Dua pemuda berbaring di depan Istana Merdeka, pagi itu. Wajah hitam legam penuh debu. Puluhan orang tampak mengelilingi kedua pemuda ini sambil orasi.
Wajah hitam ini simbol kondisi Cirebon terutama daerah sekitar pelabuhan yang hampir 13 tahun jadi korban bongkar muat batubara. Pelabuhan berjarak tak lebih 4,2 kilometer dari Kota Cirebon.
Aksi warga yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Cirebon pada 10 Oktober lalu ini dipicu pembukaan aktivitas bongkar muat batubara di Pelabuhan Cirebon pada 27 September 2016. Sebelumnya, Desember 2014 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan surat teguran kepada PT. Pelindo II cabang Cirebon karena tak memasukkan aktivitas bongkar muat batubara dalam dokumen Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) mereka. Pelindo lantas diberi waktu revisi 45 hari.
Teguran ini tak dipenuhi Pelindo. Hingga Januari 2016, penyidik KLHK memasang plang penyegelan terkait dugaan pelanggaran pidana karena tak menjalankan teguran KLHK.
Maret 2016, bongkar muat berhenti melalui surat perintah Kementerian Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Penutupan sementara hingga Pelindo memenuhi persyaratan perizinan lingkungan hidup.
Alih-alih Pelindo memenuhi persyaratan Amdal, Walikota Cirebon Nasrudin Azis membuka kembali izin bongkar muat batubara pada 27 September 2016.
Alasan Bupati, para pengusaha berjanji mengatasi debu akibat bongkar muat batubara dengan metode penyiraman. Sudah berminggu-minggu sejak pembukaan, kondisi sama saja.
Sebelum itu, dukungan pembukaan bongkar muat batubara disuarakan Ketua Komisi V DPR, Farih Djemy Francis. Kala meninjau Pelabuhan Cirebon, bersama anggota komisi, dikutip dari Beritatrans, Rabu (3/8/16), dia bilang banyak permintaan aktivitas bongkar muat batubara dibuka lagi.
***
Sumiati (45) warga asli Panjunan, Cirebon, seraya menggendong anaknya yang berusia dua tahun, Moura mengeluh lingkungan tak sehat dan tak pernah bersih.
“Di rumah semua berdebu. Debu masuk ke nasi, sayuran, makanan, mengendap di air minum. Hitam semua,” kata nenek empat cucu ini.
Jarak rumah Sumiati dan pelabuhan, tak sampai 100 meter. Setiap hari dia menghirup debu polusi. Warga sekitar tak sedikit akrab dengan batuk parah, sesak nafas, asma serta Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
“Rumah tak pernah bersih. Tetangga saya ada setiap pagi batuk berdahak. Dahak hitam,” katanya.
Hal sama dialami keluarga Titik Anjar Lestari (34). Ibu dua anak ini terpaksa meninggalkan anaknya bersama nenek mereka karena ikut aksi di Jakarta. “Capek sebenernya. Saya punya anak, satu lima tahun kena radang paru-paru. Karena itu saya bela-belain ke sini,” ucap Titik.
Bagi dia, wilayah sekitar pelabuhan dulu lingkungan asri dan sehat. Setiap Minggu ramai warga main di pelabuhan. Banyak juga orang memancing ikan. Sejak Pelabuhan Cirebon menangani hampir 90% muatan curah, 80% batubara, intensitas bongkar muat batubara makin meningkat sejak 2004.
Pada 2008, tercatat 226 perusahaan beralih menggunakan batubara. Kurang lebih 300-400 truk lalu lalang setiap hari melewati Kota Cirebon mendistribusikan ke beberapa daerah termasuk Bandung, Jawa Tengah dan sekitar.
“Sejak ada batubara, saya tak pernah lagi main ke pelabuhan. Tak ada lagi yang memancing karena tak ada ikan.”
Titik, Sumiati dan belasan ibu-ibu warga Panjunan, berangkat dari Cirebon, Minggu malam sekitar pukul 11.00 malam dengan dua bus. Untuk berangkat warga desa guyub mengumpulkan iuran Rp2.000 per keluarga. Mereka yang mewakili desa ke Jakarta.
Kelurahan Pajunan terdiri dari 10 Rukun Warga (RW) dan 42 Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah penduduk 9.997 jiwa.
“Ini murni gerakan warga. Walhi hanya dampingi,” kata Kris Herwandi warga Cirebon yang ngekos sekitar pelabuhan.
Bagi mereka, alasan walikota membuka kembali izin bongkar muat tak masuk akal. Walikota bikin kesepakatan dengan pengusaha untuk meredam debu akibat bongkar muat. Tanpa landasan jelas, walikota melangkahi aturan dan melanggar surat perintah Kementerian Perhubungan dan KLHK.
“Setiap hari ratusan truk bolak balik pelabuhan. Saya kalau main basket di lapangan dekat pelabuhan, baju langsung hitam. Kalau walikota bilang ada penyiraman debu, itu cuma di permukaan. Setelah penyiraman debu mengendap dan mengalir ke laut. Itu lebih parah lagi,” katanya.
Janji kompensasi perusahaan tak jelas jumlah dan aturan. “Katanya perusahaan akan kasih kompensasi akibat debu sekian miliar. Kemana?”
Dampak lain dirasakan nelayan sekitar pelabuhan. Karso, perwakilan nelayan dari Kelurahan Kesenden. Dia mengatakan, pendapatan dan ongkos melaut malah. “Udang dan ikan hilang dari perairan dekat hingga nelayan mesti berlayar jauh ke tengah untuk dapat ikan.”
Jika dulu nelayan bisa membawa pulang penghasilan Rp200.000-Rp400.000 sehari, kini maksimal Rp200.000. Untuk ongkos melaut, biasa Karso hanya menghabiskan uang Rp100.000-Rp200.000, kini harus merogoh kantong hingga Rp500.000 sehari.
“Dulu banyak udang sekitar pelabuhan, kini tak ada lagi. Belum lagi kapal tongkang lalu lalang. Biasanya, kalau sudah ramai tongkang banyak nelayan tak melaut,” kata Karso.
Bahaya debu batubara
Mulyani, seorang dokter pendamping warga menjelaskan, batubara dapat membunuh perlahan manusia dan dalam jumlah besar. Debu anorganik batubara bersifat korosif, tak berwarna dan tak berbau namun lengket.
Partikel kecil berukuran satu hingga lima mikron bisa langsung masuk ke paru-paru menyebabkan jaringan paru setelah 10-20 tahun ke depan akan mengeras. Penyakit ini akan berlanjut terus menjadi paru-paru hitam dan berakhir fatal.
“Kita tentu tak ingin anak-anak di sana hanya berusia 15 -20 tahun,” ucap Mulyani.
Parahnya lagi, penyakit ini tak ada obatnya. Yang bisa dilakukan hanya menjauhi sumber debu batubara. Dengan kata lain bongkar muat batubara di Pelabuhan Cirebon, harus segera dihentikan.
Debu ini bisa terbang sampai 50 kilometer, luas Cirebon hanya 33 kilometer. Kondisi ini, diperparah fasilitas umum sekitar bongkar muat seperti rumah sakit, sekolah (dengan murid sekitar 1.500 orang), rumah tahanan (dengan 500 binaan) dan desa nelayan berpenduduk padat, termasuk anak-anak dan bayi.
“Muka anak-anak sekolah di sana cemong seperti kucing garong,” katanya. Meski menggunakan masker tak melindungi penuh anak-anak dari serbuan debu. Anak-anak tidur dengan kaki dan tangan hitam karena tak bisa dicuci, kecuali disikat.
Teknologi penyemprotan batubara dengan air justru menimbulkan pencemaran sumber air sejauh dua kilometer yang bisa mengakibatkan kanker paru-paru.
Data Puskesmas setempat mencatat 2014, terjadi polusi hebat dan parah hingga penderita ISPA meningkat 30%.