Dari Pemburu Jadi Pembibit Pakis Hutan di Kaki Gunung Raung

Masyarakat sekitar menyebutnya Mbah Kebo. Nama ini didapatkan dari pakis-pakis kebo yang ditanamnya dalam hutan kawasan kaki Kaki Raung, Banyuwangi, Jawa Timur.

Sebelum dikenal sebagai Kebo, pria bernama lahir Ariawan ini mengaku sebagai preman dan pemburu di kampungnya. Pegunungan hijau dan lebat dijelajahi untuk menguji nyali sekaligus menunjukkan kemampuannya menembak.

“Saya memburu untuk hiburan. Nembak burung, babi hutan, tupai, monyet,” kata Kebo yang perawakannya menunjang panggilannya ini. Tinggi, besar, dan gondrong. Kebiasaan ini berbalik ketika alam memanggilnya. Sejak dua tahun lalu ia bergabung dalam usaha rafting bersama teman-teman lainnya di Desa Sumber Bulu, Songgon, Banyuwangi ini. Namanya Karo Adventure. Berasal dari nama Kaki Raong atau bisa juga bahasa daerah yang artinya dengan petulangan.

 

 

“Pemuda lain yang senang nongkrong di jalanan, ganggu orang, dan minum-minum juga sekarang gabung mengurus rafting ini,” lanjutnya bangga. Ada yang senang menanam bunga di sekitar kaki gunung, membuat gantungan kunci sebagai souvenir wisata Karo Rafting, membuat lanskap taman, sablon kaos, dan lainnya.

Semua keterampilan mereka dicurahkan untuk makin memajukan usaha bersama yang memanfaatkan sungai berbatu di desanya. Termasuk mengembangkan ide dan beraksi bagaimana caranya agar kawasan sungai terus hijau. Hutan tetap rindang agar air lebih bersih disaring akar-akar pohon.

Pada musim tertentu, debit air sungai turun, dan ini menyulitkan keberlanjutan usaha rafting. Mereka mempelajari bagaimana agar debit air tetap terjaga.

Air sungai yang kerap keruh juga menjadi pokok perhatian komunitas ini. Salah satu penyebabnya, menurut Kebo adalah budidaya dan pengolahan sayuran selada air oleh masyarakat sekitar. “Nanam selada harus di air, 20-30 hari kemudian dipanen dan dicuci. Sawah berlumpur, mengalir ke sungai,” cerita Kebo.

Ia dan rekannya berpikir, usaha selada air ini harus dialihkan ke jenis sayuran yang lebih mudah dibudidayakan dan bernilai ekonomis tinggi. Agar warga lebih tertarik.

 

Jembatan bambu di atas sungai menuju kawasan rehabilitasi penghijauan lahan seperti pohon dan pakis hutan oleh kelompok Karo Adventure, Banyuwangi. Foto: Luh De Suriyani

 

Ketika berjalan di tengah hutan, perhatian Kebo jatuh pada pakis yang bisa hidup di bawah pohon pokok atau pelindung hutan seperti mahoni dan pinus. Sayuran ini juga enak dimasak. Menurutnya warga suka mengambil pakis dalam hutan namun tak menanaminya kembali. Alhasil mudah habis.

Kebo dan rekannya mulai membibitkan pakis berdaun lebar. Ia menunjukkan sebuah lahan milik Perhutani yang sudah ditanami pakis hasil pembibitan. Udara terasa sejuk, pepohonan lebat dan hijaunya tanaman pakis di bawahnya. Kelompok ini akan mencoba di sekitar lahan 5 hektar kerja sama Perhutani.

Dari lahan hutan di atas sungai ini pemandangan terlihat lebih lapang dan indah di pusat operasi Karo Adventure ini. Kendaraan yang baru tiba, parkir di area lebih tinggi. Di sana ada petugas parkir yang mengatur dan mengarahkan jalan menuju tempat tiket dan pemandu. Semua pemandu adalah anak muda yang diceritakan Kebo di atas. Warga sekitar yang terlatih mengarungi arus deras.

Pengunjung perlu menuruni jalan tanah berpagar menuju pondok-pondok makan dan istirahat. Adapos informasi biaya paket wisata, ada rafting, camping, dan lainnya. Jika tak ikut rafting, juga tak rugi ke sini.

 

Aliran sungai Bedeng, Banyuwangi, Jatim, yang berbatu dan berarus deras ini cocok untuk rafting dan tubing. Foto: Luh De Suriyani

 

Menikmati sungai dan teriakan senang para penunggang arus yang semangat tiba di garis finish. Perahu karet terbalik menumpahkan penumpangnya menjadi pemandangan rutin. Suara riuh teriakan histeris dan senang memecah kesunyian.

Turis dalam kelompok besar paling bergemuruh tawa. Misalnya menggoda perahu karet rekannya lewat dan menunggu momen mereka akan terjatuh ke air. Para pemandu terlihat cekatan, mengembalikan perahu dan mengajak penumpangnya melanjutkan sampai beberapa meter ke depan melewati jeram pendek di garis finish.

Sebuah jembatan menghubungkan sungai dan kawasan hutan adalah spot asyik melihat suasana rafting. Usaha ini disebut dimulai dengan satu perahu seharga Rp12 juta dan kekompakan warga mengembangkan secara kolektif.

Wisata rafting ini menjadi salah satu ekowisata di Songgon yang makin ramai setelah hutan pinus Songgon. Hutan pinus ini didandani dengan payung-payung warna warni, rumah pohon, dan atraksi lain. Kedua lokasi berdekatan. Hutan pinus juga dikelola warga setempat dengan semangat sama.

 

Masa kecil di Kali Badeng

Sudarmono, pengelola wisata Kaki Raong (Karo) Adventure ini tak asing dengan sungai yang makin ramai ini. Sejak anak-anak, mereka biasa mandi atau menggunakan batang pisang sebagai perahu. Bermain di bebatuan sungai dengan arus deras ini.

Kemudian ban dalam mobil digunakan untuk mengarungi derasnya arus. Istilahnya populernya kini river tubing. Eh, banyak peminatnya. Mulai lah ia tertarik mengembangkan arung jeram dengan perahu karet atau rafting. Sudarmono dan beberapa rekannya ikut pendidikan dan pelatihan arung jeram di Malang dan Surabaya.

Keterampilan penting di antaranya pertolongan pertama dan keamanan. Misal belajar tali temali, berenang, memberi nafas buatan, dan teknik penyelamatan lainnya. “Mental dulu dilatih. Menolong orang harus tenang,” ujar Sudarmono.

 

Pengelola Karo Adventure warga Songgon yang menggerakkan anak muda untuk mengembangakan ekowisata, kiri Sudarmono dan kanan Kebo memperlihatkan bibit pakis hutan. Foto: Luh De Suriyani

 

Sudarmono dan rekannya menyimpulkan sungai desanya cocok dikembangkan usaha rafting setelah mempelajari karakter sungai. Misalnya batu tak tajam, tidak ada lintah atau pacet. Permukaan jeram atas terlihat sempit tapi dalamnya luas. Debit air kecil tapi arusnya deras.

Ia senang Bupati Banyuwangi sudah melihat inisiatif warga ini dan mengapresiasinya. Ini dianggap upaya menggerakkan desa, dari warga oleh warga. Ketika usaha rafting makin memberikan penghasilan, mereka jadi lebih peduli dengan kelestarian lingkungan sekitar.

Misalnya saat debit air sungai turun jadi 50% ini dicari penyebabnya apa. “Ini kenapa? penanganannya bagaimana?” urainya. Saat musim hujan, tapi debit sungai kecil, kenapa?

Dulu sungai dilihat hanya sebagai aliran air yang membelah hutan dan desa. Airnya digunakan untuk bertani. Kini pepohonan dilindungi dan wilayah hutan terus dihijaukan. Ia menyebut jumlah pekerja kini 30 staf, 20 di antaranya pemandu.

Salah satunya Harianto, 27 tahun dari Dusun Sragi. “Paling puas kalau long trip, sekitar 4 jam mengelilingi desa dengan dua rest area,” ia fasih menjelaskan pada pengunjung. Ia merasa senang usaha ini makin berkembang karena membuat anak muda lebih produktif dan belajar tentang lingkungan.

Namun tantangan ekowisata adalah pengendalian alih fungsi kawasan hijau. Makin ramai turis biasanya membuat pengelola makin mudah mengalihfungsikan jalur hijau untuk akomodasi. Terlihat ada beberapa bungalow yang dibangun di pinggir sungai. Menginap di sini tentu mengasyikkan. Melihat aktivitas rafting dan udara sejuk hutan sekitar.

Ketika permintaan bertambah, bisa jadi makin banyak alih fungsi. Jika terlalu pikuk, pasti mengurangi keheningan dan timbul masalah baru. Misalnya limbah.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,