Mongabay.co.id

Nelayan Budidaya Kerapu di Kabupaten Pulau Taliabu Terkendala Pemasaran. Bagaimana Solusinya?

Ajun Ayoba (46) telah siap di perahu fiber ketika kami tiba di dermaga yang berada tepat di samping rumahnya. Setumpuk minuman botol telah disiapkan sebagai bekal kami di lokasi. Pagi itu, Rabu (08/02/2017) Ajun mengajak kami mengunjungi keramba ikan kerapu yang dikelola bersama kelompoknya di Pulau Sehu, Kecamatan Taliabu Barat, Kabupaten Pulau Taliabu, Maluku Utara.

Keramba milik Ajun adalah bantuan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sejak Desember 2015 silam. Selain keramba sebanyak 6 unit, Ajun dan kelompoknya juga mendapat bantuan benih ikan kerabu sebanyak 20 ribu ekor, yang dibeli dari Bali.

Tiba di tujuan kami mendapati keramba kerapu yang berbahan plastik. Terlihat sangat kokoh sehingga bisa dilewati hingga beberapa orang dewasa. Tali-tali jaring pembatas yang dipasang sekelilingnya terlihat sudah ditumbuhi lumut dan karang-karang kecil. Seluruhnya berjumlah 24 kotak, yang sebagian besar diisi dengan ikan kerapu cantang (Eniphelus sp.). Ada satu petak yang khusus untuk lobster. Ada juga kerapu tikus yang jumlahnya masih sedikit digabung dengan kerapu cantang.

“Kalau lobster tak bisa digabung dengan kerapu sehingga harus dipisah. Sementara kerapu tikus bisa dimana saja, hanya saja jumlahnya tak banyak karena memang bukan budidaya. Hasil tangkapan para nelayan yang kami tampung,” jelas Ajun.

 

 

Keramba ini dilengkapi sebuah rumah kecil yang terbuat dari kayu sebagai rumah tunggu, terintegrasi dengan keramba, yang hanya terpisah dengan sebuah jalan titian kecil yang terbuat dari papan.  Untuk penerangan mereka menggunakan panel listrik tenaga surya.

Tak jauh dari keramba itu juga ada keramba lain sebanyak 4 unit. Keramba itu sebenarnya diperuntukkan untuk Desa Limbo, desa sebelah, namun karena alasan keamanan akhirnya keramba tersebut dipindahkan tak jauh dari keramba milik Ajun dan kelompoknya.

Ajun lalu mencoba menunjukkan ikan-ikan kerapu cantang miliknya. Ukurannya beragam antara 0,7 ons – 2 kg. Umumnya ikan ini bergerombol dan berada di dasar. Hanya sesekali ikan-ikan itu berenang ke permukaan menyisakan cipratan besar.

Dengan asumsi setiap kotak diisi oleh 200-300 kg ikan, Ajun memperkirakan seluruh ikan yang ada di keramba itu memiliki mencapai 6 ton.

Keramba kerapu ini sendiri dikelola secara kolektif oleh seluruh anggota. Mereka secara bergantian menjaga tempat itu dan memberi pakan setiap hari. Untuk dua kotak akan dikelola oleh tiga orang nelayan. Pakannya berupa ikan-ikan kecil yang mudah diperoleh di perairan tersebut. Sekali sebulan keramba itu dibersihkan dari lumut dan karang-karang yang melekat.

Pemeliharaan tempat itu sebenarnya tak sulit dan tak membutuhkan waktu khusus. Nelayan bisa ke tempat itu setelah melaut mencari ikan lain. Apalagi jaraknya dengan daratan tak begitu jauh. Hanya saja dengan tak adanya pembeli membuat sebagian anggota kelompok frustasi dan satu persatu mulai menghilang.

“Kalau di awal-awal tempat ini sangat ramai. Banyak yang antusias terlibat. Cuma sekarang sudah agak jarang, apalagi dalam sebulan terakhir, tinggal belasan orang yang benar-benar aktif.”

 

Jenis ikan yang dibudidayakan di keramba di Pulau Sehu, Kepulauan Talibu, Maluku Utara ini adalah kerapu cantang. Setelah setahun dari masa penaburan benih kini mereka siap panen dengan produksi diperkirakan mencapai 6 ton. Sayangnya produksi yang banyak tidak dibarengi dengan pemasaran yang jelas. Foto: Wahyu Chandra

 

Menurut Ajun, meski prospektif usaha budidaya kerapu ini terkendala dalam hal pemasaran. Padahal, dalam hitung-hitungan di atas kertas usaha ini bisa menghasilkan keuntungan ratusan juta sekali panen. Dengan harga sekarang sekitar Rp70 ribu per kg, maka dengan produksi 6 ton akan bisa dihasilkan penjualan mencapai Rp420 juta.

“Ini yang tak diantisipasi dari awal. Seharusnya ketika budidaya ini dikenalkan pada kami sudah ada kepastian akan dijual kemana. Sekarang kita bingung ikan-ikan ini akan dikemanakan. Banyak nelayan merasa rugi waktu dan tenaga, sudah capek-capek dikelola toh hasilnya tak bisa dijual,” ungkap Ajun.

Ajun kemudian mengaitkan sulitnya pasar ini dengan adanya kebijakan pemerintah akan larangan  masuknya kapal asing. Meski kebijakan ini menguntungkan nelayan karena mengurangi illegal fishing di kawasan tersebut, namun di sisi lain nelayan juga kehilangan pembeli potensial hasil tangkapan dan budidaya mereka.

“Kita jadi dilematis juga. Di satu sisi senang karena tak ada lagi pencurian ikan di kawasan ini. Dulu kan kita dapat gangguan dengan adanya kapal-kapal asing itu. Namun di saat yang sama kita bingung menjual ikan hasil tangkapan kemana, karena memang dulunya kami jual ikan kepada mereka.”

Menurut Musriani, Penyuluh Pendamping Program Kabupaten Pulau Taliabu, masalah sulitnya pemasaran ini sudah ia sampaikan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebagai bagian dari laporan rutin, namun hingga saat ini belum ada respons.

“Kemarin juga ada kunjungan dari Bakorwil Provinsi, kami sampaikan masalahnya pada pemasaran, namun hingga saat ini belum ada jalan keluar penyelesaian masalah ini. Kami katakan dalam hal pengelolaan tak ada masalah karena nelayan siap menyediakan pakannya.”

Musriani mengakui pernah mencoba mencari investor dari daerah lain, namun keluhan utama pada transportasi yang sulit dan jauh sehingga akan berdampak pada pembengkakan biaya transportasi.

 

Pengelolaan keramba di Pulau Sehu, Kepulauan Talibu, Maluku Utara ini dipercayakan kepada kelompok nelayan yang dikordinir oleh Ajun Ayoba. Mereka mendapat pendampingan penyuluh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kab Pulau Taliabu (Foto: Wahyu Chandra).

 

Belum adanya pasar bagi kerapu ini dikhawatirkan bisa berdampak pada keberlanjutan pengelolaan keramba ini. Termasuk rencana pembuatan koperasi yang rencana pembiayaannya akan ditopang oleh hasil penjualan kerapu ini nantinya.

“Kita sudah rencana dari awal nantinya dari keuntungan penjualan kerapu ini akan disisihkan untuk pembentukan koperasi. Meskipun pembiayaan koperasi ini bisa saja menggunakan sumber pendanaan lain namun tidak ada gunanya juga jika belum ada hasil yang terlihat dari budidaya ini.”

Musriani juga berharap kebijakan pelarangan kapal asing dibarengi dengan solusi bagi nelayan.

“Nelayan kan sudah sangat antusias dengan adanya program ini. Jadi kalau bisa ada solusi dari kementerian memasarkan hasil produk mereka.”

Menurut Ismail Tiwu, Kepala Bidang Perikanan Tangkap, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pulau Taliabu, dinas sendiri sebenarnya sudah berupaya untuk mendapatkan pasar bagi ikan-ikan hidup tersebut, namun selalu terkendala pada akses dan transportasi yang terbatas menuju Taliabu, yang hanya bisa diakses melalui laut.

“Kita masih terus berupaya untuk mengajak investor ke Taliabu cuma memang selalu ada kekhawatiran karena akses yang jauh dengan transportasi terbatas,” katanya.

Ismail optimis masalah pemasaran ini bisa segera diselesaikan seiring dengan semakin membaiknya akses dan komunikasi.

Upaya lain yang kini dilakukan DKP Pulau Taliabu adalah membangun kembali Pusat Pelelangan Ikan (PPI) yang diharapkan menjadi pusat aktivitas nelayan. Selama ini nelayan menjual hasil tangkapannya di luar Taliabu, seperti Banggai dan Bitung.

Di PPI ini selain menjadi pusat transaksi juga akan dibangun dermaga, ruang produksi es balok dan perkampungan nelayan.

“PPI nya akan segera dioperasikan beberapa bulan mendatang, sementara untuk perkampungan nelayan masih sifatnya usulan meski lahannya sudah tersedia,” ujarnya.

 

Exit mobile version