Mongabay Travel: Berteman Sepi di Pulau Cantik Popaya

 

 

Sabtu siang, 18 Februari 2017. Saya menuju bangunan bertuliskan Kantor Resort Pulau Mas Popaya Raja. Letaknya di Desa Dunu, Kecamatan Monano, Kabupaten Gorontalo Utara, Gorontalo. Kantor ini milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Wilayah II Sulawesi Utara.

Di balik kantor itu, laut Sulawesi mengintip disela pepohonan nyiur. Di hamparan pasir putih, perahu-perahu nelayan tertambat. Melego jangkar, rehat sejenak, dan kembali berlayar. Di seberang, pulau-pulau tak berpenghuni berdiam diri. Ditemani angin, ombak, dan burung-burung laut. Harmoni itu berpadu dalam kesunyian.

Suara pintu dibuka terdengar dari rumah di samping kantor BKSDA. Seorang lelaki keluar. Tubuhnya tinggi kurus, kulitnya sedikit gelap, berkaos dalam, dan hanya mengenakan sarung. Senyumnya merekah. Ia menjabat tangan saya. Kami pernah bertemu sebelumnya.

“Mau menginap di pulau?” tanya lelaki itu.

Namanya Ismail Kulupani. Usianya 57 tahun. Ia seorang jagawana. Tiga pulau cantik yang berdiam diri di laut Sulawesi itu ada dalam pengawasannya. Seorang diri ia mengayuh perahu dan berpatroli. Siang, pun malam.

“Iya, Pak Ismail. Saya minta izin ingin menginap di Pulau Popaya.”

Untuk menempuh Pulau Popaya dari bibir pantai, hanya sekira 20 menit. Luas pulaunya 2,42 hektare dan jika berkeliling panjangnya sekitar 621,44 meter. Di depan Pulau Popaya ada Pulau Raja. Ini yang paling besar dari ketiganya; panjang 5.677,51 meter dengan luas 144,95 hektare. Sementara Pulau Mas adalah yang terkecil dengan luas 0,75 hektare dan panjang keliling 397,6 meter. Total luas yang harus dijaga Ismail Kulupani seorang diri adalah 147,94 hektare.

Ketiga pulau itu merupakan wilayah konservasi. Jumlah luasan itu ditetapkan seiring adanya rencana tata ruang dan wilayah Provinsi Gorontalo, yang melahirkan surat keputusan dari Kementerian Kehutanan (saat itu) Nomor 325 tahun 2010 tentang Cagar Alam Pulau Mas, Popaya, dan Raja.

Sejatinya, penetapan cagar alam sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Ceritanya bermula ketika Pulau Raja, dikuasai seorang raja perempuan bernama Malio yang memerintah Kerajaan Kwandang. Pada 1929, seorang Bosch Arsshetek (pegawai zaman Belanda) Gorontalo, A Uno, mengadakan kunjungan kerja sekaligus penelitian di pulau itu.

Kunjungan tersebut menghasilkan rekomendasi kepada pemerintahan Belanda agar Pulau Raja dan sekitarnya ditetapkan sebagai kawasan cagar alam. Pemerintah Belanda melalui sang Ratu Wilhelmina, menetapkan ketiga pulau itu sebagai kawasan konservasi melalui surat keputusan penunjukan oleh Belanda Nomor BG.29. Stbl.629, tanggaal 17 Oktober 1939.

“Sejak zaman Belanda sudah ada yang menjaga Pulau Mas, Popaya, dan Raja. Pada tahun 1971, saya sempat membantu penjaga pulau ini yang bernama Rudin Abusina. Tahun 1987, saya diangkat jadi tenaga honor, kemudian jadi PNS Polisi Kehutanan 1993,” kata Ismail.

Kurang lebih 30 tahun, Ismail Kulupani menjaga tiga pulau tersebut. Kini, ia memasuki masa pensiun sebagai abdi negara. Tepatnya, Mei 2017 nanti, ia tidak akan lagi secara resmi berstatus jagawana. Meski demikian, Ismail Kulupani bertekat tetap menjaga.

 

Penyu sisik yang terdapat juga di sekitar perairan Pulau Popaya. Sumber: Wikipedia

 

Bom Ikan

Terumbu karang di sekitar Pulau Mas Popaya dan Raja sangat bagus sehingga penyu-penyu sering bermain. Namun dibeberapa titik, sebagian besar terumbu karangnya hancur. Pemboman ikan yang dilakukan nelayan setempat, penyebabnya.

“Harus diakui banyak pelaku di sini. Terumbu karang rusak. Saya sendiri yang menjaga,” kata Ismail.

Kejadian itu beberapa tahun lalu, namun dampak kerusakannya tetap terasa hingga sekarang. Saat ini sudah tak ada lagi nelayan yang melakukan pengboman, terlebih ada patroli dari Polairud. Warga juga sudah menyadari pentingnya menjaga terumbu karang.

“Terumbu karang yang masih bagus itu di depan Pulau Raja,” kata Ismail.

Topografi Pulau Raja memang berbukit dengan tutupan pohon sangat rapat. Di depannya, terumbu karang indah membentang. Meski demikian, pulau ini pernah mengalami musibah, di penghujung 1990-an. Musim kemarau panjang melanda. Bekas nelayan membuat perapian di pinggiran pantai memercik ke dedaunan kering dan ranting hingga menyebabkan kebakaran hebat. Kemampuan terbaik sudah dikerahkan, namun api menyala hingga dua minggu lamanya. Ismail Kulupani hanya bisa terdiam. Si jago merah baru bisa padam ketika hujan turun.

“Kalau tidak dijaga, ancamannya selain pemboman ikan, juga kebakaran saat kemarau.”

Cagar Alam Mas Popaya Raja ini memiliki 27 jenis burung dan 20 jenis tumbuhan. Keberadaan tiga pulau ini memang sangat menarik perhatian. Sepanjang 2016, hampir setiap bulannya selalu ada yang mengurus izin masuk untuk menginap di Pulau Raja atau Pulau Popaya. Tujuan mereka hanya ingin menyepi di pulau tersebut.

 

Jejak terumbu karang yang rusak akibat bom ikan di Pulau Popaya masih terlihat. Foto: Christopel Paino

 

Jadi TWA

Keberadaan tiga pulau ini sedang diwacanakan penurunan status. Dari Cagar Alam menjadi Taman Wisata Alam (TWA). Kepala BKSDA Seksi Konservasi Wilayah II Sulawesi Utara di Gorontalo, Syamsudin Hadju, mengatakan, wacana penurunan status tersebut dilakukan mengingat tiga pulau itu sangat cocok untuk dijadikan kawasan pelestarian alam. Terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.

“Sudah ada juga surat dari Bupati Kabupaten Gorontalo Utara ke BKSDA. Harapannya, ini akan bagus buat destinasi wisata ke depan.”

Di Kabupaten Gorontalo Utara sendiri ada beberapa titik destinasi wisata, satu yang terkenal adalah Pulau Saronde. Paket wisata dari Saronde menuju Pulau Mas Popaya dan Raja ini menjadi tawaran ke pelancong.

Ketika saya meminta tanggapan Ismail Kulupani terkait wacana alih status itu, ia terdiam. Menurutnya, ide Taman Wisata Alam sangat bagus. Apalagi masih dalam kendali pengawasan BKSDA. Namun, akan berbahaya bagi penyu-penyu yang datang untuk bertelur di Pulau Popaya. Ia merasa setuju jika pulau tersebut diperuntukan wisata khusus di Pulau Raja.

 

Penyu hijau (Chelonia mydas). Penyu dapat bermigrasi sejauh 3.000 kilometer dalam rentang waktu 58 – 73 hari. Foto: Wisuda

 

Tempat menyepi

“Januari lalu ada bule menginap di Pulau Raja,” kata Ismail Kulupani.

Bule yang ia maksud tentu saja orang berkulit putih yang datang dari Eropa, Amerika, dan Australia. Lama mereka menginap bervariasi. Umumnya, seminggu hingga sebulan. Beberapa tahun belakangan, pelancong mancanegara kerap menjadikan Pulau Popaya dan Raja sebagai tempat favorit menyepi, jauh dari kebisingan kota.

“Bahkan, bule-bule itu tidak ingin dibawakan makanan,” ungkapnya.

Menjelang senja, saya menuju Pulau Popaya menggunakan perahu ketinting milik seorang nelayan. Perahu menembus ombak. Sebagian langit mendung. Pasir putih Pulau Popaya seolah memanggil. Tempat inilah yang menjadi favorit penyu-penyu untuk bertelur. Tercatat dari tujuh jenis penyu yang ada, empat jenisnya menjadikan ketiga pulau itu, terutama Popaya, sebagai habitat mereka bertelur, yakni penyu sisik (Eretmochelys imbricate), penyu belimbing (Dermochelys cariacea), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu hijau (Chelonia mydas).

Keberadaan penyu di Pulau Popaya relatif terjaga. Penangkarannya kini sudah dibuat. Semua itu tidak lepas dari sentuhan Ismail Kulupani. Meski demikian, upaya penyelamatan habitat penyu di sekitar cagar alam tersebut baru ia lakukan di awal  2000-an. Berbekal buku, ia belajar secara otodidak membuat penangkaran sendiri, merawat tukik atau anak-anak penyu, dan memberikan makan hingga tukik-tukik itu berusia lima sampai enam bulan, kemudian dilepasliarkan.

“Saya memberikan makan tukik itu dari uang pribadi. Jika uang habis, maka saya beri makanan seperti remahan roti atau nasi,” kata Ismail.

Sayang, musim ombak melanda Pulau Popaya. Ketika kaki saya menginjakkan pasir putihnya, sampah-sampah plastik berserakan. Pulau cantik itu menanggung beban tingkah laku dan pola hidup orang darat membuang sampah sembarangan. Potongan-potongan kayu juga banyak tersebar di pesisirnya.

Saya membangun tenda, dan mengumpulkan kayu bakar untuk perapian. Di sebelah barat, langit tampak tak jingga lagi. Matahari tenggelam di balik cakrawala. Malam perlahan, mengintip. Burung-burung camar bergegas pulang dan hinggap di pohon cemara. Suara binatang malam mulai terdengar. Gelombang laut terus bersahutan.

Di hadapan saya bayangan Pulau Raja membentang. Jaraknya memang tak begitu jauh dari Pulau Popaya. Kesunyian pulau malam itu menciptakan simfoni. Suasana seperti inilah yang menjadi incaran para pelancong, terutama dari luar negeri, yang ingin menyepi.

 

Pulau Raja. Pulau ini menjadi tujuan wisatawan juga sebagai tempat menyepi dari bisingnya kota. Foto: Christopel Paino

 

Patroli penyu

Arloji menunjukan pukul 08.00 Wita malam. Suara perahu terdengar. Cahaya senter berkilatan dikegelapan. Seorang lelaki turun dan berjalan ke arah tenda dan api unggun yang saya buat. Namanya Anis Kulupani, usianya 39 tahun. Ia keponakan Ismail Kulupani. Kelak jika sang jagawana pensiun, Anis telah disiapkan sebagai penerusnya.

“Saya mau patroli keliling pulau. Jam 08.00 sampai 10.00 malam begini biasanya penyu bertelur,” katanya.

Pada patroli yang dilakukan 12 Februari 2017, Anis berhasil mendapatkan 116 telur penyu. Ia membawanya ke penangkaran yang ada di kampung. Jika tidak, maka ia kalah cepat dengan predator seperti biawak, atau manusia yang suka berburu telur dan daging penyu.

Kami menyusuri pasir pantai dan berkeliling pulau di kegelapan. Anis sesekali berhenti dan memperhatikan sesuatu. Kemudian melanjutkan lagi perjalanan. Senter kecil melekat di kepalanya. Sesekali, parang di tangan kanannya menerabas ranting-ranting pohon tua yang tumbang. Dua kali kami patroli hingga pukul 10.00 malam, tak juga ditemukan penyu dan telurnya. Anis menduga, gelombang sedang tinggi

“Musim penyu bertelur itu Januari sampai Maret. Kalau ombaknya teduh, pasti penyu datang,” ujar Anis.

Keesokan paginya, gerimis turun. Saya coba snorkeling. Warna warni ikan karang menghiasi terumbu. Saya berharap bertemu penyu, namun tak tak ada yang muncul. Bekas-bekas pemboman ikan menyisakan kematian karang. Selain itu, ada beberapa kantong plastik yang tersangkut.

Menjelang petang, saya berkemas meninggalkan Pulau Popaya. Anis menjemput menggunakan perahu ketinting. Perlahan, tiga pulau itu menghilang dari pandangan saya, hilang dalam kesunyiannya masing-masing.

“Maret silakan menginap lagi di pulau ini. Itu bulan terakhir penyu bertelur dan ombaknya telah reda,” papar Anis.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,