Merestorasi Sungai dan Memanen Air Bersama Agus Maryono

Agus Maryono sibuk dengan telpon pintarnya, Ia didaulat menjadi admin berbagai grup Whatsapp untuk pelbagai gerakan restorasi sungai. Tak hanya satu, tapi puluhan. Semua bicara konservasi sungai, di berbagai wilayah di Indonesia.

Gerakan ini mengedepankan tujuan, ingin melihat sungai bersih, sehat, produktif, lestari, aman, tidak banjir, tidak kekeringan dan bermanfaat. Ada 22 ribuan orang terlibat, langsung maupun tak langsung.

Agus sehari-harinya bekerja sebagai dosen jurusan Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Tahun 2015, ia menerima penghargaan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku tokoh pelopor restorasi sungai.

Semua berawal dari ide Agus tentang konsep restorasi sungai guna mengembalikan sungai sesuai fungsi ekologinya. Di Yogyakarta, dia dan timnya aktif menyosialisasikan restorasi sungai diantaranya Winongo, Tambak Bayan, Kuning dan Gajah Wong. “Sungai-sungai  masih dipenuh sampah, limbah, di pemukiman dan perkotaan. Sungai dikelola tidak memperhatikan ekosistem. Padahal sungai berguna bagi manusia,” jelasnya.

Mongabay Indonesia berkesempatan menggali gagasan Agus dalam sesi wawancara di kantornya di Yogyakarta awal Mei lalu. Berikut petikannya:

 

Mongabay Indonesia: Bagaimana perubahan budaya dan pola pikir di masyarakat dan pemerintah terhadap sungai?

Agus Maryono: Perubahan pandangan baru dimulai tahun 2012-2013. Sudah ada satu langkah awal perubahan, tidak lagi melihat sungai sebagai entitas untuk dieksploitasi tapi penting dikonservasi. Konservasi dikaitkan dengan makin tinginya bencana ekologi yang terjadi.

Kementerian Pekerjaan Umum dan KLHK mulai menyadari restorasi harus didorong lewat kerjasama dengan masyarakat di tingkat Rukun Tetangga agar sungai bisa dikonservasi secara berkelanjutan.

Dahulu, pandangan masyarakat melihat sungai sebagai alur air, boleh buang sampah, limbah dan lainnya. Belum muncul kesadaran masyarakat menjaga kelestarian sungai. Perlu dorongan kuat bahwa sungai dan DAS harus dikonservasi, agar bisa dimanfatakan secara berlanjutan.

 

Kondisi luapan banjir bandang di Kampung Cihanjawar, Desa Margamulya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung (3/5/2017). Sungai meluap indikasi rusaknya kawasan hulu. Foto : Istimewa

 

Bagaimana anda melihat pengelolaan air dan DAS saat ini?

Pengelolaan air dan DAS masih terpisah antar KLHK, Kementan, dan Kementerian PUPR. Program tak dibangun terintegrasi antar instasi tersebut. Kedepan, perlu ada Badan Otoritas tertentu untuk menggabungkan atau mengkoordinir kerja-kerja terkait, jika perlu Badan Pertanahan dan Kemendagri juga terlibat.

Jika itu terjadi, maka optimisme mengembalikan kelestarian 6.500 sungai besar, dan 6,5 juta sungai kecil sangat mungkin dilakukan. Namun jika pendekatan program hanya berbasiskan program, maka tak akan selesai.

Apabila masyarakat tak diajak dan tidak diberikan kewenangan membangun konservasi DAS dan sungai maka persoalan pun tak akan selesai. Masyarakat dan industri terus buang sampah dan limbah, serta penebangan hutan masih terjadi secara masif. Pemerintah harus berubah. Dari orientasi program ke gerakan untuk mengerem laju perusakan.

Baca juga: Bangsa yang telah Berkhianat kepada Sungainya

 

Sampah dari sungai yang dijaring agar tidak masuk dalam perairan laut di Bali. Foto: Anton Muhajir

 

Seberapa perlu reformasi pengelolaan Sungai dan DAS?

Saya prihatin cara pandang sebagian besar masyarakat terhadap permasalahan sumberdaya air yang masih konvensional. Sungai didefinisikan sebagai drainase alam, di mana drainase dibuang ke laut. Secara kualitas, air sungai-sungai di Indonesia itu kotor sekali. Mulai dari limbah industri dan limbah rumah tangga, semua masuk ke sungai.

Juga cara pikir pemerintah. Pinggir sungai dibeton yang sebenarnya merusak sungai. Padahal butuh dana besar untuk membeton. Juga pantai dan pesisir diuruk untuk membuat jeti, sesuai keinginan konstruksi. Itu tak berkelanjutan.

Permasalahan lain adalah merangseknya pemukiman ke bantaran sungai. Kalau ada pengembang yang membeli tanah dan membangun di sekitar sungai, kami lakukan protes karena itu penyerobotan sempadan sungai. Pinggir sungai boleh dimiliki, tapi tidak boleh dibangun permanen. Reformasi sungai sudah jadi keharusan.

 

Bagaimana korelasi pengelolaan DAS dengan pengendalian banjir?

Banjir beruntun dan meluap di mana-mana karena pemerintah menggarap konservasi DAS sangat lemah, khususnya karena adanya perubahan penggunaan lahan yang tidak ditangani secara serius.

Pengendalian banjir yang dapat dilakukan melalui pengelolaan daerah hulu terdiri atas reboisasi dan konservasi hutan, pengelolaan dan konservasi lahan pertanian-perkebunan, serta konservasi alur sungai, danau, dan embung, baik ukuran kecil maupun besar. Konsepnya menahan air di hulu. Tinggal kemauan bersama pengambil kebijakan, kerja sama antara departemen dengan melibatkan seluruh masyarakat.

Saya memprediksi banjir bandang di seluruh Indonesia akan terus terjadi dalam 5-10 tahun mendatang, sebab banjir diinisiasi oleh gempa. Gempa bumi akan diikuti banjir, bisa banjir bandang dan banjir lumpur. Daerah paling rentan adalah daerah tebing. Jika tebing sungai labil, potensial longsor jika ada gempa. Longsoran akan menutup sungai di banyak tempat, tertutup separuh hingga penuh.

Secara kuantitas, banjir terjadi saat musim hujan, kekeringan saat musim kemarau, kebutuhan air meningkat, kesehatan masyarakat menurun karena kurang air bersih, problem masyarakat pesisir terus meningkat, serta di pegunungan longsor dan erosi terjadi.

 

Banjir di kawasan Surabaya, yang diakibtkan oleh limpasan air sungai yang meluap beberapa waktu lalu. Foto: Petrus Riski

 

Ada 15 DAS prioritas dalam Pemerintahan Jokowi. Bagaimana implementasinya?

Data Dirjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung KLHK, sekitar 70% sungai di Indonesia tercemar berat. Perlu perbaikan mulai DAS, badan sungai dari hulu, tengah, hilir sampai muara, dan pantai, laut hingga pesisir. Terkait 15 DAS prioritas, jika itu dilakukan hanya di titik tertentu dan tak terintegrasi antar kementerian, maka tak berarti apa-apa. Belum ada hasil signifikan.

Ada lima konsep restorasi sungai yang saya tawarkan untuk meningkatkan eksistensi dan mengembalikan esensi sungai. Yakni, restorasi hidrologi, ekologi, morfologi, sosial ekonomi, serta kelembagaan/peraturan. Hidrologi untuk memantau kuantitas dan kualitas air, ekologi lewat pemantauan flora fauna sungai, morfologi meninjau bentuk keaslian sungai. Restorasi sosial ekonomi untuk melihat manfaat sungai bagi masyarakat, dan restorasi kelembagaan fokus membuat aturan pelestarian sungai.

 

UU Sumberdaya Air dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Pendapat anda?

Menurut saya tidak semua isi UU itu salah, 60 persen sudah dijalurnya. Namun memberikan hak membisniskan air, itu yang salah. Air milik publik, masyarakat yang memiliki dan menjaga sumberdaya air. Implementasi pemberdayaan harus dilakukan. Dana harus cukup, masyarakat yang berdaya akan menjaga sumber air sebaik-baiknya dan terus-menerus.

 

Bagaimana UU SDA kedepan agar Sungai dan DAS terproteksi?

Dalam UU baru sumberdaya air perlu dikuasai negara dan didukung masyarakat. Perihal konservasi dalam UU harus kuat dan clear. UU harus bisa menggerakan masyarakat. Pemanfaatan dan pengendaliannya harus sesuai konservasi. Sumberdaya air ketika dimanfaatkan pun harus mempertahankan kualitas sumberdaya air. Contohnya pembangunan bendungan dan cek-dam, itu mengendalikan air namun merusak ekologi dan membuat sedimentasi di hulu dan hilir.

 

Warga Desa Pematang Cengal, Tanjung Pura, Langkat, bahu membahu memanen paksa padi mereka disebabkan banjir yang menggenangi sawah dan mengancam rusaknya padi mereka. Foto: Ayat S Karokaro

 

Anda menggerakan masyarakat memanen air hujan. Mengapa?

Hujan adalah air yang paling bersih di dunia karena air hujan adalah hasil destilasi air laut. Memanen air hujan itu istilah lain dari mengelola. Bagaimana saat hujan air bisa kita tangkap dan tampung untuk kebutuhan mandi, cuci, dan sebagainya. Kelebihannya, kita masukan ke tanah untuk mengisi air tanah.

Air hujan sebagai satu-satunya sumber air bersih manusia, saat ini mayoritas dibiarkan langsung mengalir ke laut karena resapan yang sudah sangat minim. Hutan di hulu sebagai penyimpan air bersih raksasa pun makin gundul karena aktivitas manusia.

Kalau setiap orang melakukan itu maka sebenarnya dia sudah terhindar dari kekeringan karena kualitas air hujan untuk minum bagus, kebutuhan air yang lain juga bagus, dan mengisi air tanah juga bagus.

Kita tidak akan kekeringan karena sudah menampung di dalam tanah dengan injeksi langsung ke tanah atau di samping menampung di luar tanah dengan tanah. Air hujan tidak menyebabkan banjir, dan tidak menyebabkan kekeringan. Harus diupayakan agar air hujan bisa bernilai bagi semua orang.

Di Indonesia sudah mulai ada gerakan memanen air hujan, namun masih banyak juga yang belum berpikir. Kalau hujan deras hanya baru melihat. Belum berpikir ini air bersih. Butuh waktu lama untuk menyadarkan orang tentang air hujan. Gerakan restorasi sungai dan memanen air hujan tidak bisa dikerjakan orang per orang atau pemerintah saja. Urusan air itu, urusan kita bersama.

Sebagai contoh sumberdaya air di Indonesia mengalami ancaman, misal Jogja itu kalau musim hujan bisa banjir di Code dan Winongo, airnya banyak, tapi air tanah turun terus. Setahun sampai 50 cm karena pengisian air tanahnya kurang karena lahan sudah ditutup dengan banyak beton dan di Merapi sana pastinya sudah banyak pertumbuhan hunian.

Di sejumlah titik di Jakarta dan Yogyakarta, laju penurunan muka air tanah setiap tahun mencapai 10-11 cm. Kebutuhan air bersih, baik rumah tangga, perkantoran, mal, hotel, dan semua entitas ekonomi yang sangat padat di perkotaan, sebagian besar hanya mengandalkan pengambilan air tanah.

Di level perundangan, pemerintah harus segera membuat aturan koefisien bangunan dan kewajiban resapan yang harus dipunyai, terutama untuk bangunan komersial seperti mal, hotel, dan gedung perkantoran. Sementara, di level rumah tangga, penyadaran dengan teladan dan suport materi maupun pengetahuan bisa segera dimulai.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,