Perusahaan Sawit di Aceh Ini Langgar Sejumlah Aturan

 

 

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah VI Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh, awal April 2017, menghentikan aktivitas alat berat yang membuka lahan di Kecamatan Sultan Daulat, Kabupaten Subulussalam. Lahan itu akan dijadikan perkebunan sawit atas nama PT. Indo Sawit Perkasa (PT. ISP).

Pembukaan lahan tersebut berada di wilayah areal penggunaan lain (APL) yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kepala KPH VI Irwandi mengatakan, PT. ISP memang telah mengantongi izin, tapi karena belum adanya hasil perhitungan kayu, maka kegiatan pembersihan lahan di Desa Pase Belo dan Desa Bawan itu harus dihentikan sementara waktu.

“Aktivitas baru bisa dilanjutkan setelah perusahaan menyetor provisi sumber daya hutan (PSDH), dana reboisasi (DR), dan ganti rugi tegakan (GRT) kayu ke kas negara,” sebut Irwandi.

Saat operasi penghentian land clearing dilakukan, personil KPH VI dan kepolisian juga menemukan kayu siap jual, baik yang baru dibelah maupun yang sedang diangkut. “Perusahaan tersebut menebang kayu dan mengangkutnya menggunakan truk,” paparnya.

 

Lahan HGU milik PT. Indo Sawit Perkasa yang telah dibuka. Foto dari udara ini diambil pada 21 Maret 2017. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Bermasalah

Pada 18 April, Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA) menggelar diskusi terfokus dengan sejumlah pegiat lingkungan. Hadir juga di acara itu perwakilan Dinas LHK Aceh dan KPH Wilayah VI.

Dalam diskusi diketahui, pembersihan lahan di hak guna usaha (HGU) PT. ISP bukan hanya bermasalah karena belum dilakukan penghitungan GRT kayu. Tapi juga, melanggar sejumlah aturan. Seperti, belum adanya izin pembersihan lahan dari Gubernur Aceh dan tidak mengikuti perintah penghentian land clearing di Kawasan Ekosistem Leuser.

Peringatan penghentian land clearing melalui surat telah dilayangkan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kota Subulussalam empat kali. Surat tersebut masing-masing bernomor: 525/69/2014 (28 Februari 2014), surat nomor: 525/315/2014 (13 Oktober 2014), surat nomor: 525/04/2015 (8 Janauri 2015), dan surat nomor: 525/41/2015 (3 Maret 2015).

 

Alat berat yang milik PT. Indo Sawit Perkasa yang terus membuka lahan hingga berhenti setelah dilakukan penertiban. Foto: Forum Konservasi Leuser

 

Sekretaris Yayasan HAkA Badrul Irfan menyatakan, sejak Januari 2015, PT. ISP telah melakukan land clearing dan pembukaan jalan. Hal tersebut berdasarkan temuan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Subulussalam yang turun langsung ke lokasi.

Badrul menambahkan, jika merujuk Keputusan Gubernur Aceh nomor: 525/BP2T/2014/2014 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya PT. ISP tertanggal 21 Agustus 2014, pada salah satu poin disebutkan, PT. ISP harus merealisasikan pembangunan kebun yang luasnya mencapai 1.000 hektare. Paling lama dua tahun sejak IUP-B diterbitkan.

“Artinya saat ini IUP-B PT. ISP telah habis dan mereka harus mengurus kembali izin tersebut. Mereka tidak boleh melakukan kegiatan sebelum izin ada. Namun, perusahaan masih bekerja sampai tim KPH Wilayah VI menghentikan aktivitas alat berat,” ujarnya.

 

Kayu yang telah ditebang di dalam HGU PT. Indo Sawit Perkasa. Foto: Forum Konservasi Leuser

 

Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mengatakan, berbagai aturan telah dilanggar PT. ISP, mulai IUP-B yang habis masa berlaku, menebangan kayu, hingga memperjualbelikan tanpa proses perhitungan. Alasan ini sudah sangat kuat untuk menjatuhi sanksi kepada perusahaan tersebut. “Pemerintah Aceh harus mengambil tindakan tegas, termasuk menghentikan semua kegiatan dan mencabut izin usaha mereka.”

Manager Konservasi Forum Konservasi Leuser (FKL) Rudi Putra menyebutkan, kawasan HGU PT. Indo Sawit Perkasa merupakan lahan yang sangat penting untuk habitat satwa. Ada gajah sumatera, harimau, orangutan, termasuk juga berbagai jenis burung.

Rudi menambahkan, jika HGU tersebut benar-benar dibuka dan ditanami sawit, di daerah tersebut kawanan gajah liar akan terisolasi dan akan terjadi konflik satwa permanen. Sebab, gajah sudah tidak bisa melintas ke daerah Bengkung dan lainnya.

“Jika konflik terjadi, beban pemerintah akan bertambah untuk menyelesaikan konflik. Selain itu, akan banyak warga yang rugi karena kebunnya rusak dan kehidupan gajah pun terancam,” ungkapnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,