Di tengah maraknya warga kota yang membangun rumah berdinding semen, tak dinyana rumah berdinding anyaman bambu atau gedeg masih diminati di wilayah kota maupun sepanjang Kabupaten Ende. Banyak gedeg yang dicat sesuai selera pemilik sehingga memberi kesan menarik.
Dibandingkan rumah tembok, rumah berdinding gedeg memiliki keunggulan. Selain lebih murah dan ramah lingkungan, maka rumah gedeg akan lebih aman di wilayah yang rawan gempa, seperti lazimnya banyak terjadi di daerah Flores.
Keberadaan rumah gedeg pun tak lepas dari masih adanya usaha kerajinan tangan ini yang berlokasi di Dusun Woloare, Kelurahan Woworena, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende.
Baca juga: Cerita Bambu, Tanaman Kaya Manfaat yang Masih Dipandang Sebelah mata
Puluhan kepala keluarga yang menetap disini masih setia menekuni hidup menjadi pengrajin gedeg. Hampir di setiap rumah di dusun ini, masih mudah ditemukan pengrajin yang sibuk menganyam bambu di halaman rumah dan ruang tamu.
Salah satunya, Stefanus Sea (49) dan Yosefina Mina (60) pasangan suami isteri yang tetap setia menekuni pekerjaan ini. Saat ditemui Mongabay-Indonesia di rumahnya, Stefanus sedang membelah bambu wulung (Gigantochloa atroviolacea), istrinya asyik menganyam dan anak bungsunya mengiris bambu panjang yang baru dipotongnya.
“Kami sejak kecil sudah menganyam bambu. Pekerjaan ini diwariskan turun temurun. Memang tidak semua, tetapi setiap keluarga pasti ada yang jadi pengrajin gedeg,” ujarnya.
Stefanus dan pengrajin lainnya meyakini, warisan leluhur ini merupakan garis tangan, sebuah bekal hidup. Ibaratnya dengan hanya melihat dan belajar sebentar dari orangtuanya, mereka bisa terampil menganyam.
“Kami yakin selalu saja ada yang membeli karya kami, sebab tidak mungkin leluhur kami melihat kami hidup menderita, saat melanjutkan pekerjaan yang dulu juga menghidupi mereka,” kata Yosefina penuh keyakinan.
Gedeg Kaya Motif
Pengerjaan gedeg di Woloare masih dilakukan secara tradisional. Bambu panjang dipotong memakai parang sepanjang 1,5 dan 2 meter. Bambu diletakkan di tanah beralaskan kayu bulat lalu diiris.
Sesudahnya bambu tersebut dipisahkan satu persatu dan diiris hingga tipis agar mudah dianyam. Potongan bambu dijemur sehari hingga dua hari di terik matahari.
“Ada yang kulitnya dikupas dan ada yang tidak. Kalau memakai kulit lebih tahan lama. Tapi semua tergantung selera pembeli,” tutur Stefanus.
Baca juga: Bambu, Tanaman Sejuta Manfaat yang Sepi Peminat
Gedeg di Woloare terkenal dengan berbagai motifnya. Ada motif bunga sidhu (ketupat) berukuran besar dan kecil. Ada juga motif bintang, pala, bunga manusia atau manusia berpegangan tangan. Motif-motif tersebut melambangkan kebersamaan hidup komunitas warga dusun ini.
Markus Muri (64) yang menekuni usaha ini sejak tahun 1964 mengatakan, motif sidhu, bermakna kerukunan antar umat manusia tanpa pandang bulu. Penduduk kampung Woloare beragama Islam dan Katolik yang berasal dari satu etnis yakni etnis Ende. Motif sidhu melambangkan kebersamaan, ikatan kekerabatan diantara mereka.
Motif bunga bintang melambangkan pencerahan, memudahkan masyarakat kampung mereka mengais rejeki. Bisa juga diartikan sebagai daya tarik atau penglaris bagi usaha yang ditekuni.
Sedangkan motif bunga manusia bermakna keberadaban dimana setiap manusia saling menghargai tanpa melihat asal usul. Motif manusia berpegangan tangan melambangkan semangat atau pesan gotong royong, bergandengan tangan menyelesaikan setiap permasalahan.
“Semua motif memiliki makna atau pesan tersendiri namun pada hakikatnya semua itu melambangkan sebuah kebersamaan, senasib sependeritaan,” terangnya.
Selalu Dibeli
Walau tak mengiklankan langsung produknya, pembeli dari luar Ende seperti Mbay, Bajawa dan beberapa kabupaten lainnya di pulau Flores bahkan Timor dan Sumba selalu datang membeli kerajinan tangan ini.
Gedeg hasil produksi Woloare berukuran seragam dengan panjang 2 meter dan lebar 1,5 meter. Namun ada juga yang menganyam sesuai ukuran yang diminta pembeli dengan tambahan biaya. Untuk gedeg biasa, pengrajin melepasnya dengan harga 35 ribu rupiah sementara untuk gedeg bermotif dihargai 65 ribu rupiah.
“Untuk yang dua lapis atau dianyam dobel harganya sedikit lebih mahal yakni sekitar 60 ribu rupiah,” beber Markus.
Motif apapun bisa dengan mudah dikerjakan sebab para pengrajin mengaku sudah terbiasa menganyamnya. Dalam sehari rata-rata setiap pengrajin menghasilkan 2 sampai 3 lembar gedeg.
Sebagai gambaran, untuk sebuah rumah berukuran panjang 7 meter dan lebar 5 meter dibutuhkan 22 lembar gedeg sebagai dinding. Gedeg pun bisa dicat beraneka warna setelah dianyam atau di jadikan dinding. Agar lebih kuat dan terlihat rapih gedek dipaku di kayu dengan dilapisi bambu belah di sisi pinggirnya.
Hendrikus Reo, staf Dinas perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Ende yang bertindak selaku pendamping kelompok mengakui, untuk kabupaten Ende kerajinan gedeg hanya ada di Woloare dan ini sudah berlangsung sejak dahulu.
Untuk bantuan pemberdayaan menurutnya, kantornya menggandeng Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk memberikan pelatihan dan bantuan modal serta peralatan. Untuk varian produk, pengrajin pun kerap dilatih membuat tempat tisu, keranjang dan kurungan ayam.