Owa, Primata Dilindungi Ini Ada Saja yang Pelihara!

 

Sepanjang Maret 2017, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat telah  mengevakuasi lima individu owa dari jenis kelempiau (Hylobates muelleri) dan ungko kalimantan/kalawet (Hylobates albibarbis) dari peliharaan warga. Padahal, satwa ini jelas-jelas dilindungi dan berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN) statusnya Genting (EN/Endangered).

“Kami terus melakukan sosialisasi ke berbagai pihak, memelihara satwa dilindungi dapat dikenakan pidana undang-undang konservasi. Tindakan pemeliharaan tidak dibenarkan,” ujar Kepala BKSDA Kalbar, Margo Utomo, baru-baru ini.

Terakhir, owa bernama Clinton (20 tahun), dievakuasi dari rumah warga pada 27 Maret 2017. Informasi keberadaannya diperoleh dari media sosial yang langsung ditindaklanjuti ke rumah di Jalan Putri Dara Hitam Gang Cimahi, Pontianak.

Pemeliharanya, seorang pegawai negeri sipil bernama Burhan. “Clinton saya dapat saat bayi pada 1997. Dia dibawa dari Ketapang karena induknya ditembak pemburu,” ujar Burhan.

Clinton yang saat itu dalam pelukan induknya, terjatuh dari pohon dan diselamatkan warga. Karena iba, Burhan mengadopsinya dengan mengganti uang pemeliharaan sebesar Rp150 ribu. “Sebenarnya, Clinton sudah lama akan diserahkan ke BKSDA namun karena kesibukan, baru sekarang diserahkan,” ujarnya.

Tim gugus tugas membuat berita acara penyerahan satwa, sekaligus memberikan penyuluhan dan pemahaman mengenai UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Juga, PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis  Tumbuhan dan Satwa, kepada warga setempat.

Clinton pun dievakuasi ke Kantor BKSDA Kalbar. “Tim Gugus Tugas Tumbuhan Satwa Lindung BKSDA Kalbar memberikan apresiasi kepada keluarga besar Burhan atas kesadaran dan keikhlasannya menyerahkan kelempiau peliharaannya,” tambah Margo.

 

Indonesia memiliki 7 jenis owa dari 19 jenis yang hidup di dunia. Menjaga hutan berarti kita melindungi habitat satwa dan tumbuhan yang ada, sekaligus menjaga kehidupan umat manusia di bumi. Foto: Rahmadi Rahmad

 

Sebelumnya, awal Maret, BKSDA Kalbar juga mengevakuasi empat individu owa dari warga. Ciko (5 tahun), adalah owa peliharaan keluarga Ramdansyah, yang tinggal di Jalan Oevang Urai, Kabupaten Sintang. Istri Ramdansyah menangis tersedu saat petugas mengevakuasi Ciko. Foto-foto perpisahan keduanya pun menjadi viral dan banyak mendapat komentar netizen di media sosial.

Selain Ramdansyah, keluarga H. Abdul Syukur, yang tinggal di Jalan Candika, Sintang juga memelihara kelempiau. Abdul merasa kehilangan saat melepas peliharaannya yang diberi nama Manto (2 tahun). Sedangkan dua individu owa lagi adalah Popo (7 tahun) hasil penyerahan masyarakat di Pontianak dan Via (20 tahun) serahan warga Kota Singkawang.

Dua owa jantan tersebut diserahkan kepada Tim Gugus Tugas TSL (Tumbuhan dan Satwa Liar) Seksi Koservasi Wilayah II Sintang, BKSDA Kalbar. “Penyerahan dilakukan di kediaman masing-masing, sebelumnya tim melakukan penyuluhan,” lanjut Margo.

Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Sintang, Bharata Sibaranai menambahkan, kelempiau yang dipelihara warga ini merupakan hasil tangkapan di permukiman penduduk. Awalnya, mereka menduga sebagai peliharaan warga yang lepas, namun setelah diyakini tidak ada pemiliknya, mereka putuskan untuk memelihara.

“Kelempiau dahulunya berkeliaran di Kabupaten Melawi, pemekaran Kabupaten Sintang. Saat ini, mulai sulit ditemui,” ujarnya.

Empat owa yang dievakuasi BKSDA Kalbar itu, akhirnya dititiprawatkan di Yayasan Kalaweit, Kalimantan Tengah, bekerja sama dengan BKSDA Kalteng, 14 Maret lalu. Selama 24 jam jalan darat, Tim Gugus Tugas TSL BKSDA Kalbar menuju Kalimantan Tengah.

“Penitipan dilakukan karena di Kalbar belum ada rehabilitasi khusus jenis owa atau kelempiau. Sebelumnya, keempat primata itu berada beberapa hari di kandang transit BKSDA Kalbar,” tutur Margo.

Margo menjelaskan, pasca-rehabilitasi diharapkan seluruh owa dapat dikembalikan ke habitat aslinya. Namun, belum dipastikan berapa lama prosesnya, mengingat owa tersebut sudah dipelihara sejak kecil. “Pemerintah akan terus memberikan perlindungan terhadap primata kecil dalam keluarga Ungko ini.”

 

Empat individu owa dari Kalimantan Barat ini dititiprawatkan di Yayasan Kalaweit, Kalimantan Tengah, untuk direhabilitasi. Foto: Dok. Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK

 

Lindungi

Dihubungi terpisah, Anton Ario, peneliti owa dari Conservation International mengatakan, perdagangan untuk dijadikan satwa peliharaan adalah ancaman nyata kehidupan owa. “Kerusakan habitat dan perburuan, ditambah adanya kebakaran hutan merupakan serangkaian faktor serius yang harus diperhatikan demi terjaganya populasi owa di alam,” terangnya, Senin (03/04/17).

Anton menuturkan, di dunia ini terdapat 19 jenis owa yang hanya hidup di Asia. Indonesia, adalah tempat hidup bagi 7 jenis owa tersebut. Ada Hylobates moloch (owa jawa) yang tersebar di Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah; Hylobates lar (serudung) yang berada di Sumatera bagian utara; Hylobates agilis (ungko) di Sumatera bagian tengah ke selatan; juga Symphalangus syndactylus (siamang) di seluruh Sumatera.

Berikutnya, Hylobates klosii (bilou) di Pulau Mentawai, Sumatera Barat; Hylobates muelleri (kelempiau) di seluruh Kalimantan; serta Hylobates albibarbis (ungko kalimantan atau kalaweit) yang berada di Kalimantan bagian barat. “Semua ini menunjukkan Indonesia kaya akan keragaman hayati yang harus kita jaga. Kehadiran mereka penting bagi kehidupan manusia,” papar Anton.

Cara Wilcox peneliti owa dari Borneo Nature Foundation (BNF), lembaga yang meneliti primata dan satwa liar di Kalimantan Tengah, beberapa waktu lalu mengatakan, owa merupakan jenis satwa yang beraktivitas pagi. Biasanya “bernyanyi” meramaikan suasana. “Mereka hidup berkelompok yang terdiri dari satu jantan dan betina dewasa bersama satu atau dua anaknya.”

Jenis ini, di hutan memakan berbagai jenis buah, pucuk daun, dan juga serangga. Namun, pakan favoritnya buah. Dari pohon ke pohon, biasanya owa hanya singgah sekitar 20 menit dan buah yang dimakan dipastikan sebatas untuk konsumsinya saja. “Sekitar jam 2 siang, biasanya owa akan beristirahat, mencari pohon untuk tidur. Uniknya, di pohon ini owa akan menginap dan keesokan paginya baru beraktivitas kembali, bergelantungan mencari pohon baru.”

Wilcox meneliti owa dengan melihat langsung tingkah lakunya di hutan Sebangau, tempat owa jenis Hylobates albibarbis berada. Menurutnya, hal unik ketika owa bersuara adalah, tanda tersebut merupakan pertanda keberadaannya, ke kelompok lain. Isyarat sebagai bentuk interaksi sekaligus eksistensi. “Hadirnya owa di hutan, penting bagi tatanan ekosistem yang ada. Biarkan owa hidup di habitat alaminya. Jangan ditangkap untuk dipelihara, terlebih dibunuh,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,