Om Bemo terus Menyebar Rasa Malu Nyampah Sembarangan

Di antara beberapa komunitas peduli sampah, Komunitas Malu Dong Buang Sampah Sembarangan termasuk yang makin populer di kalangan anak muda di Bali, terutama Denpasar saat ini. Di akun media sosial paling hits saat ini, Instagram, komunitas ini punya lebih dari 11.600 pengikut.

Bendera komunitas yang lebih akrab disingkat Malu Dong ini juga makin banyak berkibar di banjar-banjar, komunitas adat terkecil di Bali. Dalam tiap kegiatan bersih-bersih, sedikitnya 100 orang ikut kegiatan mereka.

Seperti namanya, kegiatan utama Malu Dong memang membersihkan sampah. Tiap minggu sore mereka mengadakan aksi membersihkan sampah di Pantai Mertasari, Sanur. Secara berkelompok, mereka memungut beragam jenis sampah ketika ratusan warga lain memilih duduk, berenang, atau jalan-jalan di pantai yang selalu ramai itu.

 

 

Pada beberapa even festival atau musik, anggota komunitas ini juga hadir sebagai bagian dari tim kebersihan. Anggota Malu Dong dari beragam latar belakang, seperti arsitek, pengacara, desainer, musisi, dan seterusnya tanpa sungkan bertindak layaknya pemulung. Mereka membawa penjepit untuk memungut sampah dan karung untuk tempat sampah.

Pada peringatan Hari Bumi 22 April nanti, komunitas ini akan menggelar Malu Dong Festival. Tujuannya untuk mengampanyekan perlunya warga mengurus sampah. Berbagai komunitas seniman, musisi, aktivis, dan warga lainnya akan berkolaborasi selama dua hari festival di Lapangan Puputan Badung, Denpasar nanti.

 

Malu melihat sampah

Komang Sudiarta, 51 tahun, adalah sosok di balik Komunitas Malu Dong. Warga Banjar Tampak Gangsul, Denpasar ini memulai inisiatif untuk memungut sampah di lingkungannya sejak 2009. Waktu itu dia baru selesai bekerja di luar negeri, termasuk Amerika Serikat dan Australia. Ketika kembali ke tanah kelahiran, dia merasa malu melihat banyaknya orang yang membuang sampah sembarangan.

“Bali terkenal sebagai tempat wisata tapi banyak sekali sampah. Harus ada yang turun ke lapangan untuk membersihkannya,” kata bapak dua anak yang akrab dipanggil Om Bemo ini.

Sejak itu, Om Bemo terus memungut sampah dari tiap tempat yang dia kunjungi. Dia selalu membawa bendera Malu Dong yang berisi gambar simbol ekspresi wajah atau emoticon malu. Namun, dia justru mendapat cemoohan sebagian orang pada awalnya. Beberapa warga dan bahkan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang pernah mendukung kemudian pergi.

“Tapi saya tidak mau mundur. Saya harus konsisten untuk membuktikan keseriusan saya membersihkan sampah,” kata suami dari Made Ayu Silayanti ini.

 

Salah satu anggota Komunitas Malu Dong beraksi memungut sampah dalam sebuah festival. Foto : Anton Muhajir

 

Selain di lingkungan banjar sendiri, Om Bemo juga berkunjung ke sekolah-sekolah di Denpasar. Dia mendatangi sekitar 300 sekolah, dari SD sampai SMA, di ibu kota Provinsi Bali ini.

Dengan cara memungut sampah itu dia tak hanya ingin menunjukkan pada anak-anak muda tentang perlunya membuang sampah pada tempatnya tapi juga menyampaikan pesan kepada pemerintah agar lebih peduli pada pengelolaan sampah.

Menurut Om Bemo, sebagian besar sekolah di Denpasar belum serius memberikan pendidikan pada muridnya untuk mengelola sampah. Padahal, lanjutnya, sekolah seharusnya menjadi tempat pendidikan terkait sampah juga. Dari sekitar 300 sekolah di Denpasar, menurutnya, baru sebagian kecil yang sudah serius mengelola sampah. SMP 3 dan SMA 3 Denpasar hanya dua contohnya.

“Seharusnya sekolah bisa mengajarkan cara menangani sampah sesuai dengan tingkat sekolah. Ketika SD belajar membuang sampah yang benar, SMP belajar memilah sampah, dan SMA belajar mengolah sampah,” katanya.

 

Komunitas Malu Dong rajin mengikut even untuk ambil bagian di kebersihan. Foto : Anton Muhajir

 

Terus bertambah

Banjar dan sekolah menjadi target awal Om Bemo ketika melakukan gerakan Malu Dong. Seiring waktu, makin banyak pihak tertarik dan kemudian bergabung. Tahun lalu, tepatnya pada 23 April 2016, Komunitas Malu Dong resmi diluncurkan kepada publik.

“Resmi itu maksudnya dengan memperkenalkannya kepada publik sebagai sebuah komunitas,” kata Anak Agung Yoka Sara, penggagas dan anggota komunitas. Yoka Sara mengatakan Malu Dong adalah komunitas di mana tiap orang bebas masuk jika ingin atau keluar jika bosan. Tidak terikat.

“Tapi kami mengatur pembagian tanggung jawab sesuai kemampuan dan waktu yang kami miliki masing-masing,” tambah arsitek ternama di Bali itu.

Saat ini, jumlah anggota mereka sekitar 175 orang. Banjar yang bergabung dalam gerakan Malu Dong juga makin bertambah. Pekan lalu, Komunitas Malu Dong membagi 468 bendera yang dikibarkan di 4 kantor kecamatan, 43 desa, dan 420 banjar di Denpasar.

Kegiatannya rutin, membersihkan sampah di Pantai Mertasari, Sanur dan bergabung dengan even-even semacam festival.

Om Bemo punya alasan sendiri kenapa Pantai Mertasari tetap jadi lokasi utama untuk bersih-bersih. “Karena Pantai Mertasari itu belum selesai dengan urusan sampah,” katanya. Baik pedagang maupun pembeli di pantai Denpasar bagian selatan itu masih suka membuang sampah sembarangan.

Sebagai salah satu lokasi pariwisata, Mertasari masih dibanjiri sampah. Tiap kali ada aksi bersih-bersih sampah, anggota Komunitas Malu Dong bisa mendapatkan sampah sampai 10 karung. “Kalau musim angin bisa sampai 50 karung,” ujar Om Bemo.

Lokasi Pantai Mertasari yang berada di hilir juga jadi alasan tersendiri. Banyaknya sampah di hilir menunjukkan bahwa sampah bisa datang dari mana saja. Perilaku di hulu berdampak hingga ke hilir.

 

Komang Sudiarta perintis Komunitas Malu Dong Buang Sampah Sembarangan, Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Kolaborasi lintas komunitas

Karena itu, Om Bemo berharap pemerintah lebih serius mengelola sampah. Tak hanya di tingkat kebijakan tapi juga pelaksanaan di lapangan. Dia juga mengharapkan makin banyak komunitas terlibat dalam aksi peduli sampah. Salah satunya lewat Malu Dong Festival.

Sejumlah komunitas sendiri sudah mengatakan akan hadir dalam festival selama dua hari itu. Mereka dari kalangan musisi, seniman, aktivis LSM, komunitas kreatif, dan lain-lain. Kegiatannya antara lain pentas musik, lokakarya, pameran seni rupa, lelang karya, dan lain-lain.

Marlowe Bandem, panitia Malu Dong Festival mengatakan, festival bertujuan untuk meningkatkan kesadaran terhadap perlunya kepedulian terhadap sampah. “Festival ini untuk melahirkan aksi baru, kampanye sampah melalui kesenian,” kata Marlowe.

Salah satu karya yang akan dipamerkan nantinya adalah instalasi dari puntung rokok hasil bersih-bersih di Pantai Mertasari maupun tempat lain sejak Oktober tahun lalu.

“Gagasannya untuk membangun media shock therapy untuk masyarakat, membangun mind set tentang akibat kalau buang puntung rokok sembarangan,” kata Yoka Sara yang berkolaborasi dengan Wayan Duduk, ahli membuat layang-layang dari Sanur.

Melalui kegiatan serupa Malu Dong Festival, Om Bemo berharap akan makin banyak komunitas terlibat dalam pengelolaan sampah. “Karena meskipun jumlah orang yang peduli sampah makin banyak, namun jumlah sampah juga terus bertambah. Itu yang tetap saja memalukan,” katanya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,