Pulau Mare, Tidore Kepulauan, Maluku Utara, sejak 2012 jadi kawasan pencadangan konservasi laut untuk penyu dan lumba-lumba. Pulau seluas 200 hektar ini sebenarnya memiliki kekayaan alam begitu kaya seperti mangrove, terumbu karang dan padang lamun, tetapi belum tertangani dengan baik. Bahkan ancaman menghantui ekosistem perairan pulau ini karena banyak aksi tangkap ikan pakai bom dan racun.
Berdasarkan riset Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2013, menyebutkan, kondisi umum tutupan karang keras hidup di Pulau Mare berkisar sedang hingga baik. Mare memiliki potensi besar buat wisata edukasi termasuk penelitian.
Baca juga: Di Balik Keindahan Pulau Mare
Riset KKP juga temukan, bagian Tenggara ada 56 jenis ikan, Timur ada 54 jenis ikan dan bagian Utara sebanyak 55 jenis. Hutan mangrove di Mare terbilang rimbun dan tumbuh baik.
Pulau Mare, terletak sekitar empat kilometer di sebelah selatan Pulau Tidore ini berbukit, hanya sebagian kecil dataran rendah landai sebagai pemukiman. Pantai juga bertebing batu, hanya sebagian kecil pasir.
Pulau ini terbilang mudah dijangkau. Akses menuju Kota Tidore Kepulauan, cukup lancar. Bisa dari Pelabuhan Bastiong, Ternate, menuju Pulau Tidore atau dari Tidore, lewat pelabuhan penyeberangan rakyat di Kelurahan Tomalou. Dapat juga menyewa perahu motor nelayan.
Penduduk pulau ini, Desa Mare Kofo, bekerja sebagai petani dan nelayan. Begitu juga Desa Maregam. Di Maregam, sebagian besar warga perajin gerabah yang sudah berlangsung turun temurun.
Warga Mare menangkap ikan mayoritas dengan cara tradisional pakai armada kapal mesin tempel (katinting) atau kapal kayu (tak bemesin). Alat tangkap pun pakai pancing, jaring dan rumpon.
Meski begitu ada juga pakai alat tangkap kalase dengan jaring sepanjang 60 meter, lebar sekitar 11 meter. Jaring ditarik beberapa orang menuju perahu pengumpul. Di sekitar jaring terpasang daun kelapa untuk menepuk air agar ikan masuk ke jaring.
Guna mengetahui keberadaan ikan, biasa nelayan ada yang menyelam dengan bantuan kompresor.
Untuk tangkap ikan, mereka pakai empat kapal motor sekitar 35 orang per kapal. Jenis ikan sasaran tangkap seperti pelagis kecil. Hasil tangkapan nelayan sekitar Mare, antara lain cakalang, tuna yang mereka pasarkan ke Tidore.
Udin, warga Mare Kofo, mengatakan, mereka masih pakai kalase karena tak ada alat tangkap lain yang mereka miliki. Mereka juga tak bisa menangkap ikan keluar dari Pulau Mare karena dilarang warga pulau lain.
“Kalase ini ditolak warga Pulau Moti maupun Pulau Makean. Akhirnya, warga Mare hanya bisa menangkap ikan di laut sekitar Mare,” katanya.
Konservasi terancam
Perairan Mare termasuk Kahiya Masolo mengkhawatirkan karena masih ada yang menangkap ikan pakai bom dan potassium. Bahan terlarang ini jelas mengancam biota laut. Terumbu karang pun banyak rusak.
“Kalau pengeboman ikan itu hampir setiap saat,” kata Kades Mare Kofo Rabihim Senen.
Dia bilang warga Pulau Mare tak tangkap ikan pakai bom atau racun. Kebanyakan, katanya, penangkap ikan pakai bom dari Halmahera Barat. Mereka mengebom saat warga akan shalat Jum’at.
“Waktu Jum’at, tak ada yang berada di laut hingga mereka bebas beraksi.”
Abdul Khalis, pegiat penyelamatan terumbu karang di Tidore Kepulauan mengatakan, hasil penyelaman mereka di daerah ini menemukan terumbu karang rusak.
Penyebab kerusakan, katanya, manusia dan alam. Manusia lewat kegiatan membahayakan seperti tangkap ikan pakai bom dan racun, sedang alam seperti gelombang besar ikut merusak terumbu karang di Mare terutama Kahiya Masolo.
Belum lagi, terumbu karang untuk keperluan rumah tangga. Hal itu bisa terlihat di depan Desa Mare Gam, ada batu karang sebagai penangkal ombak.
Khalis mengatakan, lumba-lumba pun mulai berkurang. Dia pernah melihat lumba-lumba di Kahiya Masolo. Dia juga pernah membuat video lumba-lumba. “Sekitar lima tahun lalu saya pernah melihat lumba-lumba bermain di Kahiya Masolo. Belakangan sudah tak terlihat lagi,” katanya.
Menurut dia, waktu bermain lumba-lumba pada pagi hari sekitar pukul 09.00 dan sore hari pukul 17.00. Mereka bermain beberapa jam di Kahiya Masolo, lalu ke luar menuju laut lepas.
Dia menduga, lumba-lumba makin minim karena karena banyak masalah lingkungan laut seperti pengeboman ikan. Bom marak bikin ikan-ikan pelagis atau sumber makanan lumba-lumba habis. Akhirnya, mereka tak lagi bermain di kawasan itu.
Thamrin Ali Ibrahim, Direktur Lembaga Pesisir dan Lautan (eLSIL) Maluku Utara mengatakan, instansi terkait, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan baik kota maupun provinsi belum memiliki perhatian serius soal konservasi. “Jangan hanya bicara perikanan terfokus pada produksi dan pengolahan ikan.”
Dia bilang, pemerintah daerah wajib bikin perencanaan program di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD). Apalagi KKPD Mare telah di SK-kan walikota dan telah diserahkan ke provinsi.
“Tidak boleh membiarkan masalah ini berlarut-larut. Soal pengeboman ikan jadi otoritas DKP dan Polairud sebagai lembaga hukum. Mereka harus cepat mengambil langkah.”