Sepuluh tahun lalu, tak ada yang menyangka jika bencana semburan lumpur yang muncul di sekitar lokasi penambangan Lapindo di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, akan mendatangkan cerita baru di masa kini. Cerita yang dibumbui rasa positif itu, kini melekat pada sebuah pulau bernama Lusi, yang letaknya di sekitar lokasi semburan.
Kehadiran pulau baru tersebut, ternyata memberi warna baru bagi masyarakat di sekitar Sidoarjo, yang bertetangga dengan Kota Surabaya, Ibu Kota Provinsi Jawa Timur sekaligus kota metropolitan terbesar ke dua di Indonesia. Pulau seluas 94 hektare itu, kini menjadi destinasi wisata baru bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Sebagai pulau yang baru terbentuk, Pulau Lusi ditangani langsung Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pengelolaannya di bawah Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) yang dipimpin Direktur Jenderal Brahmantya Satyamurti Poerwadi.
Pekan lalu, Brahmantya menceritakan ihwal pembentukan dan penamaan pulau yang terdengar eksotik. Menurut dia, pembentukan Pulau Lusi sudah mulai terjadi saat lumpur Lapindo menyembur di Porong. Semburan lumpur yang jumlahnya sangat banyak, mengalir ke sungai yang ada di sekitar Sidoarjo.
“Selama lima tahun lumpur yang meluap dibuang ke Sungai Porong, lalu aliran sungai mengantarkan lumpur yang kemudian membentuk pulau baru di pesisir timur Sidoarjo,” ucap dia.
Brahmantya menjelaskan, sebelum membentuk pulau baru, semburan lumpur terjadi dengan cepat dan jumlah yang banyak. Kata dia, selama lima tahun lumpur menyembur, tercatat 19 desa yang tenggelam.
Sebagai pulau yang terbentuk dari semburan lumpur panas, Brahmantya menyebut, di daratan Pulau Lusi tidak terdapat jenis tumbuhan apapun. Untuk itu, pulau tersebut kemudian menjalani proses reklamasi dengan cara menimbun daratan yang sudah ada, hasil kerukan sedimentasi lumpur.
“Penimbunan dilakukan di sekitar area pembuangan yang dikelilingi jetty (dermaga), sehingga membentuk hamparan tanah berbentuk pulau yang saat ini dikenal dengan sebutan Pulau Lusi,” tutur dia.
Penamaan Lusi sendiri, menurut Brahmantya, diberikan langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Nama tersebut, juga sudah terbiasa di telinga warga sekitar yang sejak pulau tersebut ada, memang biasa menyebutnya Lusi atau dengan nama lain: Sarinah.
Destinasi wisata
Setelah ditasbihkan sebagai pulau baru bernama Lusi, masyarakat yang tinggal di sekitar Sidoarjo mulai mengenalnya. Perlahan, pulau tersebut menjadi destinasi wisata baru di Jawa Timur, khususnya Sidoarjo.
Walau awalnya pulau terkesan gersang dan sepi karena tidak ada pepohonan dan penghuni manusia, namun setelah dikelola KKP, perubahan mulai terjadi. Brahmantya menerangkan, saat ini di atas pulau sudah terdapat berbagai jenis tanaman dan pohon.
Tak hanya itu, Brahmantya melanjutkan, di dalam pulau yang sudah direklamasi tersebut, kini terdapat Tambak Wanamina seluas 4,90 ha dari total lahan pulau yang ada. Kata dia, tambak tersebut pada awalnya dibangun untuk memantau perilaku biota ikan secara keseluruhan.
“Apakah ada pengaruh lumpur terhadap kehidupan ikan di muara. Berdasarkan pengamatan 3 (tiga) tahun berjalan, ikan dapat hidup dengan baik, bahkan telah memproduksi ikan bandeng,” ungkap dia.
“Sementara sisa lahan seluas 89,10 ha, hingga kini belum dimanfaatkan secara optimal,” tambah dia.
Akan tetapi, meski sudah menjadi destinasi wisata baru, Sekretaris Ditjen PRL Agus Dermawan menerangkan, sejak awal Pulau Lusi tidak didesain sebagai pulau wisata. Hal tu, karena sejak awal pulau terbentuk untuk menampung buangan lumpur panas dari Porong.
“Jadi kegiatan wisata di Pulau Lusi belum terkelola baik,” jelas dia.
Dengan fakta tersebut, Agus mengatakan, KKP akan menggandeng Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo dan masyarakat setempat untuk bersama mengelola Pulau Lusi. Pengelolaan akan difokuskan menjadi Kawasan Pusat Restorasi dan Pembelajaran Mangrove (PRPM).
“Yakni pengembangan wisata berwawasan lingkungan dengan tema pemanfaatan, penelitian dan pembelajaran serta pelestarian mangrove,” sebut dia.
Agus menjelaskan, untuk bisa mengelola lebih lanjut, KKP mulai mengambil pulau dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sejak 2015. Akan tetapi, proses pengambilalihan itu tidak berjalan cepat karena terkendala proses administrasi, berkaitan penilaian aset pulau.
“Selain itu, kendala juga muncul karena pengurusan kepemilikan atas tanah Pulau Lusi. Akibatnya, pengambilalihan benar-benar selesai pada Januari 2017.”
Selama proses pengamambilahan aset, Agus mengakui kalau KKP sudah mulai memberikan polesan fisik pulau sejak 2015. Polesan tersebut, berkaitan dengan status pulau yang akan dijadikan PRPM.
Untuk mewujudkan status pulau sebagai pusat konservasi mangrove, Agus menuturkan, KKP membangun jalur pejalan kaki (pedestrian track), jalur wisata mangrove (tracking mangrove), gazebo, menara pandang, kantor pengelola, rumah genset, toilet, dan instalasi pengolahan air bersih.
“Namun pengelolaan dan pelaksanaan kegiatan lanjutan terhenti, vakum pada 2016, dikarenakan menunggu kejelasan status proses alih fungsi lahan Pulau Lusi dari BPLS kepada KKP secara resmi,” papar dia.
Agar proses kepemilikan menjadi lebih jelas, Agus mengatakan, pada 2017 ini KKP akan melakukan sertifikasi lahan yang bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Selain itu, Ditjen PRL KKP juga mempersiapkan kelembagaan pengelolaan dan kelompok masyarakat, berkerja sama dengan Pemkab Sidoardjo dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur.
“Kerja sama itu untuk membentuk kelompok pengelola pemeliharaan berbagai flora dan manajemen aset yang sudah ada dan pengembangan ekowisata di Pulau Lusi juga harus memperhatikan kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat setempat,” ungkap dia.
Agus menegaskan, informasi keberhasilan pemanfaatan Tambak Wanamina yang ada di Pulau Lusi, ke depan akan menjadi salah satu potensi atraksi wisata yang akan dikembangkan KKP dalam konsep PRPM. Minawisata dapat dikembangkan dengan memanfaatkan kondisi pasang surut kolam untuk kegiatan pemancingan.
“Kedepan, pola silvofisheries dapat menjadi pilihan daya tarik ekowisata Pulau Lusi,” ucap dia.
Untuk diketahui, Pulau Lusi saat ini belum memiliki sarana sanitasi dan kebersihan yang memadai, demikian pula dengan keberadaan kios penjual makanan/minuman. Namun, untuk pengembangan ke depan sebagai destinasi ekowisata, akan disediakan sarana dan prasarana sanitasi/kebersihan, kios makanan/minuman, dan air bersih.
Jumlah pulau
Pemerintah Indonesia terus melakukan penertiban pulau yang ada di seluruh daerah dan membakukan jumlahnya secara detil. Sepanjang 2016, pulau yang berhasil ditertibkan dan diverifikasi jumlahnya mencapai 14.572 pulau. Seluruhnya, dibakukan sebagai wilayah kepulauan Indonesia.
Bryahmantya Satyamurti Poerwadi mengungkapkan, jumlah pulau yang berhasil dibakukan itu, sebagian besar di antaranya berasal dari jumlah yang sudah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebanyak 13.466 pulau.
“Selain itu, ada tambahan dari jumlah pulau yang diverifikasi pada 2015 sebanyak 537 pulau dan 749 pulau pada 2016,” ucap dia.
Dengan jumlah total sebanyak 14.572 pulau, Brahmantya mengatakan, Pemerintah Indonesia akan mendepositkannya ke PBB pada sidang UNGEGN yang berlangsung di New York, Amerika Serikat, Agustus mendatang.
“Tahun 2017 ini, kita juga akan tetap membakukan nama-nama pulau. Jadi, nanti saat sidang PBB kita dapatkan data total terbaru,” jelas dia.
Brahmantya menuturkan, didaftarkannya pulau-pulau ke PBB, tidak lain karena Indonesia ingin menjaga dan merekatkan kedaulatan negara. Dengan cara tersebut, diyakini kedaulatan bisa terjaga dengan baik.
“Kita ingin pulau-pulau yang ada, termasuk pulau kecil dan terdepan, bisa terdata resmi sebagai bagian Indonesia. Ini juga menjaga agar tidak ada negara lain yang memberi pengakuan terhadap pulau-pulau tersebut,” jelas dia.
Untuk diketahui, sidang UN GEGN (United Nations Group of Experts on Geographical Names) adalah sidang tahunan yang dilaksanakan salah satu kelompok pakar dari Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Ecosoc) yang membahas standardisasi nama-nama geografis baik di tingkat nasional maupun internasional.
Dalam periode lima tahun sekali, UN GEGN mengadakan konferensi PBB mengenai standardisasi nama-nama geografis di dunia. Pada sidang tahunan 2012, Indonesia telah melaporkan sebanyak 13.466 pulau ke PBB dan langsung ditetapkan pada sidang tersebut.
Pulau Terdepan
Sekretaris Direktorat Jenderal PRL Agus Dermawan, dalam kesempatan sama mengatakan, sejalan dengan program KKP yang akan menertibkan pulau-pulau di seluruh Indonesia, PRL menjabarkannya dengan memulai pengklasifikasian pulau-pulau kecil dan terdepan.
Sebelum 2017, kata Agus, jumlah pulau kecil dan terdepan adalah 92 pulau. Namun, itu akan berubah karena pada 2017 PRL akan menambah sebanyak 19 pulau lagi. Dengan demikian, total pulau kecil dan terdepan menjadi 111 pulau.
Selanjutnya, menurut Agus, ke-111 pulau tersebut akan segera dilegalisasi, diberikan nama, dan dikelola lebih baik lagi.
“Itu target kita di 2017 ini. Kita kelola melalui hak pengelolaan lahan (HPL), karena pulau kecil dan terluar kita ada 92 pulau, dan sudah didaftarkan lagi 19, jadi total 111 pulau,” jelas dia.
Agus mengungkapkan, untuk rencana pengelolaan ratusan pulau kecil dan terdepan yang akan dilaksanakan pada 2017, akan dilakukan melalui koordinasi antar-kementerian dan lembaga terkait. Dengan melakukan koordinasi, diharapkan akan ada keselarasan dalam menertibkan pulau-pulau tersebut.
“Kita identifikasi masalahnya bersama, kita samakan data, karena luasan semua pulau sudah ada. Kita crosscheck dengan kementerian/lembaga lain yang mempunyai fungsi planaloginya,” lanjutnya.
Di antara kementerian dan lembaga tersebut, Agus mengakui bahwa pihaknya juga berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menyelaraskan rencana maupun data.
“Selain itu, kita juga menggandeng Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan untuk melakukan valuasi pulau tersebut,” tandas dia.
“Sebanyak 111 pulau terkecil dan terluar ini adalah batas negara. Jadi yang diutamakan negara mau bangun apa di sana, sehingga kita tidak melulu bicara soal investor maupun ekonominya,” tandasnya.