Badak Sumatera, Apakah Baik-baik Saja di Habitatnya?

 

Badak sumatera telah hidup di muka bumi sejak 20 juta tahun silam. Ia merupakan jenis terkecil dibandingkan empat badak tersisa lainnya yang ada di muka bumi: badak jawa (Rhinoceros sondaicus), badak india (Rhinoceros unicornis), badak hitam (Diceros bicornis) dan badak putih (Ceratotherium simum) di Afrika.

Badak bercula dua ini tingginya hanya sekitar 120 cm-135 cm dengan panjang tubuh 240-270 cm. Berat rata-ratanya sekitar 900-an kilogram. Sebutannya adalah the hairy rhinoceros, karena permukaan tubuhnya ditutupi rambut pendek dan kaku. Meski daya penglihatannya tidak tajam akan tetapi sensitivitas penciuman dan pendengarannya sangat tinggi, mampu mengenali bau keringat manusia dan binatang lainnya.

Nama ilmiah Dicerorhinus sumatrensis untuk badak sumatera yang diberikan oleh Fischer pada 1814 dianggap yang paling tepat. Hingga kini, nama tersebut tetap dipertahankan meskipun pernah juga diberikan nama berbeda seperti Ceratorhinus sumatrensis (sumatranus), Didermocerus sumatrensis (sumatranus), Rhinoceros lasioti, Ceratorhinus crosii, Ceratorhinus niger, dan Cerathorhinus blythii.

Berdasarkan persebarannya, badak sumatera ini dibedakan dalam tiga subjenis. Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis dengan daerah persebaran di Sumatera, Malaysia, dan Thailand. Dicerorhinus sumatrensis harrissoni ada di wilayah Kalimantan. Sedangkan Dicerorhinus sumatrensis lasiotis terpantau mulai dari Myanmar bagian utara hingga Assam dan Pakistan bagian timur. Untuk subjenis Dicerorhinus sumatrensis lasiotis, beberapa peneliti badak mengatakan bahwa keberadaannya sudah tidak ada lagi sejak puluhan tahun lalu.  

 

Badak sumatera tengah berkubang. Badak bercula dua ini berperan penting pada ekosistem hutan. Foto: Rhett Butler
Badak sumatera tengah berkubang. Badak bercula dua ini berperan penting pada ekosistem hutan. Foto: Rhett Butler

 

Diperkirakan, populasi badak sumatera di dunia pada 1974 sekitar 400 – 700 individu. Namun, penurunan populasi dalam setiap sepuluh tahunnya mencapai 50 persen. Di Indonesia, bila dilihat dinamika populasi badak sumatera hingga tahun 1986 jumlahnya diperkirakan masih pada rentang 145 – 200 individu. Namun, pada 1986 – 2007, populasinya menukik hingga 82 persen. Saat ini, jumlahnya diperkirakan tidak lebih dari 100 individu.

Populasi tersebut ada di Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan Taman Nasional Way Kambas. Di Taman Nasional Kerinci Seblat, yang dulunya disebut sebagai gudangnya badak, sejak 2008, diperkirakan sudah tidak ada lagi.

Padahal, jika merujuk laporan Ditjen PHPA dan Yayasan Mitra Rhino (1993), persebaran badak sumatera sebelumnya ada di 17 lokasi di Sumatera. Mulai dari bagian utara Taman Nasional Gunung Leuser hingga bagian selatan Taman Nasional Way Kambas.

Bahkan, Skafte dalam Schenkel (1969) yang merupakan peneliti badak menuliskan, dataran Sumatera bagian tengah merupakan kantong badak. Saat itu, masyarakat masih dengan mudahnya memburu dan membunuh badak. Hutan Riau waktu itu merupakan daerah populasi badak yang padat, hingga akhirnya disebutkan pada 1966 jumlah badak tersisa sekitar 25 individu. Tahun 1969, menurut Schenkel, keberadaan badak sumatera mulai langka, sebagaimana yang tertulis dalam buku “Teknik Konservasi Badak Indonesia.”

 

Badak sumatera memiliki pendengaran dan penciuman yang tajam. Tubuhnya juga dipenuhi rambut yang pendek dan kaku. Foto: Rhett Butler
Badak sumatera memiliki pendengaran dan penciuman yang tajam. Tubuhnya juga dipenuhi rambut yang pendek dan kaku. Foto: Rhett Butler

 

Survei

Hadi S. Alikodra, pakar badak di Indonesia, menuturkan keberadaan badak sumatera saat ini memang harus disurvei total. Lakukan ground check lagi, dengan begitu akan diketahui pasti populasi sesungguhnya. Berapa jumlah jantan, betina, anakan, dan bagaimana persebarannya. “Memang tidak mudah dilakukan, tapi harus dilaksanakan,” terangnya, di sela seminar Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam Konteks Pengelolaan Landsekap Berkelanjutan di Bogor, belum lama ini.

Alikodra menuturkan, indikasi menurunnya populasi badak memang ada. Ini terlihat dari sejumlah perburuan yang luar biasa, jerat yang bertebaran. Meski sulit dilacak namun, ancaman perburuan ini nyata dan meresahkan. “Penyelamatan harus dilakukan. Ada tekanan dari luar berupa perburuan, menyempitnya ruang hidu, serta populasinya yang kecil, yang tersebar di beberapa kantong. Persoalan ini, sejatinya sudah dibicarakan 20 tahun lalu.”

 

Tampak jerat badak yang akan dilepaskan oleh anggota Rhino Protection Unit di Way Kambas, Lampung. Perburuan badak merupakan musuh utama dan nyata yang harus diperangi. Foto: Rhett Butler
Tampak jerat badak yang akan dilepaskan oleh anggota Rhino Protection Unit di Way Kambas, Lampung. Perburuan badak merupakan musuh utama dan nyata yang harus diperangi. Foto: Rhett Butler

 

Apakah penyelamatan badak sumatera bisa dilakukan dengan cara pengelolaan secara lansekap menyeluruh di Pulau Sumatera, Alikodra menuturkan cara ini masih sulit dilakukan. Karena, bicara bentangan alam maka bukan hanya badak yang harus dijaga tapi keseluruhan keragaman hayati. Di Leuser, misalnya, ada gajah, harimau, dan orangutan sumatera yang semua itu perlu diselamatkan.

Pastinya, kebijakan intensif manajemen harus difokuskan, terutama pada populasi badak yang benar-benar ada di wilayah persebarannya. Saat ini, badak yang dipastikan ada terdata di Taman Nasional Way Kambas yang berdasarkan perhitungan sekitar 25 individu. Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dari kamera jebak terpantau 5 – 6 individu, mungkin bila kameranya ditambah akan lebih banyak diketahui. Tapi ini hanya kemungkinan saja, karena jumlahnya tidak sebanyak dulu yang diperkirakan ada 60 – 70 individu.

Sementara di Taman Nasional Kerinci Seblat, tidak ada badaknya lagi. Jangan lupakan pula badak sumatera yang tengah dipantau di Kalimantan Timur. “Semua pihak harus bekerja sama, demi penyelamatan badak sumatera yang statusnya Kritis (Critically Endangered/CR),” paparnya.

 

Taman Nasional Way Kambas merupakan habitat badak sumatera. Foto: Rhett Butler
Taman Nasional Way Kambas merupakan habitat badak sumatera. Foto: Rhett Butler

 

Leuser

Keberadaan badak sumatera di Taman Nasional Gunung Leuser saat ini terganggu akibat perburuan dibenarkan oleh Azhar, Koordinator Spesies WWF Indonesia Kantor Program Aceh. Menurutnya, badak membutuhkan hutan yang sangat alami sebagai tempat hidupnya dan bakal pindah ketika habitatnya diganggu. “Pemburu mengejar culanya karena diyakini sebagai obat mujarab, ramuan tradisional Tiongkok. Akibatnya, perburuan marak.”

Padahal, badak memakan sekitar 100 jenis tanaman hutan dan sangat bermanfaat menebarkan biji dari kotoran yang dibuangnya itu. Untuk menyelamatkan badak sumatera, berbagai bentuk kegiatan yang ada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) maupun di TNGL seperti pembangunan jalan tembus yang membelah KEL dan TNGL, termasuk kegiatan pembukaan hutan untuk perkebunan dan pertambangan, harus dihentikan.

“Jika ingin badaknya selamat, pemerintah pusat dan daerah harus memproteksinya dari pemburuan dan melindungi habitatnya.”

 

Perburuan badak harus dihentikan. Sumber: RPU-Yayasan Badak Indonesia (YABI)
Perburuan badak harus dihentikan. Sumber: RPU-Yayasan Badak Indonesia (YABI)

 

Manager Konservasi Forum Konservasi Leuser (FKL), Rudi Putra juga menyatakan hal yang sama. Hingga saat ini, belum diketahui pasti jumlah badak yang ada di TNGL. “Di Leuser populasi badak masih ada, tapi kecil. Penelitian terakhir dilakukan 1985, saat itu diperkirakan ada 30 individu. Namun, sejak 1985 hingga 1990, tidak ada tim patroli yang menjaganya dari perburuan.”

Saat ini, patroli badak di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan TNGL dilakukan oleh Forum Konservasi Leuser (KEL), sebanyak 13 tim. Mereka masuk hutan untuk menyelamatkan badak dari perburuan dan menjaga habitatnya, juga merusak jerat yang dipasang. “13 tim ini tergolong kecil untuk memantau badak di hutan seluas 1.820.726 hektare. Minimal, ada 26 tim patroli untuk memberantas pemburu yang nyatanya berasal dari Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Riau. Masyarakat lokal, hanya dimanfaatkan sebagai penunjuk jalan,” jelasnya pekan lalu.

 

Pemulihan populasi badak yang terukur sangat penting dilakukan. Sumber: Haerudin R. Sadjudin/YABI
Pemulihan populasi badak yang terukur sangat penting dilakukan. Sumber: Haerudin R. Sadjudin/YABI

 

Rudi menjelaskan, pada 2017 Rencana Strategi Konservasi Badak Indonesia akan berakhir, dan banyak yang harus diperbaiki dari renstra tersebut. Misalnya, dalam renstra dituliskan, populasi badak direncanakan meningkat tiga persen pertahun. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya, dari 273 jumlah badak pada 2007, saat ini populasinya kurang dari 100 individu.

“Pemerintah harus tegas, kalau memang populasi badak terisolir, lakukan evakuasi untuk diletakkan di suatu tempat. Dengan begitu, badak sumatera dapat berkembang biak dengan baik dan aman,” pungkasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,