Cukup Kesepakatan, Konflik Sumber Daya Alam Bisa Diselesaikan. Benarkah?

Siang tak begitu terik. Di penghujung September 2016, awan hitam perlahan menggantung di langit. Namun, belum ada tanda-tanda hujan akan turun. Beberapa alat berat dibiarkan rongsok dan berkarat dengan kesendiriannya di kilometer 23. Ini adalah wilayah hutan yang hanya bisa diakses dari Desa Padengo, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Alat berat itu menunjukkan bekas beroperasinya perusahaan HPH (Hak Pengelolaan Hutan) PT. Wenang Sakti sejak 1988.

Masyarakat setempat dipekerjakan sebagai buruh operator sensor dan pengangkut kayu hasil tebangan. Namun sejak itu pula, Sungai Wobudu dan Sungai Bumbulan yang memiliki fungsi strategis mengalami pendangkalan. Debit airnya jauh berkurang, pun dengan kualitas air yang keruh. Warga tidak bisa mencari ikan lagi di sungai.

Pada 1993, aktivitas perusahaan HPH di hutan produksi itu selesai. Warga mulai sadar, karena perusahaan tidak memberikan manfaat bagi ekonomi mereka. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan produksi hanya dilakukan pada segelintir orang, itu pun sebagai tenaga buruh.

Kini, hutan tersebut menjadi wilayah KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) yang masuk administrasi Kabupaten Boalemo. Ini ditunjukan dengan posko yang dibangun KPH. Sedangkan sebagiannya berada di Pohuwato.

Padengo berbatasan dengan Cagar Alam Panua yang memiliki hutan produksi, yang selalu diincar perusahaan HPH. Setelah perusahaan HPH berhenti di 1993, warga kembali dikejutkan ketika 2004, PT. Flora Jaya berniat mengambil kayu yang ada di sekitar desa mereka. Warga menolak perusahaan tersebut. Namun, pada 2006, perusahaan HPH lain yaitu PT. Tunggal Agathis Indah Wood (PT. TAIWI) melakukan penebangan kayu di hutan produksi itu, meski hasil tebangannya tidak sempat dimanfaatkan hingga izinnya berakhir.

Danau Limboto di Gorontalo yang penting bagi kehidupan masyarakat dan satwa sekitar. Foto: Wikipedia
Danau Limboto di Gorontalo yang penting bagi kehidupan masyarakat dan satwa sekitar. Foto: Wikipedia

23 Maret 2015, Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Pohuwato melakukan sosialisasi hutan tanaman rakyat (HTR). Tujuannya, memberikan pembinaan dan pemantapan. Beberapa bulan kemudian ditetapkan wilayah HTR seluas 300 hektare di kawasan Padengo. Sayang, pengelolaannya tidak maksimal. Yang ada hanya patok batas wilayah HTR dengan kawasan hutan lain.

“Sampai sekarang masih ada persoalan yang membuat kelompok HTR beserta pengelolaannya tidak maksimal,” kata Jabir Samsudin, fasilitator dari Burung Indonesia.

Kepemilikan lahan warga Desa Padengo tidak merata. Sebagian lahan telah dibeli warga luar yang bertempat tinggal di Marisa, ibukota Pohuwato, dan sebagian warga hanya petani penggarap. Padahal Padengo, memiliki potensi pertanian yang besar, luas lahan basahnya 375 hektare dan lahan keringnya 112 hektare.

Desa ini penghasil beras terbesar di Kecamatan Dengilo. Peternakan dan perikanan juga potensi yang menjanjikan selain hasil hutan seperti rotan.

Babirusa yang berada di Suaka Margasatwa Nantu. Foto: Rosyid A Azhar
Babirusa yang berada di Suaka Margasatwa Nantu. Foto: Rosyid A Azhar

Daun woka

Desa Karangetan, sebagaimana Padengo, wilayahnya juga berbatasan dengan hutan produksi, yang merupakan desa transmigrasi dari Sangihe Talaud, Sulawesi Utara. Selain berburu, aktivitas warga adalah mengembangkan bisnis daun woka yang dianggap ramah lingkungan. Daun ini mirip daun lontar yang diambil dari hutan dan dijual hingga ke Bali, sebagai pengganti janur. Digunakan untuk berbagai ritual adat dan keagamaan.

Henok Mamuko, salah seorang warga mengatakan, satu lembar tunas daun woka dijual Rp1.500 – 2.000. Dalam sebulan, rata-rata kelompok yang diketuai Henok bisa menjual hingga 25 ribu lembar. Meskipun sementara ini masih bersifat usaha sampingan, namun prospek baru ini membuat pemerintah desa membuat peraturan bersama warga, terutama untuk menjaga ketersediaan pasokan tetap terjaga. Tadinya, banyak petani yang menebang langsung pohon woka, hanya untuk mendapatkan daunnya saja.

“Dulunya warga sering menebang, sekarang tidak boleh,” ujar Simon Panamba, Kepala Desa Karangetang.

Pembuatan gula aren merah yang dilakukan petani. Ini adalah gula merah terbaik di Gorontalo. Sayang, harga di pasaran terkadang tidak menentu. Foto: Christopel Paino
Pembuatan gula aren merah yang dilakukan petani. Ini adalah gula merah terbaik di Gorontalo. Sayang, harga di pasaran terkadang tidak menentu. Foto: Christopel Paino

Kini, pohon dijaga baik-baik. Warga hanya diperkenankan mencungkilnya dengan galah yang diselipkan pisau. Pohon woka dikenal produktif, tunas mudanya tumbuh hanya dalam dua minggu setelah dipanen.

Pada 2011, banjir besar pernah menghantam Karangerang, akibat meluapnya Sungai Dengilo. Banyak ternak masyarakat hanyut. Kejadian ini karena rusaknya kawasan hutan. “Selain eks perusahaan HPH, pada 1980-an, pernah ada perusahaan PT. Beringin Jaya yang mendapatkan izin untuk memanfaatakan HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) yaitu rotan di hutan produksi yang berada di bagian utara desa,” ujar Simon.

Alat berat bekas perusahaan HPH yang dibiarkan berkarat dan menjadi rongsokan di hutan. Foto: Christopel Paino
Alat berat bekas perusahaan HPH yang dibiarkan berkarat dan menjadi rongsokan di hutan. Foto: Christopel Paino

Tambang emas

Desa Karya Baru, tetangga Karangetan dan Padengo, juga bermasalah dalam pengelolaan sumber daya alam. Di wilayahnya ada pertambangan emas yang dikelola warga. Kegiatannya dilakukan di bantaran Sungai Tihu’o, sejak 1960. Petambang banyak dari desa sekitar seperti Soginti, Popaya, dan Padengo.

2005, masyarakat mulai menggunakan merkuri, menyebabkan Sungai Tihu’o keruh. Petani sawah pun mulai mengeluh karena terjadi peningkatan sedimentasi. Puncaknya, 2015, masyarakat di Kecamatan Paguat dan Kecamatan Dengilo yang merupakan petani sawah protes ke pihak berwajib karena sawah mereka rusak parah akibat tambang emas. Selain itu, PDAM di Desa Soginti tidak bisa digunakan lagi karena airnya keruh.

”Sampai saat ini, belum ada solusi. Di satu sisi ekonomi masyarakat meningkat, di sisi lain berbahaya karena lingkungan rusak,” kata Kepala Desa Karya Baru, Iskandar Dalangko, kepada Mongabay Indonesia.

Desa Karya Baru terbentuk pada 2003, pemekaran dari Desa Soginti dan Desa Popaya. Desa ini juga dihadapkan persoalan batas wilayah dengan kawasan hutan, patok batas Cagar Alam Panua berada di lahan pertanian masyarakat.

Aktifitas penambang rakyat yang berada di dalam Desa Karya Baru, Kecamatan Dengila, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Foto: Christopel Paino
Aktifitas penambang rakyat yang berada di dalam Desa Karya Baru, Kecamatan Dengila, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Foto: Christopel Paino

Pendekatan KPAD

Konflik pengelolaan sumber daya alam yang terjadi di Kecamatan Dengilo dan juga di berbagai tempat di Kabupaten Pohuwato sering tidak berujung titik temu. Burung Indonesia yang berupaya mendorong model pengelolaan bentang alam berkelanjutan membuat pendekatan dengan nama KPAD atau Kesepakatan Pelestarian Alam Desa.

“KPAD adalah pendekatan untuk mengurangi konflik pengelolaan sumber daya alam (SDA) desa di dalam dan di luar kawasan hutan. Caranya, melalui peran serta aktif masyarakat, pemerintah, dan semua pihak dalam pengelolaannya,” kata Amsurya Warman Amsa, Manajer Program Burung Indonesia.

Perbedaan pemahaman pengelolaan SDA merupakan pangkal terjadinya konflik, bisa antar-masyarat, antar-desa, pemerintah, dan pihak lainnya. Memfasilitasi untuk menemukan persamaan persepsi dan mendapatkan kesepakatan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, harus dilakukan.

Menurut Amsurya, pengelolaan SDA di tingkat desa tidak lepas dari peningkatan penghidupan, budaya, penataan ruang desa, land tenure dan tata batas kawasan hutan. Melalui KPAD, masyarakat difasilitasi untuk menemukan potensi desa yang dapat dikembangkan untuk peningkatan penghidupan. Juga, mencari solusi sebagai dasar perencanaan pembangunan desa. “Secara umum, KPAD merupakan kesepakatan antara masyarakat desa dan parapihak untuk mendukung pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.”

7 Oktober 2016, Bupati Pohuwato menandatangani dokumen KPAD enam desa. Yaitu,  Makarti Jaya dan Puncak Jaya di Kecamatan Taluditi, Lembah Permai di Kecamatan Wanggarasi, dan Desa Karangetang, Padengo, serta Karya Baru di Kecamatan Dengilo.

Bupati Pohuwato, Syarif Mbuinga, telah merestui Burung Indonesia melalui PT. Habitat Burung Indonesia untuk mengelola hutan di Pohuwato melalui izin konsesi restorasi ekosistem (IUPHHK RE) selama 60 tahun. Kegiatan restorasi diharapkan bersinergi dengan program pemerintah daerah sehingga hutan Pohuwato dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. “Terutama, mereka yang tinggal di sekitar kawasan hutan,” ujarnya.

Aktifitas penambang rakyat yang berada di dalam Desa Karya Baru, Kecamatan Dengila, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Foto: Christopel Paino
Aktifitas penambang rakyat yang berada di dalam Desa Karya Baru, Kecamatan Dengila, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Pengelolaan yang arif dan berkelanjutan harus dilakukan. Foto: Christopel Paino

Isi kesepakatan

Penyusunan KPAD mengutamakan peran aktif warga, dibantu fasilitator masyarakat diminta merumuskan, menganalisa, dan menyusun kesepakatan secara partisipatif.

“Penyusunan KPAD merupakan implementasi pembangunan partisipatif desa secara bottom up. Partisipasi ini diharapkan menjamin keberlanjutan program yang disepakati masyarakat desa itu sendiri,” ungkap Andriansyah, Communications and Knowledge Management Specialist Burung Indonesia.

Menurut Andriansyah, ada tiga hal penting dalam kesepakatan itu. Membuat aturan dalam bentuk peraturan desa (perdes), solusi masalah dengan membuat program swadaya, serta meminta dukungan pihak luar terkait kebijakan, teknis, program pembangunan serta pendanaan baik dari pemerintah maupun organisasi non-pemerintah.

“Semua dituangkan dalam bentuk rencana usulan Program Pembangunan Desa, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes), Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes), serta proposal kegiatan khusus.”

Nasroi, anggota kelompok tani mandiri Desa Makarti Jaya mengatakan, sebagai salah satu bentuk pelaksanaan KPAD, khususnya dalam peningkatan ekonomi, masyarakat telah melaksanakan teknik budidaya kakao yang lestari dan bersertifikasi internasional. “Kami berharap pelaksanaan ini akan berhasil dan berkembang di kabupaten lain di Gorontalo.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,