Teater Potlot: Lahan Gambut Adalah Aku, Juga Dirimu!

 

 

Lahan gambut, rawa lebak adalah aku. Juga dirimu!” demikian kutipan dialog para gambut dalam pertunjukkan “Rawa Gambut” akan dipentaskan keliling Teater Potlot, Maret – Agustus 2017.

Naskah drama ini mengisahkan pergulatan kehidupan manusia yang berada di kawasan rawa gambut, di pesisir Pantai Timur Sumatera, Sumatera Selatan (Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, dan Musi Banyuasin).

“Gambut menjadi tokoh-tokoh metafora yang menjelaskan siapa dirinya. Gambut pun bercerita tentang masa lalu dan sejarah. Ia seakan berkabar dan mengirim pesan kepada semua orang, bagaimana berperilaku dan memperlakukan alam dan aneka hayati yang hidup di lahan basah yang subur dan makmur itu,” kata Conie Sema, sang sutradara, kepada Mongabay Indonesia, akhir pekan lalu.

Lanjutnya, gambut juga mengingatkan manusia yang mengelola dan memanfaatkan dirinya sebagai lahan berkebun dan berladang. “Aku adalah surga bagi dirimu. Aku adalah sungai dan kolam. Pohon-pohon dan kicau burung. Rumah bagi satwa dan beribu aneka hayati. Aku jutaan mata air dan ikan-ikan. Aku memberimu oksigen dan sumber mineral. Menjaga anak cucumu dari petaka dan kesengsaraan. Selalu berdoa hidupmu lebih lama dariku,” kata para gambut menjelaskan dirinya dalam cerita tersebut.

 

Kanal di lahan gambut. Beberapa tahun lalu kanan dan kiri kanal ini terbakar, saat ini mulai kembali hijau. Foto: Taufik Wijaya

 

Terkait dengan kerusakan dan kebakaran hebat lahan gambut di penjuru bumi ini, akibat kesalahan pengelolaan dan pemanfaatan oleh manusia, gambut pun berkata, “Di sini, semua orang menjadi kebun. Mereka menata dan memilih bibit akan ditanam. Lalu memagarinya dengan akal dan pikiran. Tanah menerima benih-benih itu, dan menjaganya. Merawatnya dengan kasih sayang. Hingga menghasilkan buah. Itulah hakikat berkebun. Semua bekerja. Semua mendapatkan hasil. Itulah hakikat keadilan bagi semua.”

Pada intinya, cerita itu menjelaskan gambut adalah cermin peradaban. Adalah pesan-pesan cinta yang tertulis dalam prasasti leluhur. Pesan menjaga bumi dan kehidupan. Pesan agar kita selamat dari bencana. Tetapi kenyataan hari ini, gambut tidak lagi menjadi surga bagi semua. Gambut ditimbun, dibakar, dan dihancurkan. Semua menjadi sepi dan asing. Burung-burung terbang tanpa fajar dan sungai. Ikan-ikan meninggalkan rawa tanpa kemarau. Dan keterasingan itu sendiri adalah jutaan kebun yang pelan-pelan datang tanpa suara dan kegaduhan.

“Itulah kenyataan yang diceritakan dalam drama ini. Sebuah kerja paradoks manusia dan ilmu pengetahuan mengelola alam jagat raya ini. Menggugah hati nurani dan cinta manusia tentang makna menghargai dan menjaga kelestarian alam. Mengingatkan arti dan hakikat keadilan dari jargon-jargon konservasi dan restorasi lingkungan,” ujar Conie di sela latihan di sanggar kebun Teater Potlot di Bandarlampung, Lampung.

“Kau tak usah sibuk mengurus kami. Kami bisa mengurus diri kami sendiri. Kau urus saja dirimu,” ujar para gambut yang diperankan sejumlah aktor.

 

Nelayan tradisional di Sungai Sebangau, Kalimantan Tengah, baik laki dan perempuan turun mencari ikan dengan cara memancing atau memasang perangkap ikan yang lestari. Foto: Taufik Wijaya

 

Hari Bumi 23 Maret 2017

Pertunjukan Teater Potlot ini akan dimulai dari Peringatan Hari Bumi di Palembang pada 23 Maret 2017. Peringatan Hari Bumi ini berdasarkan kelahiran Prasasti Talang Tuwo, sebuah prasasti ekologi milik Kerajaan Sriwijaya.

Selanjutnya, direncanakan Teater Potlot akan pentas di Jambi (Mei), Lampung (Juni), Riau (Juli) dan Sumatera Barat (Agustus).

Selain pertunjukan, kata Conie, juga dilakukan diskusi yang temanya seni dan lingkungan hidup. Sasaran pertunjukan dan diskusi selain pekerja seni, budaya, akademisi, penggiat lingkungan hidup, juga pelajar dan mahasiswa. “Kami berharap melalui seni pertunjukan teater, ke depan sebagian lahan gambut tetap terjaga, sementara yang dimanfaatkan dapat dikelola secara lestari, yang jauh dari berbagai persoalan yang menonjol saat ini seperti kebakaran,” katanya.

 

 

Teater Potlot berdiri tahun 1984 di Palembang. Teater ini bermula dari komunitas kecil di sebuah kampung. Pada perkembangannya Teater Potlot lebih cenderung bereksplorasi dengan gagasan yang berorientasi pada konsep-konsep “teater pembebasan”. Potlot menginginkan teater terbebas dari ruang teks yang menyandera kebebasan kreatif. Tetapi tetap bisa berkomunikasi dan terpahami oleh penonton, terutama pesan-pesan moral yang hendak disampaikan.

Salah satu yang menonjol teater, pada era Orde Baru atau tahun 1990-an, yakni pengusung gagasan “pembunuhan sutradara” yakni upaya pembongkaran feodalistik dunia teater sebagai seni pertunjukkan atau sistem pemerintahan di Indonesia. Beberapa produksinya seperti Wong-Wong, Bonseras (Boneka Setengah Waras), Sebungkus Deterjen Hari Ini, Muria Sandal Theklek di Dada, 50 Tahun Ikan Asin dalam Kaos Kaki,  Orang-Orang Barunta, Hutan Geribik, terakhir Majhi.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,