Bagaimana Mencegah Ikan Asing Berbahaya Masuk ke Perairan Indonesia?

Tak hanya bermanfaat buat kesehatan, ikan juga memiliki kandungan berbahaya jika dikonsumsi oleh tubuh manusia. Kemudian, ada juga ikan yang berbahaya karena mengancam ekosistem di laut. Tapi, kandungan berbeda tersebut, ternyata hanya dimiliki sejumlah spesies saja.

Untuk yang disebut terakhir, Pemerintah melarang siapapun untuk mengirimnya ke luar negeri untuk diperdagangkan. Bahkan, kalaupun ditemukan transaksi, maka ikan akan disita dan dimusnahkan.

Itu pula yang terjadi saat Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) menemukan ada rencana pengiriman ikan berbahaya dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta ke Banjarmasin pada medio 2016 lalu. Saat terdeteksi oleh alat, ikan-ikan tersebut langsung ditahan dan terlarang untuk dibawa keluar.

Tak tanggung-tanggung, ikan yang berhasil diamankan saat itu, jumlahnya mencapai 6 kilogram, yang terdiri dari 1 ekor ikan ikan Arapaima gigas seberat 25 kg; 15 ekor ikan piranha; dan 20 ekor ikan Alligator gar (Atractosteus Spatula).

 

 

Kepala BKIPM Rina di Jakarta, awal pekan ini mengatakan, Ikan Arapaima gigas, alligator dan piranha merupakan ikan yang membahayakan sumber daya hayati ikan di Indonesia. Jika dibiarkan bebas di perairan lepas, dia mengkhawatirkan ikan-ikan tersebut akan memakan sumber makanan dengan sangat cepat dan dalam jumlah yang banyak.

Rina mencontohkan, ikan yang dinilai berbahaya bagi ekosistem laut, adalah ikan alligator. Ikan tersebut bisa bertahan tanpa makanan selama beberapa hari, namun bila di suatu tempat tersedia banyak makanan, dia akan makan sebanyak-banyaknya.

“Dengan porsi makan yang sangat besar, cepat berkembang biak dan bisa mencapai usia yang cukup panjang, dapat dipastikan keberadaan ikan aligator akan mengancam keberlangsungan sumber daya ikan kita. Belum lagi ikan arapaima dan piranha,” jelas dia.

Karena itu, Rina menyebut, BKIPM memutuskan untuk memusnahkan ikan-ikan tersebut di Tangerang, Banten. Pemusnahan dilakukan dengan cara dibakar di incinerator Instalasi Karantina Hewan Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta.

 

Ikan alligator gar di akuarium utama CA Academy. Foto : Rhett Butler

 

Kepala BKIPM Jakarta I Sitti Chadidjah dalam kesempatan yang sama menerangkan, ikan-ikan invasif yang dimusnahkan tersebut merupakan hasil penahanan BKIPM Jakarta I pada 12 Juni 2016 dengan tujuan Banjarmasin.

Menurut Sitti, sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pemasukan Jenis Ikan Berbahaya Dari Luar Negeri Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, ikan-ikan yang dimusnahkan tersebut tergolong jenis ikan yang berbahaya.

“Sehingga perlu dilakukan tindakan penahanan oleh petugas BKIPM Jakarta I,” tutur dia.

 

Ancaman Ikan Asing dan Hama Penyakit Ikan

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak lama berupaya mengendalikan penyebaran hama penyakit ikan, pengendalian keamanan hayati, pengendalian komoditi yang dilarang atau dibatasi, serta pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan.

Penjagaan itu, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dimaksudkan untuk menjamin keberlanjutan pembangunan menuju kesejahteraan masyarakat khususnya para nelayan dan petani ikan. Karena itu, menurut dia, perlu kehati-hatian dalam rencana pemasukan jenis ikan baru ke suatu negara atau perairan.

“Kehadiran spesies ikan baru, yang dikenal sebagai Species Asing Invasif (SAI) mendesak populasi ikan asli atau endemik, baik melalui pemangsaan, kompetisi makanan, maupun keunggulan reproduksinya,” ujar dia

Karena dominasi yang sangat kuat, Susi mengatakan, ikan-ikan asli menjadi semakin sulit dan terancam hidupnya dan pada akhirnya tersisihkan. Kemudian, ikan-ikan tersebut akan digantikan oleh ikan asing introduksi yang berbahaya.

Susi mengungkapkan, faktor kehati-hatian menjadi faktor utama yang harus diperhatikan dalam rencana pemasukan atau introduksi jenis ikan baru ke suatu negara atau perairan. Meskipun, pada tingkat tertentu, introduksi ikan baru memang terbukti mampu meningkatkan produksi perikanan.

“Namun disisi lain, upaya tersebut  telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan dan atau spesies asli di suatu negara atau wilayah,” tegas dia.

 

Ikan piranha dengan giginya yang runcing. Foto : Tiffany Roufs

 

Adapun, hingga saat ini, di Indonesia sudah terjadi beberapa kali introduksi ikan asing di perairan. Dari data yang dirilis BKIPM, kasus-kasus tersebut menyebar di sejumlah daerah, dengan rincian:

  1. Ikan mujair di Waduk Selorejo Jawa Timur,
  2. Ikan nila di Danau Laut Tawar, Aceh,
  3. Ikan toman di Bangka,
  4. Ikan louhan di Waduk Cirata, dan waduk Sempor Jawa Tengah,
  5. Ikan red devil di Waduk Sermo, Yogyakarta, Waduk Cirata dan Waduk Kedungombo,
  6. Ikan oscar dan golsom di Waduk Jatiluhur,
  7. Lobster air tawar di danau Maninjau, dan
  8. Ikan mas di danau Ayamaru, Papua.

Ikan-ikan asing tersebut, biasanya selalu menjadi invasif di tempat tinggalnya yang baru. Di beberapa perairan, populasi jenis ikan asli/endemik mengalami penurunan setelah ikan asing masuk. Populasi tersebut contohnya adalah ikan depik (Rasbora tawarensis) di danau Laut Tawar Aceh, ikan belida dan tapah di Bangka, ikan wader dan ikan betik di Waduk Sempor Jawa Tengah dan ikan pelangi (Melatonia ayamaruensis) di danau Ayamaru, Papua.

 

Ikan red bellied piranha. Foto : Rhett Butler

 

BKIPM menyebutkan, kejadian lebih parah terjadi pada ikan moncong bebek (Adrianichthys kruyti) dan Xenopoecilus poiptae yang asli Danau Poso (Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah), dan ikan X Surasinorum yang asli Danau Lindu (Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah), yang saat ini telah punah akibat introduksi  ikan mujair di kedua danau tersebut.

Selain menyebabkan kepunahan spesies ikan, BKIPM mencatat, masuknya ikan asing juga membawa jenis-jenis penyakit asing eksotik yang ganas. Tercatat, ada sekitar 13 jenis penyakit asing  yang masuk dan menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar antara lain Ichthyophtirius multifiliis, Lernaea cyprinacea, White Spot Syndrome Virus (WSSV), Viral Nervous Necrosis Virus (VNNV), Koi herpesvirus (KHV), dan Taura Syndrome Virus (TSV).

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,