Setelah berusaha ‘berjuang’ melawan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan melaju ke Mahkamah Agung, akhirnya kasasi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, kandas juga. Putusan ini berarti pemerintah wajib membuka dokumen-dokumen perizinan hak guna usaha perkebunan sawit di Kalimantan. Gugatan Forest Watch Indonesia (FWI) berbuah manis.
”Kami sangat mengapresiasi putusan MA. Artinya hukum masih berpihak pada kepentingan publik,” kata Linda Rosalina, Pengkampanye FWI kepada Mongabay, awal pekan ini.
Dia berharap, KATR/BPN dapat bekerjasama dan menaati putusan MA tertanggal 6 Maret 2017 dengan nomor register 121 K/TUN/2017.
Baca juga: Kala Pengadilan Putuskan HGU Sawit Terbuka buat Publik
Permohonan keterbukaan dokumen ini sejak 2015. Proses panjang ini, katanya, bukan perkara mudah. Mulai tingkatan Komisi Informasi Publik, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, hingga MA.
”Ini momentum KATR/BPN menunjukkan akuntabilitas dan kredibilitas sebagai badan publik,” katanya.
Dia bilang, keterbukaan informasi dokumen HGU ini penting untuk penyelesaian bagi konflik tenurial yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan. ”Kalau tak dibuka, konflik akan terus berkepanjangan. Dengan HGU terbuka bisa partisipatif menjaga keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam dan kesejahteraan rakyat.”
Suyus Windayana, Kepala PPID KATR/BPN mengatakan, masih menunggu putusan dari MA. Mereka akan mendiskusikan lebih lanjut atas hasil putusan ini.
“Saya akan diskusikan dahulu dengan Sekjen, Dirjen Penanganan Sengketa dan Pak Menteri untuk tindak lanjut hasil putusan.”
Belum tuntas
Masih soal sengketa informasi, Kamis, (16/2/17), PTTUN memutuskan menerima banding Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang keberatan dengan putusan KIP yang memenangkan gugatan Greenpeace. Gugatan yang tak dikabulkan terkait data format shapefile (.shp) atas enam jenis informasi pengelolaan hutan di Indonesia.
Peta yang jadi permintaan Greenpeace agar terbuka, pertama, peta tutupan tutupan lahan Indonesia 2012, kedua, peta tutupan lahan Indonesia 2013, ketiga, izin dan lampiran peta konsesi HTI berdasarkan SK.2382/Menhut-VI/BRPUK/2015.
Keempat, izin dan lampiran peta konsesi HPH berdasarkan SK.2382/Menhut-VI/BRPUK/2015. Kelima, izin dan lampiran peta pelepasan kawasan untuk perkebunan sawit. Keenam, izin dan lampiran peta pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan.
”Benar (banding KLHK diterima PTTUN-red.),” kata Djati Witjaksono Hadi, Kepala Biro Humas KLHK , baru-baru ini. Hasil putusan PTTUN Jakarta membatalkan putusan KIP yang membuka data peta format shp.
Greenpeace, katanya, boleh melihat format shp di kementerian, dapat mencetak, tetapi tak boleh membawa soft file shp itu. Pasalnya, file shp dapat berubah baik peta, data dan informasi oleh pihak yang memanfaatkan. ”Kita tak dapat melacak siapa yang melakukan perubahan.”
Kasus berawal 7 September 2015, Greenpeace mengajukan sengketa informasi ke KIP. Pada sidang terakhir, pada 24 Oktober 2016, KIP mengabulan permohonan Greenpeace dan memerintahkan KLHK memberikan informasi itu. KLHK melawan melalui banding dan dikabulkan PTTUN.
”Ini jelas makin memperkecil peluang masyarakat berpartisipasi dalam mencegah deforestasi dan kebakaran hutan,” kat Rartri Kusumohartono, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Dia bilang, dengan keputusan ini membuat tata kelola kehutanan kian redup. Banyak perubahan kawasan hutan, katanya, tak diketahui publik karena data dan informasi sengaja dirahasiakan KLHK.
”Ini langkah mundur KLHK. Mereka membuang waktu dan mengenyampingkan kepentingan puluhan juta orang.”
Greenpeace pun kasasi ke MA atas putusan ini. Organisasi ini juga akan mendesak data-data ini terbuka dan tersedia bagi publik melalui kampanye di luar pengadilan.
Kini, KLHK sedang revisi Permen Nomor 6/2011 tentang Pelayanan Informasi di Lingkungan Hidup dan Permen Kehutanan Nomor 7/2011 terkait Pelayanan Informasi.
Linda mengatakan, dalam revisi itu perlu diperjelas kategori informasi mana yang bisa terbuka dan tidak. ”Itu pangkal dan membuktikan bahwa KLHK masih komit atau tidak terhadap keterbukaan informasi.”
Menurut Djati, masih proses revisi karena penggabungan kementerian dan ada pengaturan peralihan.