Menelisik Peran Amfibi di Lingkungannya Secara Alami

Sorot sinar headlamp milik Ganjar Cahyadi (26), menembus gelapnya taman kampus di Institut Teknologi Bandung (ITB), Jatinangor,Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Kamis, (18/5/2017). Dengan membawa perlengkapan berupa tas selendang, tongkat dan kamera digital yang tersampir di leher. Secara perlahan melangkah menuju pojokan taman.

Bukan tanpa alasan, pria yang juga alumnus ITB itu mendatangi tempat – tempat yang mungkin oleh sebagian orang kurang diperhatikan. Dan seperti telah terbiasa, dia tidak kesulitan menemukan apa yang dicari yaitu amfibi. Hewan yang hidup di dua alam serta satu-satunya vertebrata yang mengalami metamorfosis lengkap.

 

 

Kurang dari sewindu tahun, Ganjar menghabiskan waktu untuk mengamati amfibi. Jadi tak heran, cukup dengan memperhatikan lingkungan sekitar, dia sudah mampu menerka jenis amfibi berdasarkan karakterisik lingkungannya.

“Sekarang perkembangan amfibi tumbuh ditengah rencana pembangunan. Ada yang toleran dan tidak yang toleran terhadap perubahan. Contohnya disini,” katanya. “Disini banyak Bufo melanostictus atau bangkong budug, dekat dengan air dan termasuk katak yang toleran.”

Dengan ditemani beberapa mahasiswi, dia mengajak berkeliling mencari amfibi lainnya yang toleran pada lingkungan. Sepanjang jalan, mulutnya terus menjelaskan gambaran tentang hewan penyusun rantai makanan tersebut.

 

Katak sungai berbintik (Pulchrana picturata), salah satu jenis amfibi yang ditemukan di kawasan Bandung, Jabar. Foto : Ganjar Cahyadi

 

Menurut pria lulusan jurusan biologi murni tersebut, keberadaan amfibi dapat dijadikan sebagai salah satu tolok ukur perubahan lingkungan. Karena amfibi merupakan hewan berdarah dingin yang tidak bisa mengatur suhu tubuh. Sehigga sangat sensitif terhadap anomali lingkungan.

Sejauh ini, belum banyak pengamatan tentang amfibi di Indonesia. Padahal masih sangat luas untuk dikembangkan terkait taksonomi dan molekulernya. Adapun penelitiannya lebih sering ke flag spesies (spesies kunci) dan umbrella spesies (spesies payung) yang menjadi pendukung keberhasilan upaya konservasi spesies lain.

Bahkan dalam segi penelitian amfibi dan reptil, katanya, Indonesia jauh tertinggal dari negara lain seperti Malaysia dan Thailand yang mulai mengembangkan penelitian molekuler. “Tapi bagi saya ini menarik karena belum banyak dikaji. Taksonominya saja masih belum semua terungkap,” kata dia kepada Mongabay yang berkesempatan ikut mengamati.

 

Kura-kura bergerigi atau Asian leaf turtle (Cyclemys dentata) biasa hidup di air tawar, di sungai besar atau kecil yang mengalir lambat. Amfibi dan raftil dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan. Namun, sejauh ini belum banyak penelitian akan hewan tersebut. Foto : Ganjar Cahyadi

 

Ganjar menceritakan, penelitian dilakukan di Pulau Sumatera, Jawa hingga Papua. Dari catatannya, dia berhasil memukan 89 spesies amfibi dan 120 spesies reptil. “Dari spesies yang saya temukan hampir 57% terancam punah versi IUCN dan 43% data deficient (informasi kurang),” katanya.

Penelitian di Riau, jelasnya, membuktikan bahwa mega biodiversity yang disematkan kepada Indonesia belum sepenuhnya terungkap. Pasalnya, di hutan gambut dengan kondisi rusak saja ditemukan spesies amfibi baru. Diduga ketika hutan dalam kondisi alami, masih banyak spesies lain yang belum terindetifikasi.

“Potensi di Indonesia belum banyak yang dieksplor. Papua masih misteri, hanya sedikit diteliti. Rata – rata satu hari itu nambah 1 spesies baru amfibi atau reptil,” ujarnya.

Dari kacamata saintifik, amfibi lebih kuat secara kuantitatif dibandingkan mamalia. Alhasil lebih mudah mengidentifikasi walau di waktu yang beda. Efek dari itu adalah hasil penelitiannya lebih mudah dipercaya.

 

Cecak jari-lengkung atau Cyrtodactylus sp. Foto : Ganjar Cahyadi

 

Hubungan Terhadap Lingkungan

Secara keseluruhan amfibi sangat bergantung pada ketersediaan air sebagai tempat berkembangbiak. Jika ditemukan kontaminan dalam partikel air. Hal itu bisa menyebabkan tumbuh kembang amfibi mengalami kecacatan atau kurang lengkapnya organ tubuh amfibi.

“Saya temukan di satu daerah dengan kondisi lingkungannya bagus. Tetapi saat melakukan penelitian amfibi, ditemukan ada cacat. Setelah ditelusuri ternyata ada pertambangan emas yang mencemari sungai,” ucapnya.

Selain itu, amfibi juga memiliki habitat lebih spesifik yang disebut mikrohabitat. Meskipun berada pada aliran sungai, namun amfibi memiliki teritori khusus. Sehingga mudah mendeteksi jika terjadi pencemaran lingkungan. Ada juga amfibi yang habitatnya arboreal (menetap di pohon) dan terestrial (diatas tanah).

Kini, permasalahannya dihadapkan dengan degradasi lahan yang cukup sulit dikendalikan. Ditambah dengan buruknya tata kelola perencanaan pembangunan yang seringkali kurang mengindahkan aspek lingkungan. Imbasnya terjadi perubahan suhu yang dapat berdampak luas.

 

Kadal kebun (Emoia cyanogaster). Foto : Ganjar Cahyadi

 

“Saya kira lingkungan yang baik itu tidak lepas dari peran biotik yang baik. Perhatiannya mesti sudah mulai merujuk pada itu (mengamati amfibi). Sebab secara alami hewan mempunyai daya tahan tersendiri,” kata pria berkacamata tersebut.

Ketika asik membahas sedikit banyak soal pengaruh amfibi terhadap lingkungan, tetiba salah satu mahasiswi memanggil dari kejauhan, “Kang sini, aku menemukan sesuatu. Mungkin si alaihum gambreng”. Lalu dengan segera Ganjar menghampiri dan langsung memotret.

“Kadang ditempat seperti ini, saya masih menemukan spesies dinyatakan punah versi IUCN. Begitu juga raptil. Sulit ditebak juga, ya karena mungkin belum banyak penelitian,” paparnya.

Dia mengatakan, sama halnya seperti amfibi, reptil juga merupakan hewan berdarah dingin yang bergantung pada suhu lingkungan. Namun, reptil cenderung lebih kuat. Namun, karena bentuknya unik, maka reptil sering dijadikan objek peliharaan dan banyak terjadi over exploitation sehingga populasinya di alam semakin berkurang.

Tidak terasa jarum jam menunjukkan pukul 23.00 dan pengamatan pun dicukupkan. “Untuk pengamatan malam ini sudah cukup. Agenda selanjutnya mungkin akan diluar kampus. Mari balik lagi ke asrama,” pungkasnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,