Terus Berulang Terjadi, Dari Mana Sampah di Pantai Kuta?

Hingga kini, warga masih kerap heran dan bertanya, “sampah dari mana di Pantai Kuta itu?” Sebuah survei menyebut sebagian besar sampah adalah plastik dan sumbernya dari darat. Artinya itu sampah kita sendiri yang dibuang di got, masuk sungai, lalu berakhir di lautan.

Sejak awal Desember lalu, saat angin Barat mulai bertambah kuat, seperti tahun-tahun sebelumnya, sepanjang pesisir Bali di arah Barat Daya mulai terlihat ‘menakjubkan’. Pantai berpasir putih dari dekat bandara Ngurah Rai, Kuta, sampai Legian penuh sampah plastik tiap harinya.

Arus tak henti-hentinya mendaratkan sampah dan serpihan, mayoritas anorganik ke bulir-bulir pasir yang lembut di pantai. Ketika pesisir sudah terlihat penuh, baru disapu dan dikumpulkan jadi titik-titik gunungan sampah. Demikian seterusnya. Sampah tak habis-habis dibawa gulungan ombak. Pemandangan kontras. Birunya laut dan jejeran sampah menutup pasir.

“Tiap hari minimal tiga kali disapu. Gak enak kelihatannya,” ujar Afit, salah seorang penjual minuman di pantai Kuta, awal tahun 2017. Jadilah, para pedagang, penjaja jasa, dan pengelola pantai gotong royong tiap pagi, siang, dan sore.

“Tahun baru ini turun setengah pengunjungnya. Karena sampah dan isu-isu lain lah,” keluh Alin, penjaja lain yang sedang mengumpulkan sampah depan area dagangnya.

(baca : Siaga Sampah Bali. Ada Apakah?)

Tahun baru bersama gelombang dan serakan sampah plastik di Pantai Kuta. Jika biasanya pasir menjadi tempat berjemur, duduk-duduk, atau bermain, kini para turis menjauh. Mereka duduk di kursi yang disediakan para pedagang. Hanya beberapa orang yang sedang belajar surfing berada di tengah sebaran sampah.

“Ini ya sampah kita sendiri, dari sungai ke laut,” Afit menjawab kalem. Ia sudah tak lagi terkejut karena fenomena sampah ini terjadi tiap tahun saat jelang akhir tahun, ketika angin dari arah laut menampar keras pesisir Bali arah Barat Daya, antara Selatan dan Barat yang bertepatan dengan lokasi wisata paling padat. Ada pantai Jerman, Kuta, Legian, dan Seminyak.

Wisatawan surfing di tengah gulungan ombak penuh sampah saat angin Barat di Pantai Kuta sampai Seminyak, Bali. Sampah di pesisir pantai menjadi masalah bagi lingkungan dan pariwisata Bali. Foto: Luh De Suriyani
Wisatawan surfing di tengah gulungan ombak penuh sampah saat angin Barat di Pantai Kuta sampai Seminyak, Bali. Sampah di pesisir pantai menjadi masalah bagi lingkungan dan pariwisata Bali. Foto: Luh De Suriyani

Ratusan orang berkaos Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa beraksi dengan aksi menyambut tahun baru membersihkan sampah Pantai Kuta, 1 Januari lalu. Dipimpin Gede Ary Astina alias Jerinx, drummer band Superman Is Dead, mereka bersepeda menuju Pantai Kuta kemudian mengumpulkan berkantong-kantong sampah anorganik yang akan dipilah Eco Bali Recycling.

(baca :  Inilah Para Pahlawan Sampah Bali)

“Pantai Kuta adalah salah satu pantai terkotor di Bali. Kuta juga dekat dengan Teluk Benoa. Ini belum reklamasi saja jumlah sampahnya gila-gilaan, apalagi ditambah dengan pulau baru,” ujar Jerinx.

Salah seorang peneliti di Bali tertarik dengan fenomena sampah ini dan sejak 2014 melakukan riset soal jenis dan sumber sampah hingga sampai Pantai Kuta.

Pada Maret-Oktober 2014, sebuah tim dipimpin Dr I Gede Hendrawan Peneliti dari Centre of Remote Sensing and Ocean Sciences, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana mengadakan survei di sepanjang Pantai Kuta (bukan di perairan) untuk mengetahui jenis sampah yang terdampar atau terdeposisi di sepanjang pantai.

Survei dilakukan dengan metode transek yang dikembangkan oleh National Marine Debris Monitoring Program (NMDMP). Mereka mengamati sampah yang berukuran besar (macro debris), ukuran lebih dari 2,5 cm. Untuk mengetahui jenis sampah, diklasifikasikan seperti yang dilakukan National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA) dalam marine debris program.

Hasil survei menunjukkan mayoritas sampah di pesisir Bali adalah plastik dan sumbernya dari daratan, sampah manusia yang dibuang sembarangan. Foto: Luh De Suriyani
Hasil survei menunjukkan mayoritas sampah di pesisir Bali adalah plastik dan sumbernya dari daratan, sampah manusia yang dibuang sembarangan. Foto: Luh De Suriyani

Hasil survei memperlihatkan sampah yang terdeposisi di pantai Kuta didominasi 75% sampah plastik, dengan konsentrasi rata-rata sampah sebesar 0,25/meter persegi. Tim ini juga melakukan klasifikasi sumber sampah dengan metode yang dikembangkan oleh Ocean Conservancy.

“Dari jenis sampah yang telah diperoleh dapat diklasifikasikan bahwa sumber sampah yang terdapat di pantai Kuta berasal dari aktifitas di darat mencapai sekitar 52%, aktifitas laut sekitar 14%, dan aktifitas secara umum baik darat maupun laut sebesar 34%,” papar peneliti muda ini.

Apakah pergerakan sampah bisa ditelusuri?

Hendrawan menjelaskan pengamatan sumber sampah yang memasuki perairan laut dari aliran sungai yang berhadapan langsung dengan Selat Bali di daerah Tabanan dan Jembrana telah dilakukan selama 3 bulan dari bulan Juli-September 2014.

Kondisi sungai pada saat daerah sekitarnya hujan telah mengalirkan sampah jauh lebih banyak daripada saat kondisi tidak hujan. Sungai Ijo Gading pada bulan Juli mengalirkan sampah mencapai 3000 sampah organik/jam dan 816 sampah plastik/jam.

Sungai Tukad Penet mengalirkan paling banyak sampah organik selama pengamatan, yaitu rata-rata berjumlah 230,66 sampah organik/jam, dan Tukad Ijo Gading mengalirkan paling banyak sampah plastik, dengan rata-rata sebanyak 32 sampah plastik/jam.

Sementara rata-rata jumlah sampah yang mengalir di bulan Juli pada 8 sungai yang menjadi daerah kajian mengalirkan 503,25 sampah organik/jam dan 503,25 sampah plastik/jam.

Jika dikalkulasi, rata-rata dalam 24 jam, ada aliran sampah lebih 24 ribu unit. Jika ditumpuk mungkin menyerupai gunung. Bayangkan jika sampah ini lalu robek dan jadi serpihan terutama mikroplastik yang sangat mudah dimakan binatang laut dan meracuni ekosistem laut.

(baca : Memprihatinkan Satwa Laut di Bali dan NTB Makin Beresiko Keracunan karena Ini)

Dengan demikian sungai-sungai yang berada berhadapan langsung dengan Selat Bali memiliki potensi untuk turut menyumbangkan sampah menuju perairan laut, terutama pada saat musim hujan, baik berupa sampah organik maupun sampah plastik.

“Namun pergerakan sampah di perairan Selat Bali masih belum dapat ditentukan, sehingga potensi Pantai Kuta menerima sampah yang berasal dari beberapa sungai di Bali harus mendapat kajian lebih lanjut,” Hendrawan memberi catatan.

Ratusan orang mengenakan kaos Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa menyambut tahun baru dengan bersepeda dan memungut sampah di Pantai Kuta, dipimpin Jerinx, vokalis band Superman Is Dead. Foto: facebook Ary Astina
Ratusan orang mengenakan kaos Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa menyambut tahun baru dengan bersepeda dan memungut sampah di Pantai Kuta, dipimpin Jerinx, vokalis band Superman Is Dead. Foto: facebook Ary Astina

Saat ini timnya sedang melakukan studi pendahuluan dengan pemodelan matematik untuk mengetahui pergerakan sampah yang ada di Selat Bali, dan mekanisme pergerakannya sampai terdeposisi di Pantai Kuta. Model matematik yang dikembangkan pada prinsipnya menghitung besarnya arus dan pola pergerakan arusnya yang digerakkan oleh pasang surut dan angin.

Dari pergerakan arus tersebut kemudian dilakukan tracking terhadap partikel yang mengapung di perairan Selat Bali. “Dari hasil model, secara umum sampah yang terdeposisi di Pantai Kuta berasal dari Pulau Bali sendiri, seperti dari kabupaten Tabanan dan Jembrana. Namun demikian sampah di Kuta juga disumbangkan oleh pesisir pantai di Banyuwangi dan Samudra Hindia,” ia memperkirakan.

Waktu yang dibutuhkan sampah tersebut terdeposisi di pantai Kuta sekita 5-28 hari. Akan tetapi pada kondisi angin ekstrem akan mempercepat pergerakan sampah dari sumber ke Pantai Kuta. Jika dilihat dari hasil model, hampir 20-30% sampah yang mengapung di Selat Bali akan terdeposisi di Pantai Kuta. “Untuk meyakinkan hasil model, telah dilakukan verifikasi model dengan data lapangan, dan didapatkan hasil yang bersesuaian antara hasil model dan data lapangan,” lanjutnya.

Hingga kini masih dilakukan analisis model lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih komprehensif, dan secara keseluruhan sedang dipersiapkan untuk di publikasikan melalui Jurnal, diharapkan nanti informasi menjadi lebih valid setelah melalui proses review dan publikasi.

Hendrawan mengakui sangat sulit memantau pergerakan sampah yang jumlahnya jutaan, sehingga dibuatlah materi mengapung.  Pada penelitian ini dilepas 2 materi mengapung yang dilengkapi dengan GPS dan diikuti selama 8 jam. Dari hasil tracking partikel mengapung digunakan untuk validasi hasil model yang sudah dikembangkan, dan didapatkan hasil model dan tracking di lapangan memiliki pola bersesuaian.

“Kita tak mau menunjukkan itu sampah siapa. Sampah kita juga berkontribusi,” ingat Gede Hendrawan yang juga terlibat dalam riset soal mikroplastik di laut dan dalam Pari Manta bersama peneliti lain sejak 2015.

(baca : Memprihatinkan Satwa Laut di Bali dan NTB Makin Beresiko Keracunan karena Ini)

Ketika musim kemarau, dengan riang buang sampah ke aliran air. Berharap hilang dari depan mata. Mengendap, kemudian saat musim hujan kita memanen lagi sampah itu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,