Segala kebutuhan manusia tidak ada yang tidak berasal dari alam. Alam akan memberikan segalanya bila manusia bersikap bijaksana, sebaliknya alam bisa jadi murka manakala manusia merusak keseimbangannya. Begitulah tabiat alam.
Mencermati keadaan lingkungan di Jawa Barat sekaligus memperingati hari pohon sedunia, Gerakan Hejo mengadakan diskusi dengan tema “Terbukti Jawa Barat Darurat Lingkungan”. Gerakan Hejo sendiri merupakan komunitas peduli lingkungan yang terbentuk 1 tahun lalu.
Dalam acara diskusi yang digelar di Jalan Pasir Impun Atas, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Sabtu (26/11/2016).Hadir juga Staf Ahli Kementiran Kelautan dan Perikanan Aryo Nugroho, Sekretaris Daerah Pemprov Jabar Iwa Karniwa, Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar Anang Sudarna, Bupati Kabupaten Tasikmalaya Uu Ruzhanul Ulum, Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiono, serta Tokoh Pemerhati Lingkungan Jabar Mubiar Purwasasmita.
Ketua Gerakan Hejo, Eka Santosa mengatakan gerakan ini muncul dari renungan tentang Jabar masa kini yang kondisi lingkungannya sedang dalam keadaan gering atau sakit.
Hal itu dapat dilihat dari data yang menyebutkan bahwa di Jabar terdapat lahan kritis seluas 600.000 hektare terdiri dari 50.000 hektare kondisinya sangat kritis, 500.000 hektare kritis, dan sisanya terancam kritis. Ditambah 50% seluruh aliran sungai yang ada telah berubah fungsi. Hampir disemua kawasan diperkotaan 90% kondisi sungainya rusak parah akibat tercemar limbah industri, pembangunan properti dan sebagainya.
Begitu juga dengan kondisi pantai diwilayah selatan Jabar, salah satunya Pantai Ujung Genteng Kabupaten Sukabumi kondisinya rusak berat akibat masifnya eksploitasi pertambangan pasir besi.
“Terbukti jika sekarang Jabar banyak terjadi bencana. Tentu ini menjadi keprihatinan bersama bahwa lingkungan Jabar sedang darurat. Kita tidak untuk mencari kesalahan siapa dan siapa yang salah tetapi bagaimana seharusnya kita memperlakukan alam ini,” kata Eka.
Menurutnya, salah satu penyelesaian permasalahan tersebut yakni bisa dengan cara ngamumule atau memelihara kembali budaya Sunda. Ada pribahasa Sunda menyebutkan, hejo ngemploh leweungna, recet manukna, curcor caina, cing siriwig laukna, bakal makmur jelmana (hijau lebat hutannya, banyak burungnya, melimpah airnya, banyak ikannya, maka akan makmur manusianya) yang menjadi tujuan.
“Kuring urang sunda. Bapa indung urang sunda. Sabenerna mah ges diwarisi cara yen alam teh kudu dilestarikeun. (Saya orang sunda. Orang tua orang sunda. Sebetulnya sudah diwarisi cara untuk melestarikan alam). Tinggal bagaimana kita berbuat,” tuturnya.
Staf Ahli Kementiran Kelautan dan Perikanan Aryo Nugroho, mengungkapkan, kerusakan di Jabar sudah sangat mengkhawatirkan mulai dari hulu hingga hilir. Kerusakan yang terjadi tidak hanya terjadi di kawasan hulu yang banyak alih fungsi, namun, kerusakan juga telah nampak di wilayah aliran sungai hingga bermuara ke pantai – pantai.
“Dua bulan lalu saya sudah keliling Jabar mulai dari Tasikmalaya, Ciamis, Pangandaran hingga ke kawasan pantai utara. Dimana – mana terjadi sedimentasi. Semua pelabuhan – pelabuhan pendapatan ikan harus dikeruk, artinya terlalu banyak sedimen yang turun dari bukit pegunungan lepas ke pantai melalui sungai,” papar Aryo.
Kondisi tersebut mengindikasi bahwa eksploitasi di kawasan hulu sudah gawat darurat. Ditambah lagi, bila dipetakan geografis Jabar dikelilingi gunung – gunung api yang berada ditengah sehingga menjadikan sebagian wilayahnya rawan bencana karena sering terjadi pergerakan tanah. Perhatian ke ranah konservasi harus terus diupayakan dengan intens, untuk menimalisir kerugian yang ditimbulkan.
Dikatakan Aryo, selama ini perhatian pemerintah lebih banyak pada penanggulangan pasca atau dampak langsung dari bencana. Akan tetapi, pemulihan secara konservasi di kawasan hulu akibat ulah manusia masih kurang mendapat perhatian.
Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiono, menjelaskan kondisi geografis Jabar berbeda dengan wilayah Jawa lainnya, sebab memiliki lebih dari 30 gunung, lebih dari 40 Daerah Aliran Sungai (DAS) besar maupun kecil sehingga alam Jabar ini harus dikelola dengan baik.
“Hutan di Jabar yang resmi dikelola oleh pemeritah ada sekitar 800.000 ribu hektare. Jika dalam 1 hektare ada 1000 pohon maka seharunya ada 800 miliar pohon di Jabar. Apakah kondisinya masih tetap stagnan? Jika memang begitu seharusnya bencana banjir dan longsor tidak begitu marak terjadi di berbagai daerah,” ucapnya.
Dikatakan Sobirin, ketika memasuki musim penghujan kandungan air di Jabar mencapai 80 miliar meter kubik, tapi pada saat musim kemarau cadangan airnya hanya sekitar 8 miliar meter kubik. Maka, jangan heran apabila musim penghujan banyak terjadi banjir karena tidak ada kawasan yang bisa menampung air. Kondisi sebaliknya justru ketika dilanda musim kemarau, kekeringan terjadi disemua sektor akibat kekurangan air.
Padahal, setiap tahunnya rata – rata kebutuhan air di Jabar 20 miliar meter kubik cukup untuk memenuhi kebutuhan air 50 juta jiwa. Berdasarkan perhitungan air, idealnya Provinsi Jabar semestinya dihuni sekitar 10 juta jiwa saja.
“Sebetulnya bukan sebuah persoalan dengan banyaknya penduduk yang ada. Asalkan manusia – manusia yang menempatinya berperilaku bijaksana,” ukapnya.
Pemerhati Lingkungan Jabar Mubiar Purwasasmita mengatakan, berbicara lingkungan sama sepeti berbicara keseimbangan. Tidak akan bisa dilakukan sendiri – sendiri untuk menyelesaikan persoalan lingkungan tanpa adanya sinergi.
“Beban pertambahan penduduk hanya bisa diimbangi dengan bertambahnya produktifitas tumbuhan bukan dengan menambah sumber daya. Di alam, air itu tetap, udara tetap, mineral tetep dan luas lahan juga tidak berubah. Jika pembangunan terus dikembangan tetapi leuweung (hutan) dibabat, ya salah,” ujarnya.
Ironisnya, saat ini penanganan untuk mengatasi banjir terkesan seperti miceun cai (membuang air). Membuat aturan dengan mengatur drainase yang sebetulnya hanya memindahkan banjir ke tempat lain. Alangkah lebih baik jikalau dilakukan pendekatakan yang bersifat ekologis, perbaikan pada inti permasalah di kawasan hulu.
Jika diawali dengan pembenahan di kawasan hulu, tidak akan ada banjir sebab proses air dapat terserap kedalamtanah. ¼ pasti akan menguap kembali sebagai proses produksi oksigen, ½ akan tersimpan dan sisinya hanya ¼ lagi yang akan mengalir ke permukaan.
Sehingga kesimbangan itulah yang seharunya di jaga, sepanjang tahun air yang dibutuhkan masyarakat dan untuk dimanfaatkan sebagai pengairan ladang hanya 17 miliar meter kubik. Jumlah tersebut cukup untuk memenuhi keperluan saat kemarau juga. Hanya di tatar Sunda, air bisa memakmurkan sepanjang tahun, takala masyarakatnya dapat dengan bijak merawat pohon dan menjaga hutan.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Pemprov Jabar, Iwa Karniwa mengapreasi banyaknya kepedulian yang timbul untuk menjaga lingkungan. Dia juga berujar, sudah memiliki penguatan tentang strategi – strategi pelestarian lingkungan secara efisien dan efektif.
“Pertama tentu penanaman pohon harus digalakkan kembali, ditambah dengan perawatan pohon dan proses rehabilitasi pohon. Kemudian dari aspek penegakan aturan yang berisi 4 pilar, kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat harus kita dukung bersama,” papar Iwa.
Kecenderungan kedepannya akan ada perbaikan dari semua sisi termasuk pemda. Disamping terus mengedukasi, pemerintah juga akan memperhatikan aspek ekonomi masyarakat supaya keseimbangan alam pun dapat terwujud dan juga berdampak sosial.