Sejak Senin (14/3/17), warga yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menuntut tindakan tegas Presiden Joko Widodo mencabut izin PT Semen Indonesia dan memastikan tak ada pabrik atau tambang semen di Pegunungan Kendeng. Mereka kembali memasung kaki di depan Istana Presiden di Jakarta.
Rabu (15/3/17), jumlah petani yang pasung kaki bertambah satu orang. Mereka duduk berjejer di kursi, ada 11 orang, tiga perempuan.
Kaki terbalut kain, dipasung campuran semen dan pasir pada kotak kayu berukuran 60x40cm. Mereka pakai Semen Gresik (Semen Indonesia) dan Indocement, sebagai tanda protes terhadap pertambangan semen.
Aksi ini kali kedua, pertama April 2016, 10 perempuan Kendeng menyemen kaki agar kekhawatiran mereka lingkungan Pegunungan Kendeng rusak karena tambang buat semen mendapat perhatian Presiden. Aksi kali ini, warga mendesak Presiden Joko Widodo mencabut izin lingkungan Semen Indonesia.
”Kita masih belum tahu sampai kapan aksi ini. Kalau tuntutan kami belum dipenuhi Presiden, kami tak akan membongkar cor,” kata Joko Prianto, Koordinator JMPPK, di Jakarta.
Tuntutan mereka, tak hanya mencabut izin pabrik semen, namun pemerintah perlu membebaskan dan menghentikan penambangan di Pegunungan Kendeng.
Jika aksi tak mendapatkan respon, mereka akan terus menambah orang yang pasung kaki. Rencananya, petani dari Pati dan Rembang bertolak ke Jakarta, bergabung mendukung aksi ini.
Mereka bukan tak lelah, tetapi semangat membela alam mengalahkan keletihan mereka. ”Kalau lelah yaa, ini saja (kaki dicor sudah) sakit,” kata Darto, petani yang turut aksi.
Darto, petani asal Grobogan, Purwodadi sejak 2008 berjuang melepas Pegunungan Kendeng dari ancaman tambang. Dia pernah merasakan lima bulan penjara karena dianggap provokator dalam aksi tolak pabrik semen di Pati.
Dalam BAP, Darto dibacakan bersalah karena menghalangi polisi dengan kedua tangan. Fakta, Darto hanya memiliki satu tangan karena kecelakan kerja pada 90-an.
Dia berharap, kesakitan kini, tak berlanjut ke generasi mendatang. ”Embahku bertani disana apik, gunung itu bisa mencukupi, air mengalir berhari-hari untuk pakan ternak dan tani, tidak usah beli,” katanya.
Aksi petani selama ini merupakan hasil urunan. Jika panen berhasil, mereka urunan dari hasil padi dan ternak. Jika tidak, mereka menjual pisang, pepaya, dan cabai.
Perempuan ikut pasung kaki, Sukinah. Tampak dia melantunkan lagu, sesekali mengusap air mata. Bagaimana tidak, kemenangan rakyat di MA, tak menjamin pemerintah keadilan terwujud.
”Belum selesai senyum, Pak Ganjar sudah mengeluarkan izin. Padahal Pak Jokowi menginstruksikan tak boleh ada izin hingga KLHS selesai. Provinsi mengabaikan ini.”
Selepas tenda perjuangan dibakar, kondisi desa hingga kini masih mencekam. Jika ingin berkumpul, mereka bergantian dari satu rumah ke rumah lain. ”Kalau dibiang aman, ya belum, preman sangat banyak,” katanya.
Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang membantu petani Kendeng ini mengatakan, warga Kendeng tak lagi membutuhkan komunikasi dari Kantor Staf Kepresidenan (KSP) maupun Presiden.
”Kami butuh langkah konkrit, izin dicabut,” katanya.
Langkah hukum warga telah final dengan putusan Mahkamah Agung yang meminta pencabutan izin lingkungan. Respon Gubernur Jawa Tengah, mencabut izin lingkungan lalu menerbitkan yang baru.
Presiden, katanya, perlu menegur langsung Ganjar Pranowo melalui Kementerian Dalam Negeri. ”Izin baru ini cacat hukum.”
‘Penyelundupan” izin lingkungan
Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mendesak, Presiden menghentikan penyelundupan hukum dalam penerbitan izin lingkungan oleh Gurbernur Ganjar . Ia menilai, penerbitan izin lingkungan itu sebagai langkah deskruktif terhadap ruang hidup masyarakat dan keberlanjutan fungsi hidup.
Putusan MA, katanya, pada dasarnya menyebutkan pelarangan penambangan dan pengeboran di atas cekungan air tanah (CAT), dalam konteks CAT Watu Putih di Rembang karena sumber air.
Andri G. Wibisana, ahli hukum lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia mempertanyakan izin lingungan Semen Indonesia. “Apakah bisa diberikan di tempat relatif sama?”
Pada dasarnya, putusan Peninjauan Kembali melarang ada tambang di karst. Tetapi majelis hakim tak menutup kemungkinan ada penambangan jika memang perlu sekali dan dengan memperhatikan asas kehat-hatian dan kecermatan.
Asas kehati-hatian dan kecermatan, katanya, perlu dibatasi dengan ketat dan terukur. Penerapanpun memerlukan persetujuan dari pejabat yang mengurus status kawasan, daya dukung, dan daya tampung lingkungan melalui kebijakan seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). ”Tak hanya dengan addendum Amdal.”
Melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kata Andri, Presiden harus mampu menjamin KLHS akuntabel, partisipatif, transparan dan berdasarkan informasi serta metode ilmiah lengkap dan melibatkan semua kalangan.
Begitu juga terkait arahan dalam pencabutan izin lingkungan dan tindak lanjut.
Andri mencurigai cara pemprov membuat addendum Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan menyetujui izin lingkungan dalam waktu singkat. ”Ini terlihat teknoratis, justru gaya ini sepertinya sudah ditolak majelis dalam pertimbangannya,” katanya.
Pabrik rampung
Sementara itu, Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah, sudah menyelesaikan pendirian pabrik. ”Pabrik telah selesai, sekarang mempersiapkan uji coba, raw material didatangkan dari Tuban,” kata Agung Wiharto, Sekretaris PT Semen Indonesia kepada Mongabay.
Meski demikian, mereka masih belum tahu kapan beroperasi. ”Masih mempertimbangkan banyak hal.”
Dia menyebutkan, belum ada kepastian ini bukan karena masih ada penolakan sebagian warga yang protes di Istana.
Agung mengakau bingung dengan aksi penolakan masih terjadi. ”Aturan sudah kami penuhi, kemarin sudah buka ajang sosialisasi, namun Mas Joko (koordinator JMPPK) walk out. Padahal disitu dia mampu menyuarakan apa yang mau disuarakan.”
Semen Indonesia juga menawarkan surat perjanjian kerjasama jika terjadi kegagalan panen ataupun dampak buruk jika pabrik beroperasi. Usulan itupun ditolak.