Mencari Pola Kelola Hutan Jawa agar Tetap Terjaga dan Tak Abaikan Warga

 

 

Hutan Jawa terus terancam karena berubah menjadi beragam peruntukan lain. Fakta lain, banyak warga di sekitar dan dalam hutan hidup dalam kemiskinan. Pola seperti apa yang dapat dikembangkan agar hutan terjaga bahkan bertambah dan kehidupan masyarakat sekitar lebih baik?  

 

Hutan Jawa terus tergerus. Data Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, deforestasi hutan Jawa 2013-2014 seluas 5.500 hektar. Laju deforestasi 2009-2013, menurut data Forest Watch Indonesia mencapai 326.953,09 hektar, atau 32,64%. Masih data FWI, tutupan hutan alam di Jawa pada 2013, tinggal 675.000 hektar,

Sisi lain, di hutan negara kelolaan Perhutani di Jawa ada lebih 6.000 desa hutan, dengan penduduk dari 35 juta jiwa. Sayangnya, kawasan sekitar hutan masih kantong kemiskinan. Secara nasional, 35% penduduk miskin Indonesia tinggal di sekitar hutan.  Ada upaya dari Universitas Gadjah Mada, mengembangkan hutan pendidikan dengan pengelolaan bersama warga.

Budiadi, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, mengatakan, banyak pihak masih terbuai romantisme kawasan hutan Indonesia yang luas, dengan keunggulan keragamanhayati, dan produktivitas tinggi.

“Sesungguhnya bertolak belakang dengan fakta,” katanya dalam acara mitigasi berbasis lahan di Yogyakarta.

Hutan, dulu disebut sistem penyangga kehidupan, dalam perkembangan terakhir jadi sumber bencana.

Selain penyebab bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan kekeringan, hutan rusak berpengaruh buruk atas iklim global.

Fungsi sebagai penyangga kehidupan, katanya, kemungkinan sudah tak bisa dicapai.

“Saya memperkirakan amanah menjaga bumi, menjaga hutan sedikit demi sedikit dicabut dari tangan rimbawan. Kita harus sadari rimbawan tengah jadi sorotan. Apa peran kita? Apa amanat kita dalam menjaga hutan tetap lestari?” katanya.

 

Hutan pendidikan

Pakar Kebencanaan dan Mantan Rektor UGM, Dwikorita Karnawati, mengatakan, hutan pendidikan seperti Wanagama di Gunung Kidul bisa jadi model konservasi hutan di Indonesia.

“Fakultas Kehutanan sudah puluhan tahun, bahkan sejak 60-an telah merintis Wanagama. Di sana batuan kapur, karst, tanah tandus, seperti tak mungkin jadi hutan. Kini sudah jadi selayaknya hutan tropis,” katanya.

Model pendekatan hutan pendidikan khusus, kata Budiadi, diharapkan bisa jadi acuan pengelolaan hutan ke depan.

Dia mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan hak kelola hutan Jawa dengan pembelajaran hasil pengelolaan hutan Wanagama.

“Ini jadi semacam test case atau upscalling dari pengelolaan hutan yang pernah kita miliki.”

Pada Agustus 2016, akhirnya keluarlah SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 632 untuk memberikan hak kelola atas kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) hutan Getas dan Ngandong seluas 10.921 hektar. Namun jauh sebelum itu hutan di Getas pada 1986 sudah menjadi kawasan praktik dan penelitian UGM.

 

Penandatanganan komitmen bersama penyelamatan hutan Jawa. Foto: Nuswantoro

 

Setelah melihat sendiri keberhasilan Integrated Forest Farming System (IFFS) di Randublatung, Blora, Sabtu, 7 Maret 2015, Presiden Joko Widodo lalu menginstruksikan agar pola sama diperluas untuk mendukung kedaulatan pangan.

“Tidak hanya di lahan Perhutani juga lahan lain. Ini demi peningkatan kesejahteraan petani hutan. Bahasa beliau, orientasi kegitan semua ke rakyat,” kata Satyawan Pudyatmoko, dosen Fakultas Kehutanan UGM.

Saat pertemuan itulah gagasan hutan pendidikan sebagai model tata kelola disampaikan kepada presiden.

Alasan  luas sampai 10.000 hektar karena teaching forest harus memiliki luasan cukup untuk mempelajari landscape.

“Hingga fungsi hutan bisa diukur, missal pengaruh daerah aliran sungai, keragaman kondisi ekonomi sosial, biofisik beragam,” katanya.

Selain itu,  agar dapat dikelola satu unit manajemen hingga bisa membiayai sendiri, termasuk rotasi pengelolaan hutan tanaman, sistem tumpang sari dan tumpang gilir.

Beberapa perbedaan dengan pengelolaan Perhutani. Di hutan pendidikan, kalau sebelumnya hutan produksi akan jadi hutan ekosistem. Dari hutan kelola perusahaan negara ke partisipasi rakyat lebih luas dan relasi lebih jelas antara pembangunan kehutanan dengan pembangunan wilayah bersifat lintas sektor.

“Ini keunggulan teaching forest yang kita bangun. Nanti upscalle di Indonesia Timur, Sulawesi, Papua, NTT, NTB yang memiliki iklim monsoon.”

 

Libatkan masyarakat

KHDTK Getas dan Ngandong, terletak di dua kabupaten yaitu Blora (Jawa Tengah) dan Ngawi (Jawa Timur). Luas keseluruhan 10.901 hektar, terbagi di Blora 8.646,10 hektar, dan Ngawi 2.254,90 hektar. Di Blora,  ada di tiga kecamatan, delapan desa. Ngawi,  ada satu kecamatan, tujuh desa.

“Kondisi hutan 40% tanah kosong, dan kantong kemiskinan di Blora dan Ngawi,” kata Teguh Yuwono, dosen Fakultas Kehutanan UGM.

Dia bilang, arti penting hutan Getas jadi bagian DAS Bengawan Solo, merupakan hutan produksi jati. Persoalan ekologi hutan Getas, akan pengaruhi ekosistem Jawa.

Tutupan vegetasi hutan Getas, 50% jati berumur lebih 20 tahun dengan pertumbuhan kurang produktif. Tanaman bukan jenis unggul.

Rencana tanaman pengganti jati prospektif bisa hasilkan 200-300 meter kubik per hektar usia 20 tahun. Bandingkan dengan jati biasa, umur 60 tahun hanya hasilkan setengahnya.

Nanti, katanya, pengembangan hutan ini akan melibatkan warga sekitar hingga dapat melepaskan mereka dari kantong kemikinan.

“Di sana rawan pencurian, perencekan, penggembalaan, dan penggarapan sawah. Kami akan dekati dengan reforma agraria, tapi bukan bagi-bagi lahan,” katanya.

Reforma agraria yang dimaksud, memberikan akses lebih luas kepada masyarakat terlibat aktif hingga mereka merasakan manfat pertama atas hutan itu.

Data menunjukkan pencurian tergolong tinggi, Ngandong,  hampir 25% dari lahan sementara, Getas hampir 5%. Perencekan di Ngandong 13,5% dari luas lahan. Penggarapan lahan di Ngandong 11,6% dari luas lahan, dan  musiman 2%. Di Getas, lahan musiman sampai 68,%  dari luas lahan.

Bantuan dana ICCTF di KHDTK Getas Ngandong lewat program IFFS seluas 500 hektar di delapan desa hutan. Dengan program ini, dia berharap, ada peningkatan pendapatan masyarakat hingga Rp3 juta per bulan perkeluarga.

Program ini meliputi, pengenalan jati bibit unggul, penngkatan kapasitas petani, dan perbaikan tata kelola hutan. Juga pengelolaan hutan berbasis desa, dalam mendukung keseimbangan ekosistem.

“Kalau ada hutan sudah telanjur dibribik masyarakat, nanti kita atur dengan zonasi.  Sebanyak 15-20% untuk pertanian intensif. Ada zona penyangga, dekat permukiman akan jadi pendongkrak kesejahteraan masyarakat. Yang jauh dari permukiman untuk perlindungan ekosistem.”

Dalam catatan ICCTF, program mitigasi berbasis lahan di Getas dan Ngandong ini selain meningkatkan produksi pangan, hemat air juga stok karbon naik 1,34 ton per hektar ketika tanaman berumur satu tahun, mencapai 48,75 ton per tahun pada tahun ke-10.

Sudaryanto perwakilan ICCTF berharap, pola pertanian terpadu bisa menjaga hutan dari ancaman kerusakan lebih lanjut.

 

Longsor, salah satu penyebab hutan atau lahan gundul. Foto: Nuswantoro

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,