“Lubang Ini Digugat” Aksi Protes Para Ibu untuk Puluhan Nyawa Anak yang Hilang

Pagi itu sekitar pukul 08.00 Wita, empat ibu sudah berkumpul di rumah perlawanan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, di Jalan H. Suandi V Samarinda, Kamis (22/12/16). Mereka adalah Rahmawati, Nuraeni, Mulyani, dan Marsini. Keempatnya merupakan ibu dari para korban tambang di Samarinda. Anak-anak mereka tewas tenggelam, di lubang bekas galian tambang yang dibiarkan menganga.

Bertepatan dengan peringatan Hari Ibu, mereka melakukan aksi pemasangan plang gugatan “Lubang Ini Digugat” di beberapa kolam bekas galian tambang. Kolam-kolam yang mereka datangi, adalah kolam yang menewaskan anak-anak mereka. Mereka menggugat kejahatan perusahaan tambang batubara, yang abai dan tidak mereklamasi kolam tambangnya. Aksi tersebut sekaligus sikap protes atas hilangnya 25 nyawa anak-anak di seluruh lubang tambang di Kalimantan Timur (Kaltim), yang 16 korban terjadi di Samarinda.

Rahmawati menuturkan, hingga kini tidak ada penjelasan memuaskan terkait sejumlah kasus itu. Tidak ada keadilan hukum untuk perusahaan yang sengaja membiarkan lubang bekas galian tambangnya dibiarkan terbuka. “Kami tidak akan berhenti sampai negara menutup lubang tambang dan menghukum perusahaan.”

Baca: Bertemu Menteri Yohana di Samarinda, Rahmawati Cerita Pentingnya Keselamatan Anak di Sekitar Lubang Tambang

Rahmawati masih ingat bagaimana putranya, M. Raihan Saputra tewas tenggelam. Saat keluar rumah dalam kondisi sehat, tiba-tiba pulang sudah tidak bernyawa. Kejadian yang sangat melukai hatinya, terlebih pihak perusahaan tak pernah mengaku salah atas kejadian itu. “Kami meminta keadilan. Kami menolak diam, menunggu di rumah sembari menunggu janji manis. Kami ingin pemerintah tegas,” ujarnya.

Bersama tiga ibu lainnya, Rahmawati berharap tidak akan ada lagi anak-anak yang menjadi korban di lubang tambang. “Semoga pemerintah melihat langsung kawasan berbahaya ini, dan cepat bertindak.”

Plang gugatan dipasang untuk menolak diam atas hukum yang jalan di tempat. Foto: Jatam Kaltim
Plang gugatan dipasang untuk menolak diam atas hukum yang jalan di tempat. Foto: Jatam Kaltim

Pulihkan bumi

Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, mengatakan aksi tersebut adalah sikap penolakan para ibu yang kehilangan buah hati mereka. Bertepatan Hari Ibu, Jatam membantu para ibu meluapkan kekecewaan mereka untuk diamnya negara beserta aparaturnya dan jahatnya perusahaan tambang batubara di Kalimantan Timur. “Ada 25 ibu di Kaltim yang menanti kepastian hukum. Mereka harus menerima kenyatan pahit, penanganan kasus ternyata jalan di tempat.”

Dharma menyebutkan, selama lima tahun lebih korban terus berjatuhan. Namun, penyidikan kasus nyaris tanpa transparansi, dan lamanya penanganan hukum menimbulkan pertanyaan untuk Kepolisian Kaltim. “Mengapa baru satu kasus yang maju ke pengadilan, kemana lainnya.”

Doa para ibu untuk anak-anak mereka yang tewas di lubang tambang. Foto: Jatam Kaltim
Doa para ibu untuk anak-anak mereka yang tewas di lubang tambang. Foto: Jatam Kaltim

Catatan Jatam Kaltim menunjukkan, ada 232 lubang tambang yang tersebar, lebih dari setengahnya, tidak jauh dari permukiman. Sebagaian besar dari lubang tersebut tidak menjalankan ketentuan mengenai pengawasan dan keamanan, seperti yang dimuat dalam keputusan Menteri ESDM Nomor 55/K/26/MPE/1995. Diantaranya, tidak ada pagar pengaman, tanda-tanda bahaya lubang tambang, serta pengawasan di sekitar area.

“Samarinda lebih mirip toilet, karena industri tambang hanya mengeruk alam. Mereka meninggalkan lubang, menggundulkan hutan, merusak sawah, dan meracuni sumber air. Hanya kerusakan yang ditinggalkan untuk masyarakat.”

Lubang tambang yang teramat dekat permukiman warga membuat keselamatan nyawa anak-anak terancam. Foto: Jatam Kaltim
Lubang tambang yang teramat dekat permukiman warga membuat keselamatan nyawa anak-anak terancam. Foto: Jatam Kaltim

Untuk itu, lanjut Dharma, Jatam Kaltim bersama Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT) mendesak Pemerintah Kota Samarinda untuk menghentikan seluruh kegiatan pertambangan di dekat permukiman. “Lakukan audit lingkungan menyeluruh dan menutup semua lubang bekas tambang di Samarinda.”

Senada, Mareta Sari dari TKPT, mendukung aksi yang dilakukan para ibu tersebut. Sebagai perempuan, Mareta merasakan bagaimana gelisahnya para ibu yang menantikan keadilan meninggalnya anak mereka. “Keadilan tenggelam bersama lumpur kejahatan 17 konsesi tambang di provinsi ini. Selamat Hari Ibu, ibu bumi merestui perjuangan ini. Kami menuntut keadlian dan keselamatan anak-anak kami,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,