Kanker Itu Merenggut Kehidupan Puntung untuk Selamanya

 

 

Puntung, badak sumatera betina yang berada di Sabah, Malaysia, tepatnya di BORA (Borneo Rhino Alliance), pergi untuk selamanya. Kanker sel squamosa menyebabkan badak usia 25 tahun itu harus meninggalkan kehidupannya di bumi lebih cepat, di pagi 4 Juni 2017.

Pihak BORA, sebagaimana di situs resminya mengatakan, euthanasia adalah pilihan berat yang harus dilakukan, untuk mengakhiri penderitaan Puntung. Meski perawatan melalui kemoterapi, radiasi dan operasi eksisi merupakan hal yang paling memungkinkan, akan tetapi kesejahteraan Puntung dalam menjalani hari-harinya merupakan pertimbangan utama yang harus dikedepankan.

Bentuk perawatan tersebut, dipastikan akan membawa rasa sakit tak terperi pada Puntung, meski memberikan harapan hidup beberapa bulan ke depannya. Namun, tipikal badak sumatera yang butuh berkubang dalam lumpur, sekitar enam jam sehari, akan membuatnya tersiksa jika harus berada di ruangan bersih yang tertutup.

 

Baca: Upaya Terakhir Penyelamatan Badak Sumatera

 

Kehidupan yang bebas dari penyakit akut tersebut tidak mungkin dilakukan. Sehingga, pilihan sulit dengan mengakhiri penderitaannya melalui euthanasia akan memberikannya kedamaian. Meski sulit untuk dilakukan. Euthanasia adalah praktik pencabutan nyawa kehidupan manusia atau satwa yang dikenal dengan istilah suntik mati, melalui cara yang tidak menimbulkan rasa sakit. Atau, menimbulkan rasa sakit yang minimal. Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda di setiap negara.

Sejatinya, euthanasia dilakukan terhadap Puntung pada 15 Juni 2017. Namun dipercepat akibat tumor ganasnya makin membesar, menutupi lubang hidung. Puntung menderita, akan rasa sakit yang teramat hebat.

 

Puntung yang semasa hidupnya harus menjalani hidup yang berat, dijerat pemburu, kehilangan bayi, dan menderita kanker. Foto: BORA

 

Kesehatan Puntung menurun sejak 28 Mei 2017, meski sebelumnya, pada 19 April 2017, operasi dilakukan. Dua gigi molar dan satu gigi premolar rahang kirinya berhasil diangkat/ekstraksi selama operasi dua jam dua puluh menit itu. Sempat muncul harapan, kesehatan Puntung pulih sebagaimana sedia kala, dikarenakan akumulasi bakteri pada geraham tersebut telah diangkat.

Namun, bengkak pada pipi kiri yang awalnya diduga akibat radang akar gigi itu membuatnya sekarat. Pembengkakan berlanjut. Kanker sel squamosa, penyakit yang menyerang, menyebar lebih cepat dalam beberapa minggu terakhir. Para ahli dari berbagai negara yang memang pakarnya sepakat menyatakan, tanpa atau dengan perawatan, penyakit tersebut memang memiliki bahaya tingkat tinggi.

Puntung tidak lagi bisa bernafas melalui lubang hidung sebelah kirinya. Tidak juga bisa bersuara, pertanda sakit yang begitu luar biasa. Selain obat penghilang rasa sakit, tidak ada cara lain yang bisa dilakukan.

Augustine Tuuga, Sabah Wildlife Department Director, sebagaimana dilansir dari New Straits Times, menjelaskan Puntung tidak bisa lagi bersuara dan kondisinya menurun drastis. Tidak ada hal lain yang dapat kami lakukan kecuali menyetujui saran para ahli medis, memberikan otoritas pelaksanaan euthanasia. “Ini adalah keputusan teramat sulit untuk dilakukan. Namun, inilah keputusan terbaik dari sejumlah pilihan yang sangat tidak menyenangkan,” ujarnya.

 

Baca juga: Delapan Individu Badak Sumatera Teridentifikasi di Kaltim, di Sabah Menuju Kepunahan

 

Kematian Puntung tak pelak menimbulkan kesedihan mendala bagi mereka yang terlibat dalam kehidupan badak seberat 520 kilogram tahun ini. Para pegiat konservasi yang memantau kehidupan liar Puntung di hutan Tabin 2007 berhasil menangkapnya pada 2011 dan membawanya ke BORA. Saat itu, Puntung berhasil diselamatkan dari kejaran pemburu, meski kaki kirinya harus diamputasi satu, akibat jerat, yang mendasari namanya.

 

Puntung dalam kenangan. Foto ini diambil oleh Saving The Survivors – NPC saat Puntung diselamatkan di hutan dan kejaran pemburu. Foto: Facebook BORA/Saving The Survivors – NPC

 

Nasib pilu juga dialami Puntung ketika ia hamil di alam liar, namun secara tragis ia harus kehilangan bayinya itu. Bahkan, komplikasi kehamilannya tersebut mengakibatkan ia menderita kista rahim. Namun, Puntung terus bertahan untuk hidup hingga maut menjemput.

Kini, hanya tersisa dua individu badak sumatera di BORA. Tam, kependekan dari nama Kertam, adalah badak sumatera jantan seberat 650 kilogram, usia 30 tahun. Juga, Iman yang merupakan badak betina. Dia ditemukan di Lembah Danun, menghuni BORA pada Maret 2014.

 

Operasi penanganan penyakit Puntung yang dilakukan 19 April 2017. Kini, hanya tersisa dua badak sumatera yang ada di BORA. Foto: Fcebook BORA

 

Jenis penyakit

Zulfi Arsan, Dokter Hewan Suaka Rhino Sumatera (SRS) Taman Nasional Way Kambas, Lampung, kepada Mongabay Indonesia menuturkan, kanker yang menyerang Puntung adalah kanker sel squamosa atau Squamous Cell Carcinoma. Awalnya, diperkirakan Puntung hanya menderita radang akar gigi, sehingga dilakukan ekstraksi beberapa gigi gerahamnya. Namun, berdasarkan analisis, akhirnya diketahui bila penyebab penyakitnya itu adalah kanker sel squamosa stadium 4.

“Mengenai apa yang menyebabkannya, belum diketahui pasti. Ini sepertinya, kasus pertama pada badak sumatera,” tuturnya kepada Mongabay Indonesia, Kamis, 22 Juni 2017.

Zulfi melanjutkan, persoalan kanker, kemungkinan semua badak bisa saja menderita hal tersebut. Hanya saja, prevalensinya sangat kecil. “Dari catatan sejarah badak sumatera yang berada di penangkaran (cavtive), memang ada beberapa gangguan kesehatan yang berakibat fatal, sehingga harus diwaspadai. Penyakit tersebut berupa infeksius dan non-infeksius.”

 

Zulfi Arsan saat memeriksa kesehatan Delilah. Foto: SRS-YABI

 

Untuk penyakit infeksius ada yang dinamakan Salmonella. Penyakit ini mematikan, karena menyebabkan diare yang berimplikasi dehidrasi hebat, akhirnya berujung kematian. Ada juga Trypanosomiasis, penyakit parasit darah yang menginfeksi sel darah dari hewan yang menderita sehingga menyebabkan kematian.

Kedua penyakit ini disinyalir penyebab matinya tujuh individu badak di Sungai Dusun, Malaysia, awal tahun 2000-an. “Serta, beberapa penyakit non-spesifik lainnya seperti cacingan dan bakterial lainnya.”

Sedangkan jenis penyakit non-infeksius ada yang disebut Iron Storage Disease atau dikenal Haemosiderosis. Bentuknya berupa gangguan metabolisme zat besi di dalam tubuh badak sehingga terjadi penumpukan zat besi di organ-organ dalam, terutama hati dan ginjal. Kondisi ini menyebabkan kematian bila terjadi dalam jangka waktu lama alias menahun dan banyak terjadi pada badak browser (badak hitam dan badak sumatera) yang hidup di kebun-kebun binatang.

Berikutnya, ada penyakit Squamous Cell Carcinoma. “Penyakit ini sebagaimana yang diderita Puntung, dan baru tercatat satu kasus saja.”

 

Delilah, badak sumatera betina yang lahir di Suaka Rhino Sumatera, Lampung, dari pasangan Ratu dan Andalas, 12 Mei 2016. Nama Delilah diberikan langsung Presiden Joko Widodo. Foto: Rhett Butler

 

Zulfi kembali menuturkan, untuk penyakit Squamous Cell Carcinoma, pengamatan terhadap tengkorak-tengkorak badak sumatera tua (di atas 30 tahun) yang ada di Indonesia telah ia lakukan. Sebut saja Najaq, Torgamba, Dusun, dan beberapa sampel yang ditunjukkan Rhino Protection Unit, semuanya mengalami periodontal disease. Yaitu, terjadi penumpukan plak pada tepian gigi serta adanya lubang di antara akar gigi keempat, sehingga terjadi penumpukan sisa-sisa makan.

Jika terjadi infeksi akan timbul rasa sakit di mulut yang menyebabkan nafsu makan berkurang atau berhenti. Kurangnya nutrisi ini akan membuat badak lemah dan berujung kematian. “Dugaan saya, mungkin ini satu hal spesifik yang terjadi pada badak tua, atau mungkin juga seleksi alamnya.”

Apakah badak sumatera yang ada di SRS berpotensi juga terjangkit penyakit? Zulfi mengatakan, potensi tersebut memang sangat mungkin terjadi. Untuk mencegahnya, beberapa protokol biosecurity telah diterapkan. Diantaranya adalah pengecekan harian; pemeriksaan sampel darah, feses, urine dan material biologik lainnya secara mingguan/bulanan; membatasi kontak langsung antara badak dengan orang yang belum diketahui status kesehatannya; disinfeksi kaki tiap kandang; serta penjaminan kualitas dan kuantitas pakan badak.

“Selain itu juga, protokol pemeliharaan kami terapkan sebisa mungkin guna mengakomodasi perilaku alami badak sumatera, agar tidak stres. Termasuk, secara ketat membatasi berbagai pihak yang ingin berkunjung,” tutur Zulfi.

 

Tam, badak sumatera jantan, yang hidup di BORA. Foto: BORA/Chrisa

 

Sebagaimana yang pernah dituturkan Haerudin R. Sadjudin, ahli badak sekaligus Program Manajer Yayasan Badak Indonesia (YABI), keberadaan badak sumatera di Sabah, Malaysia, saat ini memang menuju kepunahan. Sekitar 1980-an, di hutan Sabah diperkirakan masih ada badaknya. Namun sekarang, sudah tidak ada sama sekali. Di Semenanjung Malaysia, badak diperkirakan telah punah meski belum ada pengakuan resmi.

Berdasarkan catatan, dalam tiga dekade terakhir, dibandingkan kelahiran, badak sumatera justru banyak yang mati, baik di alam maupun di penangkaran. Pada 1984-1985, sekitar 22 badak sumatera ditangkap di Semenanjung Malaysia dan Sabah untuk kegiatan penangkaran. Namun, yang tersisa di Borneo Rhino Sanctuary (BRS), penangkaran badak di Tabin Wildlife Reverse, Lahad Datu, Sabah, hanya tiga individu: Tam (jantan) serta dua betina (Puntung dan Iman). Ketiganya dianggap sebagai subspesies terpisah yaitu Dicerorhinus sumatrensis harrissoni.

Ketiga badak ini ditangkap dari alam liar di Sabah antara 2008 hingga 2014, dibawah pengawasan Borneo Rhino Alliance (BORA), organisasi non-pemerintah yang dikembangkan Sabah Wildlife Department.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,