Seekor paus sperma terdampar di Pantai Naic, ibu kota Provinsi Cavite, Filipina sejak Kamis (11/05/2017) lalu. Perut paus sperma sepanjang lebih dari 15 meter itu penuh dengan berbagai sampah plastik: botol, kotak makanan, sedotan, gelas minuman, dan lain-lain. Semua jenis sampah itu keluar dari mulutnya yang menganga lebar.
Selama empat hari hingga Minggu (14/05/2017), paus sperma itu berada di pantai berpasir hitam yang berjarak sekitar 50 km ke selatan dari Manila, ibu kota Filipina tersebut. Warga di pantai yang menghadap Teluk Manila itu pun mengerubungi bangkai paus tersebut.
Bangkai “paus sperma” itu merupakan seni instalasi karya seniman Biboy Royong untuk organisasi lingkungan terkemuka, Greenpeace. Judulnya Dead Whale. Melalui karya tersebut, Biboy dan Greenpeace Filipina ingin menyampaikan kepada publik bagaimana dampak sampah plastik di laut terhadap hewan-hewan yang hidup di dalamnya, termasuk paus.
“Ada perkirakan secara lingkungan bahwa pada 2050, jika kita tidak berhenti membuang sampah ke laut, maka akan lebih banyak sampah dari kehidupan di perairan,” kata Biboy Royong, Direktur Kreatif Dentsu Jayme Syfu sebagaimana ditulis media daring Spot.
Biboy menambahkan ide pembuatan paus mati berasal dari kejadian nyata pada akhir tahun lalu. Pada Desember 2016, seekor paus sperma sepanjang 12 meter terdampar di Pulau Samal, Davao, Filipina. Menurut Lembaga Perikanan dan Sumberdaya Perairan setempat, mamalia laut itu mati karena terlalu banyak makan sampah beracun. Perutnya penuh dengan plastik, jaring ikan, pancing, tali rafia, dan kabel baja. Banyaknya cacing perut memperparah kematiannya lebih dini.
(baca : Memprihatinkan, Satwa Laut di Bali dan NTB Makin Beresiko Keracunan karena Ini)
Dalam instalasi Dead Whale, Biboy dan anggota timnya memperlihatkan hal serupa, paus sperma mati karena terlalu banyak makan sampah. Baik bentuk, warna, tekstur, ukuran, dan proporsinya pun dibuat mirip. “Kami bahkan memilih untuk menunjukkan proses penguraian paus sehingga kami bermain lebih banyak dengan tekstur kulitnya,” katanya.
Saking miripnya, menurut Biboy, banyak orang tertipu ketika melihatnya untuk pertama kali. Semua terlihat nyata sampai kemudian kita berada lebih dekat dan menyadari bahwa paus itu sebenarnya terbuat dari sampah plastik.
Biboy dan sepuluh orang anggota timnya membuat instalasi itu selama lima hari. Mereka menggunakan bahan-bahan dari sampah plastik yang dikumpulkan dari sekitar pantai. Pantai Naic menjadi pilihan karena bagian dari Teluk Manila itu sangat terpapar polusi. Mereka juga mempertimbangkan bahwa lokasi itu adalah kawasan ramai dan terbuka sehingga menjadi tempat tepat untuk menyebarkan kampanye penyadaran lingkungan.
“Seni membuat pernyataan lebih baik. Melihat bahaya yang terjadi di lingkungan kita melalui visualisasi dramatis akan meyakinkan orang untuk beraksi melawannya,” kata Biboy.
(baca : Bersih Laut, Mencegah Lautan agar Tak Jadi Tempat Pembuangan Sampah)
Petisi untuk ASEAN
Instalasi Dead Whale sendiri dibuat sebagai bagian dari kampanye Greenpeace Filipina dalam isu sampah. Sebelum karya instalasi itu dibuat, Greenpeace telah membuat petisi dalam jaringan (daring) untuk melindungi laut dari plastik dan sampah laut. Petisi itu ditujukan kepada negara-negara anggota ASEAN.
Abigail Aguilar, Juru Kampanye Sampah Greenpeace Filipina, menyatakan dalam petisi bahwa lima negara ASEAN yaitu Indonesia, Filipina, Vietnam, Thailand, dan Malaysia adalah negara penghasil sampah plastik terbesar di dunia. Karena panjang garis pantai yang mereka miliki dan jumlah sampah plastik yang mereka gunakan, lima negara itu pun menjadi penyumbang sampah plastik di laut secara global.
Mengutip sebuah riset pada 2015, Greenpeace mengatakan bahwa saat ini terdapat lebih dari 275 juta ton plastik. Total jumlah sampah plastik diperkirakan terus bertambah dan akan melebihi jumlah ikan pada 2050.
“Laut sedang tenggelam oleh sampah. Dan, itulah alasan kenapa kampanye ini penting!” tulis Greenpeace.
Greenpeace menyatakan, sebagai Ketua ASEAN Summit tahun ini, Filipina memiliki peran penting untuk mengajak negara-negara anggota ASEAN agar mengambil langkah nyata melawan polusi sampah di laut. Hal itu penting untuk menghentikan kerusakan lingkungan dan menurunnya kehidupan pesisir di kawasan.
“ASEAN harus bekerja sama untuk membuat regulasi yang tepat dan mendorong sektor bisnis untuk bertanggung jawab terhadap dampak mereka terhadap lingkungan serta mengajak konsumen untuk melakukan aksi,” demikian penutup petisi tersebut. Hingga Minggu (14/5) pukul 11 WITA, 5.028 pengguna Internet telah menandatangani petisi tersebut.
(baca : Begini Tekad Indonesia Kurangi Sampah Plastik sampai 70%)
Bahaya Mikroplastik
Kampanye Dead Whale oleh Greenpeace Filipina bisa menjadi pengingat lagi tentang bahaya sampah di lautan (marine debris) terhadap ekosistem global.
Laman Nature, mempublikasikan riset terbaru oleh Tamara S. Galloway, Mathew Cole, dan Ceri Lewis dari Universitas Exeter, Inggris pada April 2017 lalu. Riset itu berjudul Interactions of microplastic debris throughout the marine ecosystem.
Dalam artikelnya, para peneliti menyatakan bahwa jumlah produksi plastik global saat ini mencapai 300 juta ton per tahun. Sekitar 50 persen dari plastik tersebut hanya digunakan sekali sebelum dibuang, menghasilkan jumlah plastik yang dibakar. Dari jumlah tersebut, ada sekitar 4,8 hingga 12,7 juta ton plastik dibuang ke laut pada 2014.
Berdasarkan pemodelan yang mereka lakukan, sampah yang dibuang itu menghasilkan lebih dari 5 miliar potongan sampah plastik yang sedang mengapung di lautan dunia saat ini, termasuk di dalamnya adalah mikroplastik.
Mikroplastik merupakan potongan sampah-sampah kecil, sabut, maupun butiran sampah plastik dengan ukuran diameter 1 mikrometer hingga 5 milimeter, merupakan bentuk paling banyak dari sampah plastik sampah di laut. Adapun bentuk sampah plastik lainnya adalah nanoplastik dengan ukuran lebih kecil dari 1 mikrometer dan makroplastik dengan ukuran lebih besar dari 5 milimeter.
Sampah mikroplastik berasal dari sampah-sampah dalam ukuran besar. Mereka kemudian berubah akibat tindakan mekanis dan degradasi oleh fotooksidasi, menjadi bahan-bahan lebih kecil. Mikroplastik juga termasuk benda-benda yang diproduksi dalam ukuran kecil. Misalnya bahan kosmetik, partikel sintetis untuk menambal kapal, serta mikrosfer yang digunakan dalam kedokteran untuk mengirimkan obat-obatan.
(baca : Lima Negara yang Berkontribusi terhadap Krisis Sampah di Lautan)
Bentuk sekunder mikroplastik terjadi melalui fragmentasi sampah plastik di lingkungan melalu fotooksidasi, kegiatan mekanis, dan biodegradasi. Menurut riset itu, tidak ada kurun waktu dan cakupan fragmentasi yang jelas. Pada suhu dingin, di mana oksigen ditemukan dalam jumlah terbatas di kawasan perairan, perlu waktu sampai 300 tahun bagi 1 mm partikel untuk menjadi partikel dengan diameter 100 nm.
Menurut riset tersebut, mikroplastik menjadi hal mengkhawatirkan karena ukurannya yang kecil maka bisa menjadi makanan bagi biota laut. Mikroplastik bisa tertelan oleh pemakan yang tinggal di dasar laut dan ditemukan pula pada invertabrata, ikan, penyu, dan biota lain yang berukuran lebih besar, termasuk jenis yang dikonsumsi manusia atau memainkan peran penting dalam ekologi.
Plastik modern pada umumnya merupakan kombinasi kompleks dari polimer, bahan kimia tambahan, dan bahan beracun. Penyerapan bahan organik, bakteri, dan kontaminan kimia menambah kompleksitas plastik. Perpindahan bahan-bahan itu kepada binatang laut telah meningkatkan potensi mereka mendapatkan dampak buruk.
Banyak bahan tambahan plastik dan bahan kimia yang ditularkan melalui air laut secara terus menerus telah menjadi penghambat endokrin atau bahkan mengubah metabolisme dan reproduksi akhir biota tersebut.
Di sisi lain, riset juga mengungkapkan tentang tidak adanya antisipasi terhadap bahaya mikroplastik. Meskipun sudah ada fakta mikroplastik merupakan hal berbahaya, namun belum ada aturan untuk membatasi penggunaan plastik termasuk mencegahnya agar tidak mengalir ke laut. Hal itu karena kurangnya pengetahuan bagaimana dampak kerusakan individual di laut bisa berdampak terhadap kerusakan ekologis.