Surat perjanjian berbahasa Belanda jadi pintu masuk warga di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, mendesak perusahaan mengembalikan hak tanah mereka. Puluhan kali pertemuan digelar, tak membuahkan hasil. Konflik makin membesar, ada serbuan aparat kepolisian, warga dikejar, suasana desa mencekam.
Rajuddin, penduduk dari kebun karet PT London Sumatera (Lonsum) duduk berhadapan dengan dua warga lain. Sinar lampu remang-remang. Malam itu, dia baru usai salat Isya. Suara lelaki 60 tahun ini tak begitu keras. Deras hujan menerpa rumah beratap seng tanpa plafon, kadang membuat dia berhenti berucap.
Dia mengangkat sarung memperlihatkan luka di salah satu lutut. Aparat kepolisian menembak, bukan melindungi dia. “Waktu hampir mi jam tiga (sekitar pukul 15.00), tiba-tiba banyak polisi datang. Pakai senjata dan menembak. Saya lari sama banyak teman lain. Tak tahu lagi arah,”katanya.
Unjuk rasa bubar. Warga kocar kacir. Dua orang meninggal dunia. Puluhan luka-luka. Dalam keadaan genting itu, Rajuddin sadar ketika benda kecil menghantam kakinya. Darah mengucur. Dua orang kawan membopong. Kaki harus terus digerakkan. Langkah mulai doyong, bersyukur berhasil menjangkau kawasan adat Kajang.
Di Kajang, di rumah kerabatnya, Rajuddin bersembunyi dari kejaran aparat. Peluru masih menancap di kaki. “Kalau tak salah, 10 hari saya lepaskan sendiri peluru. Saya cungkil-cungkil pakai pisau,” katanya.
“Nda ada mi pilihan. Karena nda mau ka ke rumah sakit. Takut ka.
Wuii, itu sakit. Sakit sekali.”
Rajuddin terkena peluru Juli 2003. Dia bersama ratusan warga lain berunjuk rasa, memblokade jalan masuk menuju pabrik Palangisang. Pohon-pohon karet mereka tumbangkan. Suasana benar-benar mencekam.
Warga menuntut pembebasan lahan Lonsum–perusahaan yang mengelola perkebunan karet sejak 1919 di Bulukumba.
Aksi Juli itu, kelanjutan perihal kemenangan warga sebelumnya. Melalui putusan Pengadilan Negeri Bulukumba, warga berhasil mendapatkan 200 hektar–saat eksekusi menjadi 540 hektar. Tak puas, warga menghendaki wilayah lebih luas. Akhirnya, berujung ricuh.
Akhir September 2016, pertemuan digelar di Kantor Bupati Bulukumba. Puluhan perwakilan masyarakat menggelar diskusi meminta kejelasan perkara sengketa tanah. Mereka disambut Wakil Bupati Bulukumba, Tomy Satria Yulianto pada sebuah meja oval di ruang kerja.
Tommy Satria, memimpin diskusi. Perwakilan Lonsum tak hadir, meski sudah diundang.
Pada sesi diskusi, benang kusut perlahan diurai. Pada versi Pemerintah Bulukumba, pada 1999, eksekusi kepemilikan lahan warga sudah dilaksanakan. Mulai batas Sungai Galo’go, Sungai Balangloe, kebun kodam, dan Desa Salassae, luas 540 hektar. Kemenangan warga melalui jalur hukum sulit terlaksana.
Pada 2004, Lonsum mengambil paksa lahan perkara seluas 275 hektar. Menurut seorang dari instansi Pemda Bulukumba, eksekusi perusahaan tak sah.
Pemerintah Bulukumba, membentuk tim verifikasi Oktober 2012. Hasil temuan disampaikan kepada Gubernur Sulawesi Selatan dan pusat (Kementerian Dalam Negeri).
Pada 8 Februari 2013, tim dari SKPD Bulukumba bersama Bupati, Sekretaris Daerah, Lembaga Adat dan LSM AGRA, berkunjung ke Kementrian Dalam Negeri. Hasilnya, Pemerintah Bulukumba, tak memiliki kewenangan memutuskan sengketa tanah antara warga dan Lonsum.
Mekanismenya, Pemerintah Bulukumba melimpahkan kepada pemerintah Sulsel. Provinsi akan menyurati Kementerian Dalam Negeri.
Tomy Satria mendengar penjelasan perangkat kerjanya, berkerut. Dia membakar rokok dan menghisap dalam. “Agak aneh. Yang ada, pemerintah pusat memintah pemerintah provinsi. Dimana ada logika, pemerintah desa melimpahkan kewenangan ke pemerintah kabupaten?”
Tomy adalah Wakil Bupati Bulukumba periode 2016-2021. Dia baru menjabat. Pada 2014, dia legislator dari partai Demokrat. Pada diskusi itu, dia meminta perwakilan masyarakat memberi kepercayaan dan akan melakukan hal terbaik.
Permintaan masyarakat mengukur kembali atas tanah yang dianggap tumpang tindih dengan HGU Lonsum, ditolak perusahaan. Pada 4 Oktober 2012, Lonsum mengirimkan surat kepada Bupati Bulukumba, menyatakan keberatan. Surat dintandatangani Benny Tjoeng, Presiden Direktur Lonsum.
Surat itu menjelaskan, perusahaan telah berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional dan menegaskan bila, “berdasarkan hasil ploting peta bidang tanah pada citra satelit batas penguasaan kebun sesuai peta bidang tanah hingga tak perlu pengukuran ulang.”
”Dalam hal masyarakat menuntut lahan berlokasi HGU Lonsum, mohon agar Bapak Bupati Bulukumba mengimbau pihak-pihak itu dipersilakan menempuh jalur hukum sesuai ketentuan perundang-undangan berlaku,” tulis surat itu.
***
Pada 2003, Rajuddin berhasil sampai Kajang, berdiam diri. Kaki mulai bengkak. Samar-samar dia mendengar kabar, namanya santer dicari kepolisian. Beruntung warga di sekitar Palangisang tak pernah menceritakan keberadaan dia. Jika ada polisi bertanya, orang-orang bilang tak kenal.
“Jadi kalau ada yang tanya kenal Raju– sapaan akrab Rajuddin-, kami bilang tidak. Jadi selama itu Pak Raju, dianggap hilang,” kata Baba Binggiling, penduduk lain.
Baba, mengenang pasca peristiwa itu, suasana kampung sangat mencekam. Polisi selalu datang pakai truk, senjata lengkap. Setiap melihat perkumpulan warga, mereka menghampiri dan menanyakan beberapa identitas orang. “Banyak orang lari ke hutan, bersembunyi. Menjelang malam, mereka pelan-pelan pulang ke rumah. Memasak untuk anaknya seperti jaman perang saja,” katanya.
Saya bermalam di Desa Tomatto–wilayah Palangisang-, Kecamatan Ujung Loe. Saya bersepeda motor keliling kampung. Pohon-pohon karet berderet rapi. Suasana sejuk. Bila malam tiba, banyak nyamuk. Orang kampung bilang, nyamuk hutan. Besar-besar dan hitam. Anti nyamuk tak mempan. Hampir semua warga di sekitaran kebun karet pakai kelambu.
Ketika pagi datang, beberapa pekerja terlihat sibuk. Menggunakan sepatu boot plastik bawa celurit dengan ujung dibengkokkan, agar lebih mudah menyanyat kulit karet. Mangkuk-mangkuk kecil berwarna biru menempel di setiap pohon. Getah karet mengalir pelan dan menetes.
Getah karet berbentuk cair masuk ke jerigen. Yang sudah mengeras ditempatkan wadah lain, seperti karung. Aroma getah karet menyengat hidung.
Di Palangisan, pohon-pohon karet tak begitu tinggi, diremajakan pada awal 1990-an. Berbeda di Balambessie, pohon karet sudah tinggi-tinggi. Di perkebunan Lonsum, menyadap karet pada ketinggian satu meter dari pangkal pohon. Sayatan akan terus bertambah setiap panen, hingga membentuk ulir di ketinggian hingga tiga meter.
Getah-getah karet yang terkumpul akan dibawa ke salah satu tempat penampungan. Pekerja menggunakan motor sendiri, membawa dengan menggandeng jerigen. Saya bertemu seorang pekerja. Wajah penuh keringat. Sudah jelang siang, dia masih menyisakan seratusan pohon yang harus panen.
Tangan cekatan menuangkan getah karet ke ember. Merekalah para buruh, warga lokal yang bekerja pada level paling rendah di sebuah perusahaan yang mengeruk sumber alam.
“Bapak saya dulu karyawan Lonsum. Kebun kami digunakan perusahaan, dengan konpensasi dipekerjakan langsung tanpa tes,” kata Abu Nawang.
Kala itu, katanya, perusahaan bilang, kalau masuk masa pensiun, anaknya otomatis masuk masuk sebagai karyawan. “Setelah menikah, saya mencoba mohon bekerja, tapi tak pernah lolos,” katanya.
Setelah tak bisa bekerja di perusahaan dia merantau. “Saya ada uang dan membeli kendaraan dan membangun rumah. Sekarang mengelola kebun. Anak saya ada tiga orang. Saya ingin mereka terus lanjut sekolah. Tak seperti saya. Bapak saya dulu waktu kerja di perusahaan peghasilan tak mencukupi karena hanya jadi buruh. Saya tak ingin anak saya mengalami,”katanya.
Dia ikut menuntut lahan karena orangtuanya dan beberapa warga kampung dulu membuka lahan, menanam jagung dan pisang untuk keperluan sehari-hari. Setelah lahan bersih, diambil perusahaan dengan embel-embel mendapat pekerjaan. “Apakah saya salah jika menuntut kembali tanah itu. Bukti itu masih ada.”
Tahun 2011, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), mengunjungi kampung sekitar perkebunan karet. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil dan mengadakan diskusi.
Abu Nawang ikut serta. Pikiran dia terbuka. “Sebelumnya, setelah 2003, saya berpikir tak mungkin lagi memperoleh hak tanah kembali. Itu sesuatu mustahil apalagi melawan Lonsum yang punya banyak uang bahkan dilindungi aparat. Sekarang tidak lagi. Kami petani, tanah kami dikuasai orang. Kenapa kami harus diam?”
Akhirnya, melalui perundingan terbentuklah 10 ranting di setiap desa di empat kecamatan wilayah Lonsum (Kecamatan Ujung Loe, Kajang, Herlang, dan Bulukumpa). Anggota mencapai 1.900 orang. Setiap orang memasukkan gugatan atas tanah mereka, dari mulai bukti sertipikat, SPPT, hingga bukti alam seperti pematang sawah, kuburan, atau tanaman produktif yang menguatkan sebagai tanah garapan secara turun temurun. Luas klaim ini mencapai 2.000 hektar.
Abu, mengklaim ada sekitar empat hektar lahan keluarga terpakai Lonsum. Di dalam lahan itu, ada sundrang (mahar yang diberikan orang tua pada istri saya). Akhirnya, pada 2013, diadakan pertemuan di Kantor Bupati Bulukumba.
Melalui kajian dan hasil tim verifikasi lapangan yang dibentuk Pemerintah Bulukumba didampingi tim ahli dan masyarakat, menyimpulkan kebenaran atas klaim masyarakat.
“Saya masih ingat di pertemuan itu. Ada pejabat dari tim hukum pemerintah dan pertanahan menyatakan kalau yang sah adalah punya masyarakat. Beberapa warga memiliki sertipikat lebih awal dari HGU perusahaan,” ucap Abu.
“Kami akan menyurat ke Lonsum, untuk menghentikan pengelolaan diatas tanah masyarakat,” kata Bupati Bulukumba, ditirukan Abu Nawang.
Ironis, isi surat yang dilayangkan Pemerintah Bulukumba kepada Lonsum memohon untuk menghentikan kegiatan. Muasal kata inilah yang membuat beberapa warga berang. “Jadi kalau memohon, bisa dikabulkan bisa tidak. Itu kan tidak jelas,” kata Abu.
Permintaan Pemerintah Bulukumba tak digubris Lonsum. Akhirnya, ribuan warga kembali menduduki wilayah Palangisang selama enam hari. “Kami nekat melakukan. Kami juga menduduki dengan tertib. Kami akhirnya bubar sendiri, karena sudah banyak aparat kepolisian datang. Kami takut ada bentrok lagi seperti sebelumnya (2003-red),” kata Amiruddin warga lain.
“Tak ada kesepakatan, hingga sekarang.”
Lonsum bermula di Bulukumba
London Sumatera (Lonsum), perusahaan yang didirikan 1906 dengan kepemilikan saham oleh grup Harrison and Crosfield dari Inggris. Pada 1919, sebagai perusahaan penanaman modal asing bidang perkebunan memasuki Bulukumba dengan nama NV Celebes Landbouw Maatschappij.
Perusahaan ini didukung keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.43 dan 44 tertanggal 10 Juli 1919 dan 18 Mei 1921 dengan status hak erfacht. Pada 1960, lahir UU Pokok Agraria. Perusahaan ini mengajukan permohonan kepada pemerintah Indonesia untuk mendapatkan hak guna usaha (HGU) pada 17 April 1961.
Tak lama, perusahaan berganti nama menjadi PT Perkebunan Sulawesi (Pepsu). Pada 1963 hingga 1968, ketika terjadi pergolakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII), perusahaan ini diambil alih pemerintah RI mengganti nama menjadi PN Dwikora III–bersamaan dengan konfrontasi Malaysia. Ini bagian nasionalisasi perusahaan asing.
“Pada masa perusahaan menjadi PN Dwikora, saya kira disinilah mulai banyak timbul masalah,” kata Sangkala (73).
Sangkala adalah ayah kandung Wakil Bupati Bulukumba, Tomy Satria. Pada pertemuan di ruangan kerja Tomy, dia ikut memberikan penjelasan.
“Dia wakil bupati. Saya rakyat biasa. Ketika orang tau seperti itu, mereka selalu mengaitkan kalau saya berani menuntut Lonsum karena kedekatan kekuasaan. Saya yakinkan itu tidak benar. Dia (Tomy) bekerja sesuai prosedur, saya sebagai warga biasa dan masyarakat adat,” katanya.
Sangkala, memiliki beberapa dokumen yang diperlihatkan pada saya, termasuk pejanjian perusahaan awal atas dasar hak erfacht–berbahasa Belanda. Dia mendapatkan dari dokumen lembaga adat Bulukumba Toa.
Menurut dia, hak erfacht, hak kebendaan kebendaan untuk menguasai, menikmati sepenuhnya, akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain. Dengan kewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik, sebagai pengakuan tentang kepemilikan, baik berupa uang, benda atau penghasilan.
Di wilayah adat Bulukumba Toa, luas wilayah adatnya 3.000 hektar. Masa lalu, kata Sangkala, dalam dokumen lembaga adat, perusahaan membawa beberapa uang koin, dimasukkan dalam keranjang terbuat dari daun kelapa kepada pemangku adat.
“Artinya perusahaan pada masa-masa awal menjalankan fungsi hak erfacht itu. Sekarang, dari kemerdekaan Indonesia itu tak pernah lagi. Tak ada pula ganti rugi,” katanya.
Tak hanya itu, ketika perusahaan mengkonversi hak erfacht menjadi HGU seharusnya ada akta pelepasan pemilik. “Adakah pelepasan itu dilakukan lembaga adat. Saya kira tidak pernah terjadi,” ucap Sangkala.
Ketika perusahaan menjadi Dwikora III, Bulukumba seperti wilayah lain di Sulsel, dilanda kekacauan dampak gerakan DI/TII. Ratusan orang bermukim di hutan, hanya beberapa berani tinggal di kampung.
Ketakutan menyelimuti warga. Gerakan ini membuat garis imajiner antara sekutu DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar atau sekutu TNI. Garis batas ini biasa sempadan sungai atau hutan.
Keuntungan pergolakan itu, akhirnya membuat perusahaan yang dipimpin para petinggi militer hingga para staf, membuka lahan secara serampangan. Hampir tak ada lagi aturan membatasi. “Jadi luas lahan perusahaan terus saja bertambah. Akhirnya, beberapa lahan garapan, atau lahan bersertipikat warga menjadi bagian perusahaan,” kata Sangkala.
Dari laporan KontraS pada November 1994, perusahaan ini dibeli oleh perusahaan Indonesia bernama PT Pan London Sumatra Plantation (PLSP) senilai US$273 juta. PLSP dimiliki Anry Pribadi dari group Napan dan Ibrahim Risyad dari grup Risjadson. Tak lama, 25% saham Lonsum dialihkan kepada Happy Cheer Limited (HCL), 75% tetap dipegang PLSP.
Di Indonesia, Lonsum memiliki 11 perkebunan (sawit dan karet) di Sumatera Utara, 13 perkebunan (sawit dan karet) di Sumatera Selatan, satu perkebunan karet di Sulawesi Selatan, satu perkebunan sawit di Kalimantan Timur dan dua perkebunan (coklat, kopi dan teh) di Jawa.
Akhir 1997, Lonsum mengelola perkebunan seluas 45.477 hektar di Sumut, Jawa dan Sulawesi. Ekspansi Lonsum berawal pada 1994. Mereka berencana memperluas perkebunan 113.750 hektar di Sulawesi dan Kalimantan.
Lonsum juga sedang mengembangkan perkebunan 36.371 hektar di Sumsel dan Sulawesi. Luas total perkebunan pada 2000 sekitar 205.000 hektar.
Pada Desember 2000, Lonsum menanam sawit 38.163 hektar, karet 15.879 hektar, dengan 17 pabrik dan sejumlah kawasan masih mungkin pengembangan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional,–kala Menteri Soni Harsono pada 1997–tentang pemberian perpanjangan hak guna usaha atas tanah terletak di Kabupaten Bulukumba, Sulsel, menetapkan perpanjangan HGU 25 tahun. Itu terhitung sejak berakhir hak atas tanah perkebunan Palangisang dan Balombessi 5.784,46 hektar.
Rinciannya, Bonto Munasa (970,52 hektar), Tanate (912,51 hektar), Swatani, Tambangan, Bonto Minasa dan Balleanging (464,82 hektar dan 3.436,61 hektar). Bonto Biraeng, Bonto Mangiring, Tomatto, Bontoa, Tibona, Balong dan Tugodeng tak masuk HGU.
Hingga 2003, pemilik saham Lonsum PLSP 47,23%, Commerzbank (Sea) Ltd, Singapore 5,83%, dan publik dengan kepemilikan kurang 5% (46,95%). Dukungan pendanaan lain Lonsum dari Lonsum Finance BV (100%), PT Dwi Reksa Usaha Perkasa (95%), PT Treekreasi Margamulia (94.76%) dan PT Multi Agro Kencana Prima (80%).