurangan emisi dari berbagai sektor harus sistematis dan serius.”
Dia menilai, pemerintah masih terpaku pada pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor hutan dan lahan dan kurang serius pengurangan emisi dari sektor energi.
Padahal, katanya, kecenderungan dalam beberapa tahun kedepan emisi sektor energi akan meningkat signifikan.
Arif mencontohkan, kebijakan energi pemerintah masih terus melanjutkan ketergantungan terhadap batubara sebagai bahan bakar fosil dengan tingkat pegemisi karbon tertinggi.
“Proyek 35.000 MW, separuhnya masih dari PLTU batubara, Rencana usaha penyediaan tenaga listrik untuk tahun 2016-2025 juga 55% akan dipenuhi PLTU batubara,” katanya.
Dengan meneruskan kebijakan energi yang melanggengkan terhadap batubara, ucap Arif, akan sangat sulit bagi Indonesia memenuhi komitmen dalam Perjanjian Paris.
Untuk itu, katanya, Pemerintah Indonesia harus mengurangi ketergantungan terhadap batubara dengan mendukung pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi secara serius.
“Tanpa itu, Kesepakatan Paris yang diratifikasi hari ini hanya akan berakhir sebagai macan kertas.”