Opini : Indonesia di COP22: Global Climate Fund Untuk Siapa?

Pemerintah Indonesia harusnya lebih cekatan dalam memanfaatkan momentum COP22 untuk memperjuangkan agar dana perubahan iklim global (global climate fund) mengalir kepada mereka yang paling membutuhkannya.

Sebagai negara kepulauan yang rawan terhadap dampak perubahan iklim, dan sebagai negara yang masih memiliki tiga puluh juta orang yang belum mendapat akses listrik, Indonesia seharusnya menjadi motor utama dalam memperjuangkan agar proyek-proyek off-grid  (tersebar) menjadi prioritas untuk didanai melalui climate fund. Dana climate fund seharusnya mengalir kepada mereka yang paling rawan terkena dampak perubahan iklim itu sendiri.

Small is beautiful, but big is necessary”, begitu kata perwakilan Indonesia di salah satu side event COP22 di Marakkesh, Maroko, awal minggu lalu. Pernyataan ini sejalan dengan kebijakan nasional Indonesia yang saat ini masih memprioritaskan pembangunan proyek-proyek energi berskala besar dan terhubung melalui grid (on grid). Padahal jika dikaitkan dengan agenda nasional pencapaian akses listrik universal di tahun 2020, prioritas ini kurang tepat.

Saat ini masih ada tiga puluh juta rakyat Indonesia hidup dalam kegelapan dan terhalang aksesnya kepada informasi dan peluang-peluang ekonomi karena belum mendapat akses listrik. Umumnya mereka yang belum mendapat akses listrik ini tinggal di daerah-daerah terisolasi dan pulau-pulau kecil yang sulit atau sama sekali tidak dijangkau oleh grid PLN. Proyek-proyek on-grid berskala besar bukanlah solusi untuk melistriki mereka.

Jika dikaitkan dengan konteks climate change, orang-orang pinggiran ini juga merupakan kelompok yang akan merasakan dampak paling besar dari perubahan iklim. Hal ini disebabkan oleh, pertama, selain rentan terhadap meningkatnya permukaan air laut, pulau-pulau kecil (dan daerah terisolasi) umumnya memiliki kualitas tanah yang kurang baik.

Sementara teknologi yang terbatas membuat para petani sangat bergantung pada dinamika musim. Dampak perubahan iklim seperti berkurang atau bertambahnya curah hujan, atau berubahnya keteraturan musim akan sangat mengganggu ketahanan pangan masyarakat.

Kedua, masyarakat pulau-pulau kecil dan daerah-daerah terisolasi biasanya tertinggal secara ekonomi, memiliki tingkat pendidikan yang rendah, kurang mendapat perhatian dari pemerintah, serta memiliki kapasitas logistik yang terbatas, sehingga sulit bagi mereka untuk bertahan menghadapi dampak-dampak perubahan iklim.

Memberikan akses energi kepada masyarakat termarginalkan ini akan membuka peluang-peluang ekonomi yang pada akhirnya juga meningkatkan kemampuan mereka beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Sumba Iconic Island tak sekadar bercita-cita mewujudkan energi baru terbarukan. Inisiatif ini juga mendorong perekonomian masyarakat, khususnya bagi pihak yang paling menderita dengan tiadanya akses listrik, yaitu perempuan. Foto : Hivos
Sumba Iconic Island tak sekadar bercita-cita mewujudkan energi baru terbarukan. Inisiatif ini juga mendorong perekonomian masyarakat, khususnya bagi pihak yang paling menderita dengan tiadanya akses listrik, yaitu perempuan. Foto : Hivos

Oleh karena itu, fokus pemerintah saat ini seharusnya adalah pada pembangunan energi yang tersebar (off-grid) melalui pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan atau yang bisa disebut Decentralised Renewable Energy (DRE), karena DRE adalah solusi paling memungkinkan untuk melistriki daerah-daerah terisolasi dan pulau-pulau kecil di Indonesia(Asian Development Bank, 2015).

Studi kasus proyek pencontohan Sumba Iconic Island yang jalankan oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya  Mineral (KESDM) bekerja sama dengan Lembaga Hivos misalnya, menyimpulkan bahwa pengadaan akses listrik dengan sistem distribusi off-grid melalui pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan yang tersedia secara lokal di daerah-daerah yang tidak terjangkau grid PLN adalah jauh lebih murah dan lebih cepat daripada harus membangun grid atau mendatangkan energi fossil dari kota atau pulau terdekat (e.g. Hivos, 2010; ADB, 2015).

DRE saat ini terbukti efektif untuk menaikkan rasio elektrifikasi di negara-negara berkembang yang memiliki titik-titik populasi tersebar yang sulit dijangkau oleh grid. Pada COP 22 ini, sebanyak 48 negara yang tergabung dalam forum negara rawan perubahan iklim atau Climate Vulnerable Forum(CVF) sudah menyatakan komitmen mereka untuk Go 100% renewable energy dengan penekanan pada opsi-opsi decentralised.

Banyak diantara negara ini yang kondisinya mirip dengan Indonesia, yakni memiliki pulau-pulau kecil yang rawan perubahan iklim dan sulit dijangkau oleh grid, misalnya Filipina dan Marshal Islands. Indonesia harusnya mengikuti jejak negara-negara ini. Mungkin bukan untuk mencapai 100 energi terbarukan dalam waktu dekat, tetapi meningkatkan jumlah penyediaan akses listrik melalui DRE.

Loan vs grant

Meski merupakan solusi krusial, sayangnya secara global jumlah dana perubahan iklim yang tersalurkan kepada proyek-proyek DRE masih sangat kecil. Laporan International Institute for Environment and Development (IIED) dan Hivos 2016 menyebutkan bahwa dari keseluruhan dana perubahan iklim yang terkumpul, hanya 3,5 persen saja mengalir untuk proyek-proyek off-grid.

Rendahnya dana yang tersalurkan kepada DRE ini salah satunya disebabkan oleh tidak seimbangnya dana yang disaluran dalam bentuk pinjaman dan hibah (loan v.s. grant). Selama ini sebagian besar dana climate fund disalurkan dalam bentuk loan, akibatnya hanya perusahaan dan proyek-proyek besar dengan Rate of Return (RoR) tinggi yang bisa mengaksesnya. Sedangkan proyek-proyek DRE umumnya masih pada tahap pre-commercial sehingga tidak menjadi prioritas untuk menjadi penerima dana.

Agar dana climate fund ini mengalir kepada proyek-proyek DRE, reformasi mekanisme keuangan organisasi pendanaan internasional mutlak harus dilakukan. Indonesia pada COP 22 pun harusnya merekomendasikan untuk mendorong keseimbangan antara dana yang disalurkan dalam bentuk loan dan grant.

Berkat program Sumba Iconic Island, desa, sekolah, gereja dan kantor pemerintah mulai menggunakan energi baru terbarukan. Komputer di sekolah pun dapat dioperasikan. Foto : Hivos
Berkat program Sumba Iconic Island, desa, sekolah, gereja dan kantor pemerintah mulai menggunakan energi baru terbarukan. Komputer di sekolah pun dapat dioperasikan. Foto : Hivos

Media analisa kebijakan EurActiv Perancis melaporan bahwa climate fund disinyalir sulit diakses oleh negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kapasitas negara-negara tersebut dalam memenuhi prosedur yang dipersyaratkan serta struktur pemerintahan dan keuangan negara  yang tidak memudahkan mereka dalam mengakses dana tersebut.

Untuk itu, Indonesia sebaiknya juga mendorong agar institusi pendanaan internasional tidak sekedar bekerja mengumpulkan dana saja, tetapi juga memikirkan bagaimana membangun kapasitas negara penerima agar dana yang ada bisa diakses dan disalurkan secara cepat dan tepat sasaran.

 Prioritaskan off-grid di tingkat nasional

Dari diskusi-diskusi pendanaan perubahan iklim yang saya ikuti di tingkat nasional, tampak ada kecenderungan bahwa sebagian besar dana perubahan iklim di tingkat nasional, misalnya Green Climate Fund, akan disalurkan dalam bentuk loan kepada proyek-proyek besar dan on-grid, yang sekali lagi bukan merupakan solusi yang tepat untuk permasalahan akses energi di Indonesia.

Seorang petugas merawat instalasi listrik dari pembangkit listrik yang ramah lingkungan di Sumba, NTT.. Foto : Hivos
Seorang petugas merawat instalasi listrik dari pembangkit listrik yang ramah lingkungan di Sumba, NTT.. Foto : Hivos

Oleh karena itu regulasi dan kebijakan yang berpihak pada proyek-proyek off-grid nasional juga wajib harus ada, karena proyek-proyek off-grid inilah kunci sukses mewujudkan agenda nasional pencapaian universal akses kepada listrik di Indonesia.

Salah satu rekomendasi saya adalah, pemerintah perlu memastikan bahwa institusi-institusi nasional yang akan menyalurkan dana perubahan iklim ini harus diberi mandat untuk menyalurkan sebagian dana tersebut kepada proyek-proyek kecil berbasis off-grid atau minigrid.

Jika berbicara soal perubahan iklim dan akses energi Indonesia, small is not only beautiful, but also necessary!

***

Agusmantono*.  Advocacy Officer Green and Inclusive Energy, Hivos Southeast Asia. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,