Solotang, Seorang Diri Menjaga Perairan 42 Pulau Liukang Tuppabiring

Namanya Sultan namun ia lebih dikenal dengan nama Solotang. Papan nama di bajunya pun tertulis nama ‘Solotang’. Sehari-hari ia bertugas di polisi perairan (Polair) Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, yang berpos di Pulau Cangke, menjaga puluhan pulau sekitar dari ancaman destructive fishing dan illegal fishing.

Saya bertemu pria kelahiran 1971 ini di Pulau Bontosua, tak jauh dari Pulau Cangke, dalam sebuah acara ekspose hasil survey yang dilaksanakan oleh PT Mars Symbiosciene Indonesia, sebuah perusahaan kakao asal Amerika yang tengah melakukan upaya konservasi terumbu karang di pulau tersebut, Jumat (17/03/2017).

Meski terlihat sangar dengan jabatan, seragam dan tampilannya yang tegap, Solotang ternyata orang yang ramah dan terbuka. Termasuk ketika bercerita tentang beragam pengalamannya selama bertugas di Pulau Cangke.

“Kadang masih ada kasus di lapangan, meski akhir-akhir ini mulai berkurang. Terakhir malah sekitar bulan lalu ada nelayan yang terkena ledakan bom hingga meninggal dengan usus berhamburan. Kita tak bisa usut lebih jauh saat itu karena ketiga temannya langsung kabur,” ujarnya.

 

 

Solotang memperkirakan semakin kurangnya aktivitas pemboman ikan ini karena bahan baku pembuatan bom berupa Amonium nitrat (N2H4O3) yang semakin sulit diperoleh, seiring dengan semakin ketatnya pengawasan terhadap pemasok bahan ini dari luar. Apalagi baru-baru ini sempat ada penangkapan kapal penyelundup bahan baku bom ini sebanyak 30 ton di Bali pada September 2016 silam.

“Kita juga beberapa kali menangkap pemasok bahan baku bom ini. terbesar itu sekitar 2015 silam kita berhasil gagalkan ratusan pupuk dari luar. Kalau bahan bakunya tak ada otomatis mereka tidak bisa bikin bom.”

Cara ini dianggap jauh lebih efektif dibanding menangkap pelaku destructive fishing yang biasanya nelayan kecil. Upaya penangkapan tak membuat nelayan menjadi jera, apalagi tuntutan hukuman yang kadang sangat ringan.

“Kita kadang kesal juga, setengah mati melakukan penangkapan ternyata dihukum ringan, paling tuntutan 8 bulan.”

Solotang sendiri sepertinya sudah hafal betul wilayah-wilayah dengan kasus destructive fishing yang tinggi, termasuk para pelaku-pelakunya. Motif ekonomi dan ingin hasil yang cepat menjadi penyebab utama. Apalagi jika nelayan terjerat utang pada ponggawa.

“Kadang kita kasihan juga karena kehidupan mereka biasanya sangat miskin. Kalau ditangkap kasihan dengan istri dan anak-anak mereka. Kalau ditanya kenapa mau melakukan itu, katanya ingin hasil cepat karena mengandalkan alat pancing biasa membutuhkan waktu lama. Apalagi kalau sudah ada tuntutan dari ponggawa mereka.”

Pola relasi nelayan dan pemodal di pesisir Sulawesi Selatan yang dikenal dengan istilah ponggawa-sawi, yang oleh antropolog dari UGM Jogjakarta,Heddy Shri Ahimsa Putra, disebut sebagai hubungan patron-klien ini memang kadang menimbulkan masalah tersendiri bagi nelayan. Apalagi ketika hubungan ini dilanggengkan dengan jerat utang pada para nelayan atau sawi yang bisa berlangsung terus menerus. Ponggawa sendiri merupakan sebutan bagi pemodal atau pedagang pengumpul.

“Para nelayan biasanya membayar dengan cara menyetor hasil tangkapan, kalau tidak mencapai target bunga utang bisa semakin bertambah,” ungkap Solotang.

 

Nelayan di Pulau Bontosua yang akan melaut dengan perahu menggunakan alat tangkap purse seine atau istilah lokal maggae. Pulau Bontosua adalah satu dari 42 pulau di Kecamatan Liukang Tuppabiring, Pangkep, Sulsel. Di kawasan ini kasus desctructive fishing dan illegal fishing masih sering ditemukan, baik itu berupa bom, bius ataupun penggunaan alat pancing yang dilarang, seprti trawl dan cantrang. Foto: Wahyu Chandra

 

Solotang sendiri kini menetap di Pulau Cangke yang hanya berpenghuni satu kepala keluarga. Wilayah kerja Solotang mencakup 42 pulau yang ada di Kecamatan Liukang Tuppabiring, Pangkep, terdiri dari 31 pulau berpenghuni dan 11 pulau lainnya tak berpenghuni, termasuk Pulau Cangke dan Pulau Bontosua.

Bekerja sendiri untuk wilayah kerja yang sedemikian luas diakui Solotang memiliki tantangan tersendiri, apalagi tidak didukung dengan fasilitas yang memadai. Di Kabupaten sendiri personel Polair hanya berjumlah 43 orang dengan wilayah kerja mencapai 115 pulau. Dalam keterbatasan sarana dan prasarana operasi dan patroli tetap rutin dilakukan. Hanya saja kadang pulang dengan tangan kosong karena informasi operasi yang bocor ke masyarakat.

Tidak hanya pemboman dan pembiusan ikan, aktivitas merusak lain yang ditangani Solotang adalah penggunaan alat tangkap trawl dan cantrang. Kedua alat tangkap ini sangat merusak karena jaring yang digunakan mencapai dasar laut sehingga bisa merusak terumbu karang yang ada. Penggunaan alat tangkap ini juga sulit dihilangkan karena kenekatan nelayan.

“Kalau pengawasan ketat biasanya mereka berhenti tapi ketika longgar lagi mereka turun lagi. Ini juga sulit ditangani karena kapal-kapal yang ditangkap bisa dilepas kembali.”

Solotang mengaku pernah sendirian menangkap 7 kapal nelayan cantrang sekaligus. Untungnya tak ada perlawanan dari mereka.

“Cara menangkapnya saya ikat kapalnya satu persatu sehingga saling terhubung dan ditarik. Pelakunya saya bawa ke kantor untuk mendapatkan pembinaan. Saat itu kami masih melakukan pembinaan dan meminta mereka tidak mengulang lagi perbuatannya.”

Dalam menjalankan tugasnya Solotang nyaris tak pernah menggunakan kekerasan secara fisik. Paling sering berupa gertakan dan itu sudah membuat para pelakunya ciut dan menyerah.

“Mungkin karena mereka memang sudah merasa salah jadi jarang ada yang melawan secara fisik.”

Menurut Solotang, sebagai bukti efek merusak dari trawl dan cantrang nelayan ini bisa dilihat dari populasi cumi-cumi di kawasan tersebut. Ketika pelarangan trawl dan cantrang ini ketat diberlakukan hasil tangkapan cumi-cumi nelayan meningkat pesat.

“Sekarang katanya akan ada kebijaksanaan memberi kelonggaran nelayan menggunakan trawl dan cantrang ini selama tiga bulan sebagai masa transisi. Banyak nelayan yang khawatir juga bila kebijakan ini diberlakukan. Katanya kebijakan dari pusat tapi kami belum lihat ada bukti tertulisnya.”

Solotang sendiri tidak mempermasalahkan jika kebijakan kelonggaran ini diberlakukan selama disertai bukti tertulis dan mendapat perintah dari atasan.

“Kalau tidak ada bukti-bukti dokumen tertulis pasti akan saya tangkap kalau saya temukan di lapangan,” katanya.

 

Pulau Bontoasua, Pangkep, Sulsel, dengan terumbu karang di sekelilingnya kini sedang dalam proses konservasi yang dilakukan oleh PT Mars Symbioscience, dimana ribuan bibit terumbu karang akan ditumbuhkan menggunakan media yang disebut ‘rangka laba-laba’. Foto: Wahyu Chandra

 

Ketegasan Solotang dalam pengawasan ini bukannya tanpa tantangan. Diakuinya kadang ada upaya intimidasi dan ancaman, meski tidak secara langsung, dari orang-orang yang merasa dirugikan dengan tindakannya. Namun semua ancaman itu tidak membuatnya surut.

“Kadang saya dengar katanya akan dimutasi ke tempat yang jauh kalau terlalu keras. Saya tidak takut karena tak ada yang salah dengan tindakan saya. Saya juga tak pernah mau menerima sogokan dari mereka. Jadi tak ada celah untuk menjatuhkan saya.”

Penempatan Solotang di Pulau Cangke sendiri bermula di tahun 2015 ketika Kapolres Pangkep, Hidayat, yang terkenal karena tindakan tegasnya kepada pelanggar di laut, menugaskannya di tempat tersebut. Tidak hanya untuk menjaga kawasan namun membangun pusat konservasi penyu di pulau kecil tersebut.

Solotang sendiri masih tetap menjaga kawasan tersebut meski tidak lagi mendapatkan pembiayaan seperti sebelumnya. Ribuan tukik telah dilepaskannya sejak ia bertugas. Ia juga aktif mensosialisasikan ke warga di pulau-pulau untuk tidak mengambil telur penyu untuk konsumsi. Apalagi ada kepercayaan tentang khasiat telur penyu serta kandungan protein yang tinggi.

“Cuma memang agak sulit juga karena tak ada anggaran khusus untuk tukik-tukik itu, namun tetap harus dilanjutkan karena harus selalu dilaporkan ke kantor.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,