Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan kini tengah merampungkan pembahasan kebijakan spasial wilayah pesisir dan pulau kecil, yakni Rencana Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Proses pembahasan Renperda telah sampai pada telaah dokumen di Kementerian Kelautan dan Perikanan Jakarta pada 30 Mei 2017 lalu.
Pembahasan Renperda ini dinilai sejumlah aktivis lingkungan di Sulsel terburu-buru, tidak partisipatif dan tidak transparan. Bahkan banyak poin yang muncul di pembahasan di KKP tersebut berbeda dengan pembahasan sebelumnya. Ranperda ini juga dinilai belum menjamin perlindungan lingkungan hidup pesisir dan laut serta wilayah kelola rakyat.
Menurut Yusran Nurdin Massa, Direktur Blue Forests, potret tata kelola pesisir dan laut Sulawesi Selatan selama 20 tahun ke depan sangat ditentukan oleh seberapa matang perencanaan zonasi dalam RZWP3K. Ini dinilai akan berdampak jangka panjang jika rencana tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam dokumen ini gagal menjawab kebutuhan pengelolaan berkelanjutan.
“Itulah mengapa sangat penting memastikan rencana ini disusun dengan baik, mempertimbangkan keseimbangan ekologi, sosial dan ekonomi. Tidak hanya sekedar menjawab kebutuhan ekonomi lalu meminggirkan kepentingan masyarakat dan lingkungan. Begitu pun sebaliknya. Masa depan pesisir dan laut Sulsel sangat bergantung pada perencanaan ini,” ungkap Yusran di Makassar, Sabtu (10/06/2017).
Yusran menilai di dalam dokumen RZWP3K terdapat beberapa ketidaksinambungan antara bagian-bagiannya. Misalnya pada bagian isu strategis serta bagian tujuan, kebijakan dan strategi dibandingkan dengan indikasi program dan pernyataan zona.
“Terlihat bahwa bagian pertama banyak mengulas tentang kerusakan dan kondisi terkini pesisir laut Sulsel dan kesadaran akan pentingnya menyerasikan tata kelola ekologi, sosial dan ekonomi namun pada bagian berikutnya terutama di zona pemanfaatan umum sangat kental keberpihakan pada kepentingan wilayah dan investasi,” katanya.
Penyusunan RZWP3K ini sendiri sudah dimulai sejak tahun 2014, namun sempat terhenti di tahun 2015-2016 karena tidak adanya alokasi anggaran pemerintah untuk merampungkan ini. Baru kemudian tahun 2017 dimulai lagi proses penyusunannnya.
Pada tahun 2014 ketika membahas tentang zoning, khususnya sub zona pertambangan pasir laut belum dibahas dan tidak termuat dalam pedoman umum penyusunan. Namun saat penyusunan tahun 2017, sub zona ini muncul dalam draft dokumen. Permen 23 tahun 2016 tentang penyusunan memasukkan ini.
Menurut Yusran, RZWP3K krusial bagi pemangku kepentingan di pesisir dan laut, karena menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dimana isi dokumen ini harusnya dipahami semua pihak dan diterima.
“Kenyataannya berbeda sehingga saya pikir ini masih sangat penting untuk diujipublikkan kepada khalayak untuk memastikan ruang kelola masyrakat lokal tidak dibatasi dan lingkungan tetap lestari,” katanya.
Nurlinda Taco, aktivis dari Galesong Utara, Kabupaten Takalar, yang sempat mengikuti pertemuan pembahasan RZWP3K di Jakarta mengeluhkan masuknya beberapa poin bahasan yang justru tak pernah ada pada saat pembahasan draf Renperda dengan masyarakat, sehingga ia berharap Renperda ini bisa dikaji ulang kembali.
“Prosesnya belum melibatkan pubik secara luas, dimana konsultasi publik baru satu kali dan pada saat ini tak ada pembahasan terkait alokasi ruang untuk tambang, tetapi ketika pembahasan di Jakarta tiba-tiba muncul angka 19.805,1 hektar lebih lokasi tambang di perairan Takalar,” keluhnya.
Sikap sama disampaikan oleh Walhi Sulsel, yang juga meminta agar finalisasi pembahasan Ranperda ditunda dan dilakukan pembahasan ulang bersama masyarakat untuk meninjau kembali alokasi ruang rencana zonasi khususnya yang berkaitan dengan reklamasi dan penambangan pasir laut.
“Dalam penyusunan RZWP3K harus mempertimbangkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dengan daya dukung lingkungan, ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan,” ungkap Asmar Exwar, Direktur Walhi Sulsel.
Aspek lain yang harus diperhatikan menurutnya adalah keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan pesisir. Termasuk kewajiban mengalokasikan ruang dan akses masyarakat dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai fungsi sosial, budaya dan ekonomi.
Kenyataannya, Ranperda ini dinilai belum menjamin keberlangsungan lingkungan hidup wilayah pesisir dan pulau kecil dan belum menjamin keberlangsungan pengelolaan sumber daya pesisir oleh masyarakat.
“Pertimbangan dalam penyusunan RZWP3K cenderung mengabaikan ruang-ruang pengelolaan masyarakat dan mengedepankan rencana pembangunan infrstruktur yang mengancam lingkungan.”
Asmar mencontohkan pada pembagian ruang dalam Ranperda RZWP3K, alokasi ruang untuk pertambangan pasir laut sebesar 47.957,32 km2 dari luas laut Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 94.399,85 km2. Khusus kabupaten Takalar, alokasi ruang tambang pasir laut di Galesong Utara sebesar 19.805.01 ha.
Namun, di sisi lain alokasi ruang untuk mangrove atau zona lindung hanya sebesar 8 km2 serta luas zona budidaya laut 7.490,72 km2. Alokasi ruang zona jasa dan perdagangan yang umumnya diarahkan ke perkotaan sebesar 29,11 km2, juga diperuntukkan untuk mengakomodir proyek reklamasi pesisir dan rencana pembuatan pulau-pulau reklamasi.
“Dari komposisi alokasi ruang ranperda RZWP3K, terlihat sangat jelas bahwa rencana zonasi lebih diarahkan sebagai payung hukum kebijakan pesisir yang eksploitatif dan mengakomodir keterlanjuran proyek reklamasi yang bermasalah. Alokasi ruang pertambangan pasir laut yang sangat besar merupakan ancaman terhadap pesisir dan laut Sulsel.”
Alokasi ruang konservasi dan zona lindung juga dinilai masih sangat minim di mana terdapat ketidakjelasan wilayah-wilayah kelola masyarakat dalam zona budidaya.
“Dibandingkan sebagai fungsi perlindungan dan pengelolaan kawasan yang berkelanjutan, Ranperda ini dinilai sangat bertolak belakang,” tambahnya.
Pada wilayah pesisir misalnya, justru lebih diarahkan untuk menunjang perluasan kawasan bisnis dan pemukiman elit bukan menunjang kehidupan masyarakat pesisir dan nelayan tradisional. Pembangunan dengan cara menguruk laut atau reklamasi telah berjalan secara ilegal di kota Makassar.
“Rencana penambangan pasir laut skala massif di kabupaten Takalar juga terus disiapkan oleh sedikitnya tujuh perusahaan tambang pasir laut. Penambangan pasir laut untuk material timbunan reklamasi telah mengancam kehidupan nelayan tradisonal dan kawasan budidaya perikanan laut,” tambahnya.
Selain itu, dalam ranperda RZWP3K Sulsel juga memasukkan rencana reklamasi ke dalam zona jasa dan perdagangan di 3 kota yakni Makassar, Bulukumba dan Palopo. Bahkan memasukkan point menyangkut pulau-pulau reklamasi. Padahal secara eksisting pulau reklamasi belum ada di Sulsel.
Menurutnya, kegiatan reklamasi sebagaimana diatur oleh perundang-undangan, seharusnya dilakukan untuk meningkatkan kebermanfaatan dan atau nilai tambah wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, sosial dan ekonomi.
“Pada kenyataannya ini malah dilakukan untuk keperluan pembangunan pulau-pulau reklamasi. Kondisi kota Makassar berbeda dengan kota Jakarta yang telah memiliki pulau-pulau hasil reklamasi. Dengan kondisi ini kita dapat melihat ke arah mana sebenarnya rencana zonasi ini dibuat, apakah untuk mengakomodir reklamasi atau menjamin perlindungan lingkungan wilayah pesisir dan pulau kecil atau sebaliknya.”