Cerita Para Perempuan Penjaga Mangrove dari Papua

 

 

Hari Kartini jatuh pada 21 April, dan Hari Bumi setiap 22 April. Memperingati dua hari penting ini, Mongabay, menyajikan seri tulisan mengenai perjuangan dan upaya perempuan-perempuan dalam menjaga lingkungan dan alam. Mereka bekerja tanpa pamrih. Bagi para perempuan ini, memulai berbuat sesuatu bagi alam walau kecil lebih baik daripada tidak sama sekali. Mereka sosok-sosok inspiratif.

 

Edisi pertama, Mongabay, akan mengangkat cerita perempuan-perempuan dari Manokwari, Papua, yang sadar akan keterancaman bencana tsunami lalu menanam puluhan ribu mangrove. Kelompok  ini terdiri dari perempuan-perempuan berusia rata-rata 50 tahunan!

Ceritanya, pada 10 Oktober 2002, gempa menguncang Ransiki, distrik di Manokwari, Papua Barat, kini jadi Ibukota Kabupaten Manokwari Selatan.

Rika Rumadas,  terpaut ratusan kilo meter dari distrik itu, tepatnya di Kampung Wamesa, Distrik Manokwari Selatan, Manokwari. Dia  terhempas di atas perahu karena kiriman gelombang tsunami usai gempa.

Malam itu, Rika usai memancing di sekitar pantai, beruntung tsunami tak merengut nyawanya. Itu kejadian 15 tahun silam.

“Beruntung ombak (tsunami) tak mematikan. Saya hanya kaget karena perahu terhempas dan berusaha mendayung ke kampung. Saya mendayung ternyata sudah jalan raya,” katanya, memulai cerita.

Kabupaten Manokwari Selatan,  merupakan daerah rawan gempa. Pada 2002,  gempa di siitu terjadi dua kali, pada September enam skala richter dan Oktober 7,6 skala richter, diikuti tsunami.

Tsunami terpantau di Pesisir Ransiki, Oransbari hingga Manokwari. Di Manokwari,  ketinggian terpantau satu meter. Akibat gempa, delapan orang meninggal dunia, 632 terluka, dan 1.000 rumah hancur di Ransiki, Oransbari dan Manokwari.

Saat itu, Rika sedang ditunggu keluarga. Warga lain di kampung berpenduduk sekitar 97 keluarga itu sudah berlari ke bukit sekitar satu kilometer dari kampung. “Keluarga laki-laki menunggu saya bersama-sama lari ke daerah aman.”

Selviana Yoweni, perempuan lain di kampung itu bercerita soal kepanikan warga saat tsunami. “Saya lagi masak ada gempa. Menyusul tsunami. Kami yang perempuan diminta keluar rumah, berlari ke bukit,” katanya.

Dampak tak mendapat informasi cukup, tsunami tak jadi pelajaran berharga bagi warga. Mereka kembali hidup normal seperti tak pernah ada bencana.

Sepuluh tahun kemudian, pada 2013, warga termasuk Rika dan Selviana, bersama tujuh perempuan lain di kampung itu–belakangan jadi aktor utama pelindung manggrove—, baru tahu kalau mereka bisa selamat dari tsunami, karena pantai memiliki pelindung alami yakni, mangrove. Tanaman itu mulai berkurang karena sering ditebang.

Mereka tahu manggrove sebagai pelindung utama dari hantaman gelombang tsunami, dari sebuah lembaga yang datang ke kampung pada 2013. Lembaga itu mengedukasi mereka.

Rika dan Selviana bersama enam rekan perempuan lain berumur rata-rata lebih 50 tahun sadar, manggrove harus mereka jaga.

“Kami kelompok mama-mama yang tadi sering mengambil mangrove untuk jadi kayu bakar, bahkan kadang dijual jadi merasa bersalah. Kami akhirnya tahu tentang penting menjaga mangrove lalu berhenti menebang Mangrove,” ujar Rika.

Kelompok perempuan ini konsisten menanam mangrove. Mereka diajar cara mencari bibit mangrove, menyiapkan koker (polybag), lahan, menanam, hingga merawat.

 

Para perempuan Wamesa menyiapkan bibit mangrove. Foto: Rika R

 

Akhirnya pekerjaan dimulai pada Maret 2013. Tiap pagi, selepas menyiapkan sarapan keluarga dan membereskan pekerjaan rumah, mereka berjalan kaki ke hutan Mangrove berjarak sekitar satu kilometer dari kampung. Mencari bibit mangrove jatuh dari pohon induk. Bibit-bibit dikumpulkan di pinggir hutan. “Pekerjaan itu kami lakukan tiga kali seminggu,” katanya.

“Kami kadang dimarah suami. Kami bilang mangrove kami tanam itu nanti pele (menghalangi-red) kita dari tsunami,” kata Lea Dubri (37). Lea satu-satunya perempuan kelompok itu yang berumur kepala tiga.

Rika Rumadas, Selviana dan perempuan lain, masing-masing, Orpa Dubri, Hermalina Suabei,  sudah berumur limapuluhan. Satu orang lagi Paulina Inggesi Mansumber meninggal dunia karena tumor kandungan kala usia 75 tahun. Rika Dubri, perempuan lain berumur 69 tahun dan sedang sakit.

Rika Rumadas mengatakan,  meski Paulina sudah tua namun sangat bersemangat. Hampir setiap mereka bekerja dia selalu terlibat. “Ibu Paulina kalau duduk sambil koker sampai keram. Kalau mau berdiri kami harus bantu. Setelah itu harus menunggu sampai keram hilang baru kami pulang,” kataya. “Rika Dubri juga sangat bersemangat.”

Setelah masuk polybag, para perempuan tangguh itu menanam anakan mangrove itu. Dengan kaki telanjang mereka menanam di sela-sela pohon mangrove dan area lebih luas.

Bahkan, kala menyiapkan lahan di lokasi degan tumbuhan berduri tajam, mereka sampai berdarah-darah. “Kami bekerja di hutan mangrove dari pukul 9.00-18.00. Hujan pun kami bertahan.”

Orpa Dubri mengatakan, masyarakat lain di kampung itu mengunjing aktivitas mereka selama ini. “Mereka kira kami dibayar. Mereka bilang kalau dibayar itu kasih tahu supaya kita bantu. Kami tak dibayar. Kami bekerja menebus “dosa kami”. Kami sadar pentingnya memelihara mangrove,” katanya. “Suami saya tak marah. Dia mendukung saya.”

 

Plang petunjuk arah evakuasi tsunami di Kampung Wamesa. Berawal dari tsunami melanda, para perempuan ini lalu menyiapkan ‘benteng’ pertahanan kampung dengan menanam mangrove. Foto: Duma Sanda

 

Perjuangan para perempuan itu menanam mangrove berlangsung selama 2, 6 tahun, hingga akhir 2015. Selama itu, mereka berhasil menanam 32.000 bibit manggrove di lahan enam hektar. Bibit dari Gunung Botak, daerah di Kabupaten Manokwari Selatan dan Teluk Bintuni, kabupaten yang memiliki Manggrove terluas di Indonesia.

Kadang aktivitas mereka dibantu anak-anak sekolah minggu. Mereka juga pernah dibantu komunitas lain, bahkan mantan Bupati Manokwari Bastian Salabai ikut menanam. Untuk perawatan seperlunya. Kadang mereka juga harus menanam ulang bibit yang mati atau terseret air pasang.

Sayangnya,  segala upaya para perempuan itu ada yang merusak. Bibit yang sudah jadi pohon rimbun itu kini sebagian rata dengan tanah. Dua alat eskavator bulan lalu diam-diam masuk melalui pantai dan menerjang pohon-pohon yang tumbuh subur itu. Bibit-bibit yang mereka siapkan di koker untuk pengganti bibit yang mati juga hancur.

Pemilik lokasi itu disebut-sebut menghabiskan pohon-pohon ini untuk menyambut program pemerintah. Mereka tak bisa berbuat banyak.

Upaya mereka bertemu bupati belum membuahkan hasil. “Kami ingin tahu batas tanah kami ini sampai dimana. Kami pikir lahan yang kami tanami itu milik kami,” ucap Rika.

Rika bersama warga di Kampung Wamesa dikenal sebagai suku pendatang. Tanah mereka tempati pemberian tuan tanah setempat. Dulu ukuran cukup luas, namun menyusut perlahan karena desakan pembangunan.

 

Opra Dubri, berjalan di bekas hutan mangrove hasil tanaman mereka yang kini sebagian dibabat untuk ‘pembangunan’. Foto: Duma Sanda

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,