Mendorong Hutan Adat, Menyelamatkan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Asmat

Mama Yuliana menggoyangkan badan pelan sambil bernyanyi dalam bahasa lokal, Syuru. Meski mimik wajah perempuan separuh baya ini terlihat serius, namun ungkapan dari nyanyiannya membuat ruangan menjadi gaduh. Warga Syuru lain di ruangan itu, yang memahami makna nanyian Mama Yuliana tak mampu menahan diri tertawa lepas.

Mama Yuliana merupakan bagian dari masyarakat adat dari Kampung Syuru, satu dari 10 kampung di Suku Asmat. Siang itu, Rabu (9/11/2016), Mama Yuliana bersama sejumlah warga Suku Asmat dari Kampung Syuru dan Yepem, serta para pihak yang terdiri dari pemerintah daerah, LSM dan pendamping komunitas, mengikuti lokalatih bertajuk ‘Inventarisasi dan Penguatan Masyarakat Hukum Adat dalam Co-Manajemen di Kabupaten Asmat’ yang diselenggarakan oleh Program Lestari Usaid di Kota Agats, Kabupaten Asmat, Papua.

Selama dua hari, 9-10 November, mereka belajar tentang pengelolaan hutan dan tata cara inventarisasi masyarakat adat merujuk pada Permendagri No.52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

“Saya sangat senang bisa terlibat dalam kegiatan ini karena terkait hutan adat kami, tempat kami biasa mengambil kayu dan becocok tanam,” ungkap Mama Lena, warga Kampung Syuru lainnya.

Sehari-hari Mama Lena mengelola kebun sayurannya di dalam kawasan hutan. Dari hasil bertani selama belasan tahun, Mama Lena bahkan mampu menguliahkan salah seorang anaknya di salah satu perguruan tinggi di Malang, Jawa Timur.

Menurut Yusran Nurdin Massa, Direktur Blue Forests, pelaksanaan lokalatih ini adalah bagian dari upaya penguatan masyarakat adat terkait pengelolaan hutan melalui program Lestari Usaid di Papua, khususnya di lanskap Lorentz Lowlands, yang terletak di selatan Papua yang terdiri dari Kabupaten Mimika dan Asmat.

Diskusi terkait skema pengelolaan hutan yang dianggap sesuai dengan karakter dan potensi masyarakat adat, baik itu melalui skema perhutanan sosial, hutan adat, kemitraan dan hutan kampung. Foto: Wahyu Chandra.
Diskusi terkait skema pengelolaan hutan yang dianggap sesuai dengan karakter dan potensi masyarakat adat, baik itu melalui skema perhutanan sosial, hutan adat, kemitraan dan hutan kampung. Foto: Wahyu Chandra.

Di Kabupaten Asmat sendiri terdapat dua kampung pesisir yang mendapat perhatian khusus, yaitu Kampung Syuru dan Yepem. Keduanya dipilih karena memiliki ekosistem hutan mangrove yang masih terjaga atau konservatif.

“Setelah kita melakukan resilience assessment di lima kampung di Asmat ini, kami temukan bahwa ekosistem mangrove di Kampung Syuru dan Yepem masih berada dalam fase konservatif. Begitu pun dari sisi sosial budaya dimana sistem adat masih terjaga, meski telah ada sedikit perpaduan dengan masyarakat luar.”

Sistem ekonomi di kedua kampung ini sebagian besar juga masih bersifat subsistem atau mengambil langsung dari alam.

“Ini yang ingin kita kuatkan. Kita fasilitasi dalam inventarisasi pranata-pranata dan aturan adat yang ada, dan mempelajari bagaimana ekosistem mangrove di dua kampung itu masih terjaga dengan baik.”

Menurut Yusran, dalam lokalatih ini terdapat tiga aspek yang disampaikan. Pertama, pemahaman tentang kondisi kampung dari segi sosial, ekonomi dan ekologi. Kedua, terkait aturan-aturan negara terkait masyarakat adat dan pengelolaan hutan.

“Dari kedua hal ini kemudian dipertemukan, untuk melihat bagaimana peluang penguatan masyarakat adat berdasarkan karakter dan potensi masyarakat adat di lokal dan disambungkan dengan konsepsi kebijakan yang ada,” tambahnya.

Untuk pembuatan rumah adat Asmat yang disebut jew bahan kayunya diambil dari hutan mangrove yang disebut hutan Mangi-mangi. Jew ini biasanya dipergunakan selama kurang lebih 6 tahun sebelum dibongkar dan diganti dengan bangunan baru. Foto: Wahyu Chandra
Untuk pembuatan rumah adat Asmat yang disebut jew bahan kayunya diambil dari hutan mangrove yang disebut hutan Mangi-mangi. Jew ini biasanya dipergunakan selama kurang lebih 6 tahun sebelum dibongkar dan diganti dengan bangunan baru. Foto: Wahyu Chandra

Dari diskusi terkait kedua aspek tersebut dijadikan dasar untuk memilih strategi pengelolaan hutan berdasarkan skema-skema pengelolaan hutan yang ada, baik melalui skema perhutanan sosial seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) atau melalui hutan adat, skema kemitraan dan hutan kampung merujuk pada UU Otonomi Khusus Papua.

Aspek ketiga, masyarakat dan parapihak juga diajarkan bagaimana melakukan inventarisasi masyarakat adat merujuk pada Permendagri No.52 tahun 2014, yang dilanjutkan dengan penyusunan kerangka kerja pelaksanaan inventarisasi tersebut.

“Di lokalatih ini kita juga dorong skema hutan adat,selain skema-skema lain, sehingga perlu diajarkan tata acara inventarisasi masyarakat adat. Hanya saja kita belum memastikan skema pengelolaan hutan apa yang dipilih karena sifatnya masih simulasi untuk mengetahui ujungnya nanti seperti apa. Pilihannya akan disesuaikan dengan karakter masyarakat adatnya dan pilihan masyarakat sendiri.”

Pelaksanaan lokalatih ini direspon positif pemerintah daerah dan LSM setempat. Robert dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Asmat berharap dengan adanya skema pengelolaan hutan ini nantinya bisa memberi kepastian wilayah kelola bagi masyarakat.

Bagian dalam jew di Kampung Yepem, selain sebagai tempat ritual adat dan musyawarah, jew juga digunakan sebagai tempat mengukir. Foto: Regis/ Lestari Usaid
Bagian dalam jew di Kampung Yepem, selain sebagai tempat ritual adat dan musyawarah, jew juga digunakan sebagai tempat mengukir. Foto: Regis/ Lestari Usaid

Masyarakat Adat Kampung Syuru dan Yepem

Kampung Syuru sendiri merupakan salah satu kampung yang berada di wilayah Distrik Agats yang  letaknya berdampingan dengan Kota Agats, ibukota Kabupaten Asmat. Dari Agats, kampung ini dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki sekitar 15 menit atau menggunakan sepeda motor listrik, kendaraan khas setempat.

Menurut Wahyuddin, fasilitator LESTARI USAID di Kabupaten Asmat, awalnya masyarakat Syuru yang termasuk dalam rumpun Bismam tinggal di kampung Bou,yang kemudian pindahke Kali Ba.

“Dari kali Ba mereka pindah ke daerah Epet lalu ke Mimika tepatnya di daerah Inauka dan pada Maret 1953 mereka pindah di muara sungai Famret yang sekarang di kenal sebagai Kampung Syuru,” jelasnya.

Masyarakat Syuru sendiri selama ini hidup bergantung pada hutan, dimana setiap keluarga memiliki lahan untuk dikelola, yang dalam bahasa setempat disebut dusun.

“Umumnya setiap keluarga memiliki areal dusun yang cukup luas tanpa ada batas yang jelas antara satu dusun dengan dusun lainnya. Penanda batas biasanya menggunakan pohon tertentu,” tambah Wahyuddin.

Kayu-kayu dari hutan, khususnya kayu merbau yang oleh warga disebut kayu besi, selain untuk pembangunan rumah juga digunakan sebagai bahan pembuatan jalan gantung. Foto: Wahyu Chandra
Kayu-kayu dari hutan, khususnya kayu merbau yang oleh warga disebut kayu besi, selain untuk pembangunan rumah juga digunakan sebagai bahan pembuatan jalan gantung. Foto: Wahyu Chandra

Dusun ini berupa hutan rawa dan hutan dataran rendah yang di dalamnya terdapat pohon sagu, pohon merbau dan pohon lainnya, yang kayunya dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan. Selain itu, wilayah dusun juga memiliki tanah gambut yang subur untuk pertanian.

“Lokasi dusun ini cukup jauh dari pemukiman masyarakat yang dapat diakses dengan menggunakan perahu.”

Untuk  pembuatan rumah adat Asmat yang disebut jew bahan kayunya diambil dari hutan mangrove yang disebut hutan Mangi-mangi. Jew ini biasanya dipergunakan selama kurang lebih 6 tahun sebelum dibongkar dan diganti dengan bangunan baru.

“Tidak hanya untuk jew, kayu-kayu di hutan juga dimanfaatkan untuk pembuatan rumah warga. Umumnya mereka menggunakan kayu dari dusun masing-masing. Sedangkan untuk memasak mereka masih menggunakan kayu bakar yang diperoleh dari hutan.”

Hasil hutan berupa kayu juga dimanfaatkan untuk bahan baku ukiran kayu Asmat yang sangat terkenal di seluruh dunia. Umumnya warga laki-laki dari Kampung Syuru dan Yepem mampu mengukir dengan beragam motif-motif yang unik. Foto: Regis/ Lestari Usaid
Hasil hutan berupa kayu juga dimanfaatkan untuk bahan baku ukiran kayu Asmat yang sangat terkenal di seluruh dunia. Umumnya warga laki-laki dari Kampung Syuru dan Yepem mampu mengukir dengan beragam motif-motif yang unik. Foto: Regis/ Lestari Usaid

Sementara Kampung Yepem, yang juga masih berada dalam wilayah Distrik Agats dapat ditempuh dalam 20 menit menggunakan speedboat dari Kota Agats.

Kampung Yepem ini terletak di daerah hutan rawa, yang berdekatan dengan muara dan kawasan mangrove. Ekosistem rawa Yepem sangat dipengaruhi oleh aliran air dari kawasan rawa di daerah hulu yang masuk ke dalam sungai Yomoth.

“Masyarakat umumnya memanfaatkan hasil hutan untuk berbagai macam keperluan, seperti bahan membangun rumah, membuat perahu, ukiran, berburu, memangkur sagu, dan lainnya,” jelas Wahyuddin.

Kondisi hutan di Yepem juga masih terjaga baik, meski sejumlah perubahan mulai terjadi. Untuk kebutuhan pemukiman dan lahan perkebunan misalnya, masyarakat membuka hutan dengan cara menebang pohon.

“Tempat berburu masyarakat sudah semakin jauh di dalam hutan seiring dengan semakin berkurangnya hewan buruan di sekitar pemukiman warga.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,