Madu Hutan Asli Danau Sentarum Memang Istimewa

 

 

Iringan lima speedboat memecah keheningan pagi di bagian paling hulu Sungai Kapuas. Sepanjang mata memandang, warna merah mendominasi permukaan sungai. Warna yang kontras dengan hijaunya pepohonan di sisi kiri kanannya. “Bunga putat (Barringtonia acutangula) bersemi. Bunga ini berasal dari pohon di sepanjang sungai ini,” jelas Nandang Sunarya, staf Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan.

Tak berapa lama, speedboat kami memasuki kawasan danau. Beberapa burung kuntul besar (Egretta alba) terlihat terbang berpencar. Burung ini memang hidup di habitat lahan basah. Makanannya berupa ikan, katak, dan invertebrata. Di Danau Sentarum, pakan burung jenis ini masih banyak. Sebuah kawasan yang memiliki fungsi hidrologi penting, kantung air yang menyerap sekitar 25 persen air Sungai Kapuas saat musim hujan.

Rombongan akhirnya tiba di Dusun Batu Rawa, Desa Nanga Leboyan, Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Di dusun ini, terdapat sekelompok petani madu alami. Mereka menamakannya Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) yang terbentuk 2006.

Periau adalah istilah untuk sekelompok petani madu tradisional yang mengelola madu hutan dan kawasannya, dalam bahasa setempat. Asosiasi ini terdiri lima kelompok petani madu, dengan anggota 89 orang. Luas periau saat itu adalah 7.300 hektare.

Petani madu tidak hanya memanfaatkan sarang lebah dari pohon. Mereka juga membuat tikung sebagai sarang lebahnya. Tikung adalah istilah untuk dahan buatan yang dipasang di pohon-pohon agar lebah bersarang di sana. Jumlah tikung milik APDS sebanyak 7.600 buah.

Saat musim panen 2007, APDS berhasil menjual 4,3 ton madu hutan. Harganya Rp28 ribu per kilogram di gudang, sedangkan harga anggota Rp25 ribu per kilogram. Pembelinya Dian Niaga Jakarta dan Riak Bumi, sebagai mitra Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI). Hasil panen tersebut memberikan pemasukan Rp107, 5 juta bagi anggota APDS.

 

Salah satu kegiatan Festival Danau Sentarum. Foto: Ridzki R. Sigit (Mongabay.co.id/NTFP-EP)

 

Thomas Irawan Sihombing, koordinator pengembangan madu hutan AOI-TFCA Kalimantan mengatakan, pengembangan pengelolaan madu di Danau Sentarum sejak 1995. Ketika itu, Wetland Indonesia mengirimkan beberapa petani madu ke Vietnam. Di sana mereka belajar bagaimana melakukan panen ideal, guna menghasilkan madu bermutu tinggi. “Dengan teknik panen baru, madu yang dihasilan lebih bersih dan bermutu, serta mortalitas lebah berkurang. Dengan teknik ini, hasil madu per koloni bertambah,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Patut dicatat, kebakaran lahan hebat 1997, menyebabkan tidak ada lebah madu hutan (Apis dorsata) di Danau Sentarum tiga tahun lamanya. Hingga pada tahun 2000, lebah mulai berdatangan seiring pulihnya kawasan beserta upaya penanaman kembali lokasi yang terbakar.

Teknik pemanenan madu lestari pun berkembang di kalangan warga. Mereka tidak lagi memanen malam hari, karena menyebabkan tingginya kematian lebah. Pisau untuk memanen juga tidak mengandung unsur logam, alias stailess antikarat. “Teknik pemotongan sarang lebar juga tidak sampai habis, dari bagian kepala madu sarang. Bagian sarang yang berisi anak lebah tidak ikut dipotong karena dalam tiga minggu akan tumbuh kembali.”

 

Produksi madu dari Danau Sentarum. Foto: Putri Hadrian

 

Istimewa

Basri Wadi, Presiden Asosiasi Periau Danau Sentarum, yang dikenal dengan sebutan Uge (ujung gadang, anak lelaki tertua) menuturkan, mengambil madu merupakan pekerjaan turun temurun masyarakat di Danau (Sentarum). “Sebagai Ketua Periau, saya yang memeriksa madu dan menyetujui hasilnya. Panen pun dilakukan serentak,” tuturnya.

Untuk menghasilkan madu berkualitas, ada standar prosedurnya jug. “Kita harus menggunakan sarung tangan karet, wadah pengangkut tertutup, saringan serta pisau pemotong stainless,” kata Muhammad Erwanto, pengurus APDS lainnya.

 

Ada 21 ribu sarang lebah yang dipanen oleh masyarakat di seputaran Danau Sentarum. Foto: Putri Hadrian

 

Petani madu Danau Sentarum juga istimewa. Mereka menggunakan dahan buatan untuk tempat bersarang lebah. Uge menjelaskan, ada tiga jenis tempat lebah bersarang: di lalau atau pohon tinggi, di repak atau pohon rendah, serta menggunakan tikung. Tikung ini yang menjadikan petani madu danau sentarum istimewa yaitu dahan buatan dari kayu tembesu yang sudah mati. Harus menggunakan kayu mati, karena tidak diperkenankan menebang pohon.

Selain itu, lebah tidak mau hinggap di dahan bergetah. Ukuran tikung, panjang 1,5 –  2 meter, lebar sekitar 20 sentimeter, dan tebal 3 – 5 sentimeter. Bentuknya bulat di bagian bawah, cekung di atas serta ujungnya membentuk U. Desain ini dimaksudkan untuk membuat kepala madu yang besar. Tikung harus diletakkan di dahan pohon yang merupakan pakan lebah madu.

“Sebelum ada APDS, tahun 2005 harganya hanya Rp20 hingga Rp25 ribu. Kini mencapai Rp90 ribu per kilogram. Prestasi tertinggi pada 2012, produksi mencapai 108 ton,” papar Uge.

 

Tipe ekosistem Danau Sentarum. Sumber: danau.limnologi.lipi.go.id

 

Kearifan lokal

Kawasan Danau Sentarum yang asri menjadi rusak sejak aktivitas pembalakan terjadi mulai tahun 1970. Kebakaran juga terjadi. Asap dan hilangnya pohon pakan lebah madu hutan, menjadi penyebab lebah tak lagi bersarang di kawasan tersebut. “Ratusan petani madu hutan, kini menjadi penjaga agar tidak terjadi kebakaran hutan,” lanjut Thomas.

Mereka membangun mekanisme penanganan dini dan pasca-kebakaran. Selama 2015, hampir tidak ada titik api yang terpantau citra satelit di kawasan Danau Sentarum. Satu dua titik api, berhasil dipadamkan dengan segera. Kini terdapat empat asosiasi periau di Kapuas Hulu yang membentuk sentra madu hutan Kapuas Hulu yaitu Asosiasi Petikung Bunut Singkar, Asosiasi Periau Muara Belitung, Asosiasi Periau Mitra Penepian, dan APDS.

“Keempat asosiasi ini melakukan penanaman lebih dari 30 ribu bibit tanaman pakan lebah, di areal yang telah terbakar. Bibit yang ditanam adalah pohon putat, taon, masong, tantang, ubah dan lainnya,” ujarnya.

Mahyuni, salah seorang pengurus sentra madu mengatakan, koperasi hanya mampu membeli 25 persen dari petani madu. Padahal permintaan pasar sangat tinggi. “Untuk pembeli di Kalimantan Barat saja belum semua terpenuhi,” katanya.

Produksi madu hutan Kapuas Hulu pada panen raya berkisar 108 ton setahun dengan jumlah sarang koloni lebah yang dipanen 21 ribu sarang. Dari jumlah itu, yang dipanen lestari hanya 2.800 sarang, ada 18.200 sarang yang musnah. “Koloni lebah memerlukan waktu untuk memulihkan diri. Bila menggunakan teknik panen lestari, ratu lebah dan anak-anaknya tidak akan mati, sarangnya juga tidak hancur,” jelas Thomas.

 

Tikung atau sarang lebah buatan petani. Sebelum dipasang, kayu pilihan itu, cerinap, tembesu, medang, diolah menyerupai papan agak melengkung selebar 18 sentimeter. Panjang tikung rata-rata dua meter. Foto: Edhu/WWF-Indonesia Panda Click

 

Pada Mei 2016, Bupati Kapuas Hulu AM Nasir, meresmikan Rumah Workshop Madu Hutan di Danau Sentarum. Rumah yang dibangun sebagai sumber informasi dan tahap awal pengolahan madu hutan organik dalam kemasan. “Rumah workshop dibangun dari bantuan Taman Nasional Betung Kerihun – Danau Sentarum. Perlengkapannya dibantu dari dana hibah TFCA,” jelas Uge.

Saat ini warga masih membutuhkan bantuan peralatan untuk pemadaman dan pemantauan kebakaran hutan dan lahan. “Begitu juga dengan dana pinjaman modal untuk koperasi, serta pengolahan turunan madu, guna meningkatkan pendapatan warga,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,