Daya Rusak Trawl dan Hilangnya Ikan Awu-awu di Perairan Pancana

Desa Pancana adalah salah satu desa pesisir di Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan yang memiliki sejarah panjang sebagai salah satu bandar niaga penting di masa lalu. Dulunya desa ini merupakan pusat Kerajaan Tanete, tempat lahir bangsawan cendekiawan bugis bernama Colliq Pujie, yang dikenal karena jasanya dalam mengumpulkan naskah epos I La Galigo.

Ketenaran Pancana juga terkait keberadaan ikan awu-awu, sejenis ikan kembung yang memiliki cita rasa khas. Dalam salah satu ciutannya di twitter, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti sempat menyinggung secara khusus tentang ikan awu-awu di Pancana ini.

Ketika Mongabay berkunjung ke desa ini, bersama mahasiswa Pascasarjana Antropologi Universitas Hasanuddin, pada akhir September 2016 lalu, ditemukan sejumlah fakta dan informasi penting tentang ikan ini, termasuk penyebab utama menghilangnya dalam satu dekade terakhir.

“Memang dulu sekitar tahun 1970-1990-an di sini ikan sangat melimpah, termasuk ikan awu-awu, bannyara dan ikan lain. Tapi setelah banyak nelayan mattarik, perlahan ikan-ikan ini habis,” ungkap Haji Abdul Jalil, imam masjid, yang juga tokoh masyarakat di Desa Pancana.

Aktivitas mattarik yang dia maksudkan Haji Jalil adalah penangkapan ikan menggunakan alat tangkap tarik seperti cantrang dan trawl.

Menurut Haji Jalil, fenomena hilangnya ikan awu-awu ini mulai dirasakan sejak tahun 2003, seiring dengan semakin tingginya aktivitas penggunaan cantrang dan trawl di perairan Pancana.

Trawl itu kan sampai di dasar laut dan menghancurkan tempat ikan bertelur. Ikan besar dan ikan kecil semua terangkat. Lamanya waktu yang dibutuhkan sekali mattarik bisa sampai 2,5 jam. Bisa dibayangkan berapa panjang lokasi yang dirusak, dikalikan dengan jumlah nelayan yang mattarik setiap hari. Apalagi sekarang hampir semua perahu jolloro dari Aluppange itu mattarik,” ujar Haji Jalil.

Dampaknya, ekosistem terumbu karang rusak parah sehingga jenis dan jumlah ikan yang bisa ditangkap pun berkurang dan malah tak ada sama sekali.

“Palingan sekarang hanya bisa dapat ikan gamasi, dolo-dolo, botti, balana dan bete-bete. Ikan awu-awu dan banyyara sudah sulit. Pernah ada yang dapat awu-awu tapi hanya belasan ekor saja. Itupun nanti setelah mattarik dihentikan sementara. Tapi kalau sudah tidak diawasi lagi biasanya mattarik lanjut lagi,” katanya.

Hasil tangkapan ikan mulai berkurang sejak 2003 lalu seiring dengan tingginya aktvitas pengguanaan alat tangkap ikan trawl dan cantrang di perairan Desa Pancana, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.. Ikan awu-awu sebagai ikan khas daerah ini mulai menghilang. Kini, tak banyak ikan yang bisa diperoleh nelayan tiap harinya. Foto: Wahyu Chandra
Hasil tangkapan ikan mulai berkurang sejak 2003 lalu seiring dengan tingginya aktvitas pengguanaan alat tangkap ikan trawl dan cantrang di perairan Desa Pancana, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.. Ikan awu-awu sebagai ikan khas daerah ini mulai menghilang. Kini, tak banyak ikan yang bisa diperoleh nelayan tiap harinya. Foto: Wahyu Chandra

Basri, seorang nelayan di Pancana, mengakui sudah sangat jarang menemukan ikan awu-awu tersangkut di jaringnya.

“Paling banyak 10 ekor saja, itu pun sangat jarang,” katanya sambil memperlihatkan pukat ikan awu-awu miliknya yang sudah lapuk, tak digunakan sejak 2013 lalu.

“Ini pukat awu-awu, jaringnya sudah lapuk mi Karena tidak pernah dipakai. Jadi kita ambil talinya saja untuk bikin pukat lain,” tambahnya.

Basri mengakui sangat merasakan dampak penggunaan cantrang dan trawl ini terhadap hasil tangkapannya, yang tak pernah lagi sebanyak dulu. Bahkan pernah melaut tanpa tangkapan ikan sama sekali.

“Padahal kalau dulu sebelum maraknya trawl kita bisa dapat sampai Rp500 ribu per hari, sekarang paling banyak Rp100 ribu saja. Malah sering tak ada.”

Situasi ini juga dirasakan nelayan Pancana lain, sehingga banyak di antara mereka yang alih profesi atau menjadi buruh nelayan ke daerah lain, seperti Papua dan Kalimantan.

“Sejak tiga tahun terakhir banyak nelayan Pancana yang pergi ke Kaimana, Papua. Di sana mereka menjadi buruh nelayan di sebuah perusahaan asal China. Kemarin ada sekitar 70 orang berangkat dan akan menyusul puluhan orang lagi. Di sana mereka tinggal selama 6-8 bulan,” ungkap Muklis Sulaiman, Kepala Desa Pancana.

Menurut Muklis sebagian besar nelayan yang berangkat ke Papua adalah anak muda yang tak lagi tertarik menjadi nelayan di kampung sendiri. Di Papua, mereka mendapatkan gaji yang cukup besar, sekitar Rp2,7 juta per orang, di luar akomodasi dan transportasi ke lokasi.

“Gajinya cukup besar, kalau di sini belum tentu bisa dapat Rp2,7 juta per bulan. Padahal modalnya hanya tenaga saja. Kalau punggawa-nya malah bisa dapat penghasilan lebih banyak lagi.”

Seiring dengan hilangnya ikan awu-awu, pukat awu-awu yang dimiliki warga tidak lagi digunakan sejak 2003 silam. Foto: Wahyu Chandra
Seiring dengan hilangnya ikan awu-awu, pukat awu-awu yang dimiliki warga tidak lagi digunakan sejak 2003 silam. Foto: Wahyu Chandra

Muhlis mengilustrasikan jika satu kapal pancing bisa menghasilkan ikan bernilai Rp200 juta, maka 50 persen atau Rp100 juta akan diberikan ke pemilik kapal. Sisanya Rp100 juta akan dibagi punggawa dengan nelayan yang membantunya.

“Setiap kapal biasanya punya nelayan sawi sebanyak 12 orang. Coba dikalikan dengan Rp2,7 juta hasilnya sekitar Rp32,4 juta. Sisanya sekitar Rp17,6 juta menjadi milik punggawa sebagai pemimpin di kapal,” urainya.

Sistem rekuitmen biasanya dilakukan punggawa secara bebas tanpa melihat faktor kekerabatan. Syarat utamanya adalah harus sehat dan kuat secara fisik. Ada tiga kategori pekerja yang direkruit, yaitu pakkita bale yang bertugas mencari lokasi ikan, pelempar sauh dan penarik jaring.

Terkait masuknya trawl di Pancana, menurut Muhlis, pertama kali diperkenalkan oleh seorang warga bernama Lamude, yang membawa teknologi tersebut dari Kalimantan di tahun 2000-an.

“Awalnya sebenarnya masuk di Pangkep tahun 2000. Baru pada tahun 2011 mulai masuk Barru termasuk di Pancana ini,” katanya.

Muklis sendiri dulunya juga merupakan punggawa kapal trawl yang cukup berpengaruh di Pancana. Namun seiring dengan adanya larangan penggunaan trawl di tahun 2004, Muhlis berhenti dan juga melarang warganya.

“Tahun 2004 selaku Kepala Desa saya melarang warga menggunakan trawl sesuai perintah menteri. Justru kemudian yang banyak menggunakannya adalah nelayan dari Aluppange, kampung sebelah.”

Menurut Muklis, warga Pancana tak berani menegur nelayan dari Aluppange karena masih ada ikatan kekerabatan di antara mereka. Sementara nelayan dari daerah lain biasanya langsung ditolak secara tegas.

“Pernah ada nelayan dari Barombong yang datang menggunakan trawl. Warga bersatu mengusir dengan cara melempari batu. Sekarang sudah sudah tidak ada yang berani datang.”

Saharuddin, nelayan Pancana yang sempat mendekam beberapa bulan di penjara karena ketahuan menggunakan trawl. Kini ia hanya menggunakan alat pancing biasa meskipun hasilnya tidak sebanyak dengan menggunakan trawl. Foto: Wahyu Chandra
Saharuddin, nelayan Pancana yang sempat mendekam beberapa bulan di penjara karena ketahuan menggunakan trawl. Kini ia hanya menggunakan alat pancing biasa meskipun hasilnya tidak sebanyak dengan menggunakan trawl. Foto: Wahyu Chandra

Sulitnya memutus matarantai penggunaan trawl ini, menurut Muklis, tak terlepas dari keberadaan punggawa bonto sebagai pedagang pengumpul, yang memberi modal pinjaman kepada nelayan untuk membeli perahu jolloro seharga Rp20 juta.

“Sistem pembayarannya dikondisikan agar diangsur lama, bisa sampai belasan tahun, sehingga nelayan terikat. Untuk melunasi utang perahu ini tak ada jalan lain bagi nelayan selain tetap menggunakan trawl dengan resiko ditangkap dan dipenjara. Mereka menjadi nekad karena tak ada pilihan lain. Setelah lolos penjara mereka pakai trawl lagi kalau pengawasan longgar.”

Saharuddin, nelayan Pancana yang sempat mendekam beberapa bulan di penjara karena ketahuan menggunakan trawl, mengakui sulitnya warga meninggalkan alat tangkap ini karena hasil tangkapan yang jauh lebih banyak dibanding alat tangkap ikan biasa.

“Kalau cuaca lagi bagus kita bisa dapat hingga Rp2 juta sekali melaut, dibanding dengan alat tangkapan biasa hanya ratusan ribu saja. Cuma memang resikonya bisa dipenjara dan baru dilepas setelah membayar,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,