Siapa Pemilik Pulau Pari Sebenarnya?

Kekecewaan dirasakan warga Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta setelah pelaporan mereka tentang upaya privatisasi pulau tersebut oleh PT Bumi Pari Asri (BPA) lambat direspon Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Kantor Staf Presiden (KSP).

Bersama Koalisi Selamatkan Pulau Pari (KSPP), warga dan nelayan Pulau Pari secara bersama menyatakan bahwa hingga saat ini kedua lembaga Negara tersebut tidak merespon pelaporan mereka. Akibatnya, hingga saat ini tidak ada perkembangan penyelesaian permasalahan tersebut.

Adapun, pelaporan yang disampaikan kepada Kementerian ATR/BPN dan KSP tersebut, adalah tentang upaya perampasan tanah oleh PT BPA yang ingin melakukan privatisasi pulau. PT BPA mengklaim memiliki 90% wilayah pulau pari dari total 42 Hektar lahan di pulau pari.

 

 

Ketua Forum Peduli Pulau Pari Sahrul, menyampaikan laporan pertemuannya dengan dua lembaga tersebut. Selain menjelaskan tentang masalah yang terjadi, dia mengaku dalam pertemuan tersebut disampaikan juga semua data tentang upaya privatisasi pulau oleh PT BPA. Kemudian, disampaikan juga laporan intimidasi dan pelanggaran yang dilakukan PT BPA pada Maret 2017.

“Kami mengadukan telah terjadi pelanggaran administrasi atas terbitnya sertifikat yang dimiliki PT Bumi Pari,” ucap dia.

Saat menyampaikan pelaporan, Sahrul menyampaikan, pihaknya bersama koalisi meminta KSP bisa segera memanggil Kementerian ATR/BPN dan memeriksa proses penerbitan surat yang dimiliki PT BPA. Dengan adanya pemeriksaan, dia berharap akan ada pembatalan sertifikat yang dimiliki PT BPA karena penuh dengan pelanggaran.

Akan tetapi, menurut Sahrul, hingga saat ini, tak ada perkembangan apapun dari KSP terkait pelaporan tersebut. Meskipun, pada saat bersamaan, pihaknya juga sudah mengajukan permohonan pembatalan sertifikat hak atas tanah di Pulau Pari ke Kementerian ATR/BPN secara langsung.

“Namun, tetap saja tidak ada perkembangan apapun,” ucap dia.

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang ikut memperjuangkan hak nelayan di Pulau Pari, mengecam lambatnya respon yang diperlihatkan Pemerintah melalui dua lembaga di atas. Menurut perwakilan KNTI Tigor Gemdita Hutapea, sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat, sudah seharusnya KSP dan Kementerian ATR/BPN menindaklanjuti permasalahan masyarakat.

“Tidak boleh membiarkan begitu saja permasalahan masyarakat,” tegas dia.

 

Dermaga Pulau Pari, pintu gerbang utama menikmati keindahan alam di Pulau Pari. Foto: Aji Wihardandi

 

Harapkan Ombusdman RI

Mengingat tidak ada respon apapun dari KSP dan Kementerian ATR/BPN, Tigor menyebut, harapan satu-satunya yang masih tersisa adalah di tangan Ombusdman Republik Indonesia. Kepada lembaga tersebut, warga sudah mengirimkan surat resmi berisi tentang upaya privatisasi yang dilakukan PT BPA.

Dari surat tersebut, Ombusdman langsung merespon dengan mengirimkan surat balasan pada 3 Mei lalu. Dalam surat itu Ombusdman meminta agar nelayan Pulau Pari dapat memberikan data-data penguasan lahan untuk dilakukan verifikasi dengan sertifikat PT BPA.

“Kita pernah berkirim surat yang menjelaskan bahwa PT Bumi Pari Asri menguasai lima bidang tanah di Pulau Pari,” sebut dia.

Mengingat cepatnya respon yang diberikan Ombusdman RI, warga Pulau Pari kini menaruh harapan besar kepada lembaga tersebut untuk bisa segera memeriksa kebenaran munculnya sertifikat yang dimiliki PT BPA. Menurut perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Ronald Siahaan, ada pelanggaran yang dilakukan BPN Jakarta Utara dalam menerbitkan sertifikat.

“Sehingga berdasarkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 9 Tahun 1999 dan Permen ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2016 dapat dilakukan pembatalan sertifikat,” jelas dia.

Menurut Ronald, sebelum muncul respon dari Ombusdman, pihaknya berharap ada koordinasi antara tiga lembaga negara tersebut, yakni Ombusdman, Kementerian ATR/BPN, dan KSP. Namun, harapan tersebut tak pernah terwujud karena dari ketiganya, hanya Ombusdman saja yang memberikan respon tentang kasus tersebut.

Di sisi lain, dalam beberapa waktu ini, kata Ronald, pihak PT BPA dan aparat Pemerintah justru memaksa agar warga menerima berbagai solusi yang ditawarkan. Diantaranya, agar warga dapat menyewa tanah di Pulau Pari, dan atau membeli tanah sesuai dengan nilai jual objek pajak (NJOP) ke PT BPA.

“Namun, nelayan telah menolak solusi itu dan memih menyelesaikan masalah ini ke Ombudsman RI,” tandas dia.

 

Pemandangan dari tepian pantai di Pulau Pari. Foto: Aji Wihardandi

 

Di atas segala hal, Ronald mewakili nelayan Pulau Pari menuntut agar  KSP ataupun Kementerian ATR/BPN bersama-sama dengan OmbudsmanRI dapat  menyelesaikan masalah nelayan Pulau Pari dan menjamin hak-hak kepemilikan dan penguasaan warga yang telah turun-temurun dimiliki.

“Apalagi, keberadaan nelayan telah dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan,” jelas dia.

Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara Firdaus membenarkan bahwa ada sekitar 80 nama perorangan yang memiliki sertifikat hak milik atas Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Mereka kemudian membuat konsorsium perusahaan PT Bumi Pari Asri.

“Selama ini Pulau Pari itu dimiliki oleh 80-an nama yang bersertifikat perorangan, baru kemudian konsorsium menjadi PT Bumi Pari Asri,” jelas dia.

Sebelum mereka mendirikan konsorsium, Firdaus mengaku, 80-an nama tersebut pernah mengajukan permohonan hak kepada Kejari Jakut atas kepemilikan tanah mereka di Pulau Pari. Dengan permohonan hak, maka tanah mereka yang belum bersertifikat itu bisa digunakan untuk kepentingan pribadi.

“Tanah tersebut hak milik perseorangan. Jadi, PT Bumi Pari Asri tidak punya hak di sana. Saat ini, PT tersebut hanya memiliki hak guna bangunan,” tutur dia.

 

Suasana di perkampungan warga di Pulau pari, nyaman dinikmati dengan bersepeda. Foto: Aji Wihardandi

 

Berkas Perkara

Berkaitan dengan kriminalisasi yang dialami tiga nelayan asal Pulau Pari pada 11 Maret lalu, Kepolisian Resort Kepulauan Seribu telah melimpahkan berkas perkara kasus tersebut ke Kejaksaan Negeri Jakarta Utara. Pelimpahan dilakukan pada 15 Mei lalu. Ketiga nelayan yang dimaksud, adalah Mustaghfirin alias Boby, Bahrudin alias Edo, dan Mastono alias Baok.

Ketiga Nelayan tersebut dipidanakan,karena diduga melakukan pungutan liar (pungli) di pantai Perawan, PulauPari. Ketiganya ditangkap aparat Polres Kepulauan Seribu pada 11 Maret lalu dan dituduh melakukan pungli dengan membebankan biaya sebesar Rp5.000 kepada para wisatawan yang ingin masuk ke wilayah pantai Pasir Perawan.

Tim Advokasi Selamatkan Pulau Pari yang mengetahui ada pelimpahan berkas perkara tersebut ke Kejari Jakut, mengaku terkejut. Pasalnya, sebelumnya tim sudah mengirimkan surat permohonan agar dilaksanakan gelar perkara ke Kejari Jakut.

“Kami telah mengirimkan surat permohonan untuk dilakukan gelar perkara, kami ingin memperlihatkan didepan Polisi dan Jaksa bahwa tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan oleh ketiga nelayan. Kami berkesimpulan kasus ini dipaksakan oleh pihak kepolisian. Sehingga sudah seharusnya dilakukan penghentian perkara terhadap perkara ini,” ungkap pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Matthew Michele Lenggu.

Matthew menjelaskan, pihaknya berani menyimpulkan seperti itu, karena tim hukum sudah melakukan pengecekan dilapangan dan ternyata Pantai Perawan tersebut adalah wilayah kelola bersama nelayan. Kata dia, nelayan-nelayan Pulau Pari bersama-sama membuka Pantai Perawan sebagai tempat wisata.

“Untuk menjaga Pantai Perawan tetap bersih, seluruh warga sepakat para wisatawan yang berkunjung dikenakan biaya Rp5.000. Namun, apabila ada wisatawan yang tidak ingin membayar, warga tetap mempersilakan mereka masuk. Sifanya tidak memaksa,” papar dia.

Selain tidak ada pemaksaan, Matthew meyakinkan bahwa uang retribusi dari wisatawan juga tidak untuk kepentingan pribadi, melainkan itu untuk kepentingan bersama. Uang tersebut, kata dia, digunakan untuk membayar petugas kebersihan, penerangan listrik, membangun sarana dan prasarana pantai, membangun tempat ibadah dan menyantuni anak yatim.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,