Alat musik Sato tentu tak setenar alat musik lainnya sehingga membuat banyak orang tentu penasaran bila mendengar namanya. Kekhasan alat musik gesek sato ini hanya bisa ditemukan di Kabupaten Ende, tepatnya di Desa Waturaka, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende.
Keunikan sato adalah alat musik ini terbuat dari bila atau labu hutan. Dulu sato dimainkan sendirian untuk mengusir kesepian di tengah kebun atau di rumah. Sato juga biasa dimainkan bersamaan selama ritual adat.
Sato yang sempat hilang, perlahan bangkit kembali dengan menampilkan permainannya pada berbagai pentas di tingkat kabupaten. Seiring dengan bangkitnya wisata, wisatawan yang berkunjung menyaksikan permainan sato dalam sebuah pentas berdurasi dua jam pun meningkat.
Buah Labu Hutan
Iganisius Leta Odja (52) salah seorang pemain alat musik ini saat disambangi Mongabay, menjelaskan bahwa sato terbuat tidak sembarang labu, tetapi labu hutan yang banyak dijumpai di hutan sekitar Waturaka. Labu hutan ini pun sering digunakan untuk wadah penyimpan air ataupun sirih pinang.
“Biasanya dipakai labu yang sudah tua, dibelah dan dibuang isinya lalu dikeringkan sampai benar-benar kering dan berwarna kecoklatan, baru dapat dipergunakan,” ungkap Sius.
Kesulitan mencari buah labu untuk membuat alat musik saat ini, kadang menyebabkan sato juga sering dibuat dari buah maja atau batok kelapa berbentuk bulat dan berukuran besar. Namun demikian, sato berbahan labu hutan lah yang tebaik, karena memiliki bunyi yang khas.
Sato pada dasarnya merupakan alat musik gesek sama seperti biola. Teknik memainkannya pun hampir sama. Dahulu, dawai sato dibuat dari serat daun lidah buaya yang dikeringkan lalu dijalin dengan getah kenari. Saat ini, senarnya menggunakan senar gitar nomor 4. Alat geseknya berbentuk busur kecil dengan tali dari bahan ijuk.
Membentuk Sanggar
Sadar akan mulai menghilangnya kemampuan memainkan alat musi Sato menjadikan Robertus Lele, seorang tokoh muda desa, bersama beberapa warga Waruraka lainnya membentuk Sanggar Mutulo’o.
Sanggar ini pun bermula setelah dibentuknya kelompok sadar wisata (pokdarwis) di desa tersebut.
Dari 16 orang yang aktif saat ini, terdapat 6 orang yang mahir memainkan sato. Selain sato, ada juga suling, gambus, ukulele, dan gendang. Lewat pokdarwis, Desa Waturaka menghidupkan sanggar seni budaya yang lama tidak aktif melalui suguhan tarian dan permainan musik tradisional Sanggar Mutulo’o.
“Sanggar kami selalu menampilkan kolaborasi alat musik tradisional, tari dan lagu daerah yang unik. Kami ingin perkenalkan permainan sato yang berasal dari desa kami dan sangat disukai wisatawan asing,” sebut Robertus, ketua sanggar menyebutkan.
Robertus mengakui, lewat kekhasan alat musik sato yang dimainkan, banyak wisatawan dan penonton tertarik dan kagum. Suara musiknya terasa unik dan menenangkan perasaan.
“Supaya bisa mengeluarkan bunyi, tali senar digosok dengan buah kenari. Main sato harus pakai perasaan, tidak ada kuncinya, sehingga sulit untuk dimainkan,” ujarnya menjelaskan.
Saat ini para anak Desa Waturaka sedang belajar untuk memainkan sato dibawah para pemain senior. Kedepannya, Robertus berharap kedepannya anak-anak ini dapat meneruskan keberadaan sanggar musik ini.