Sawah Berbentuk Jaring Laba-Laba di Manggarai ini, Hanya Satu-Satunya di Dunia

Petani padi sawah hampir dapat dijumpai di 8 kabupaten yang ada di pulau Flores. Namun yang terbanyak berada sisi barat, di tiga kabupaten yang dulunya satu kabupaten Manggarai, sebelum dimekarkan menjadi Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat.

Namun bukan saja hasil sawahnya. Keunikan sawah di Manggarai seperti di Kecamatan Lembor Manggarai Barat, Cancar di Kecamatan Ruteng Manggarai dan Kampung Rawang, Kecamatan Lambaleda Manggarai Timur adalah pada bentuknya. Ya, sawah di area ini berbentuk seperti jaring laba-laba atau yang disebut lodok dalam bahasa lokal.

Bentuk sawah unik ini, bagi masyarakat Manggarai terkait dengan fungsi sawah yang terkait dengan pola pengelolaan lahan secara adat. Lingko, demikian sistem pembagian sawah disebut, merupakan tanah adat yang dimiliki secara komunal untuk memenuhi kebutuhan bersama masyarakat adat yang pembagiannya dilakukan oleh ketua adat.

 

Filosofi Lodok dan Jari Tangan

Marius Ardu Jelamu, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif provinsi NTT yang berasal dari Manggarai, menyebut sistem pembagian lahan sawah oleh leluhur Manggarai dilakukan secara berpusat. Dimana titik nolnya berada di tengah-tengah lahan ulayat yang akan dibagi-bagi.

Polanya dengan menarik garis panjang dari titik tengah yang dalam bahasa Manggarai disebut lodok hingga ke bidang terluar atau cicing. Filosofinya mengikuti bentuk sarang laba-laba, dimana lodok, bagian yang kecil berada di bagian dalam (tengah) dan keluarnya makin lama semakin berbentuk lebar.

“Kewenangan untuk membagi tanah komunal ada pada Tu’a Teno (ketua adat), awal pembagiannya dilakukan melalui ritual adat Tente atau menancapkan kayu teno di titik episentrum lodok. Saat darah kambing ditumpahkan diatas kayu teno, menandakan pembagian lahan tersebut sudah sah secara adat,” jelas Marius kepada Mongabay Indonesia (19/07). Sawah bentuk lodok, jelasnya hanya satu-satunya di dunia, dan suatu keunikan budaya Manggarai yang perlu terus dijaga.

Gregorius Kabor, seorang warga Cancar menjelaskan, Tu’a Teno atau ketua adat dan Tu’a Golo atau tua kampung umumnya akan mendapatkan bagian luas sawah yang lebih besar. Konon pembagian tanah ulayat mengikuti rumus moso (jari tangan) disesuaikan dengan jumlah penerima tanah warisan dan keturunannya.

 

Sawah jaring laba-laba yang dilihat dari puncak bukit Weol Cancar di bagian timur. Foto : Ebed de Rosary

 

Sesuai rumus moso sebutnya, pembagian tanah diprioritaskan bagi petinggi kampung beserta keluarganya, yang lalu diikuti warga biasa dari warga suku, baru setelahnya dari warga luar suku.

“Secara adat warga luar pun bisa memiliki lahan sawah dengan memintanya kepada Tu’a Golo atau tetua kampung. Caranya dengan membawa seekor ayam jantan dan arak atau Kapu Manuk Lele Tuak dan disahkan melalui sidang dewan kampung yang di pimpin Tu’a Golo yang disahkan oleh Tu’a Teno,” ungkap Goris.

 

Ramai Disambangi

Menurut Blasius Nogot, seorang warga Cancar sistem pertanian di Manggarai mulai dikembangkan sejak Raja Aleksander Baruk memimpin bumi Nusa Lale Manggarai di tahun 1931-1945. Raja saat itu amat mendorong pengembangan pertanian, termasuk dengan cara mengirim banyak rakyatnya untuk belajar menanam padi dan kopi hingga ke Singaraja Bali.

Sawah perdana di Manggarai terang Blasius, terdapat di Lingko Loro dekat Rentung dan Nugi dekat Cancar yang sejak awal pembagiannya pun tetap mengikuti pola lodok. Tempat ini sering disebut sebagai areal persawahan Sonto atau sawah contoh yang luasnya sekitar 100 hektar.

Terdapat 11 hamparan sawah lodok yakni Lingko Molo, Lingko Lindang, Lingko Pong Ndung, Lingko Temek, Lingko Jenggok, Lingko Lumpung, Lingko Purang Pane, Lingko Sepe, Lingko Wae Toso, Lingko Ngaung Meler serta Lingko Lumpung II yang ada di delapan kampung di Desa Meler, Cancar Kecamatan Ruteng yang semuanya bisa ditatap dari Puncak Weol.

Untuk mencapai puncak bukit, dari pondok milik Blasius, pengunjung harus menapaki 250 anak tangga yang dibuat dari tumpukan tanah yang menggunakan bambu sebagai penahan mengikuti jalan berbentuk zig-zag dengan memegang pagar bambu sebagai pegangan di pinggirnya.

 

Jalan menuju puncak bukit Weol di Cancar untuk menyaksikan sawah jaring laba-laba. Foto : Ebed de Rosary

 

“Jalan ini saya buat sendiri agar wisatawan tidak terlalu sulit mendaki puncak bukit dengan kemiringan sekitar 30 derajat sebab bila jalan tidak dibuat berkelok maka wisatawan akan kesulitan mencapai puncak bukit sejauh sekitar 400 meter,” tuturnya.

Jelas Blasius, jumlah kunjungan wisatawan ke lokasi sawah jaring laba-laba setiap hari bisa mencapai 50 sampai 100 orang dan meningkat di saat liburan sekolah dan hari raya. Sebelum ke puncak bukit Weol, wisatawan harus membayar 10 ribu rupiah seorang.

Warga juga tak ketinggalan menjual kerajinan tangan seperti kain sarung yang dijual seharga 300 sampai 500 ribu rupiah serta selendang dihargai 100 ribu rupiah.

“Wisatawan yang datang kebanyakan berasal dari luar negeri.  Setelah mengunjungi destinasi wisata di Labuan Bajo seperti pulau Komodo dan Rinca, wisatawan datang ke Cancar dan berkunjung ke kampung adat Wae Rebo di Kabupaten Manggarai,” jelas Maria Rista, salah satu warga yang terlibat dalam pengelola wisata.

Matthew Clark wisatawan asal Inggris bersama Fernanda Pala wisatawan asal Italia bersama ketiga temannya yang ditemui Mongabay Indonesia, mengaku takjub menyaksikan sawah jaring laba-laba di Flores yang katanya tidak ada di belahan dunia manapun.

“Ini pertama kali saya kesini, saya sangat suka tempat ini, tempatnya unik dan alami, masyarakatnya sangat ramah walaupun bahasa kita berbeda, saya suka Indonesia, saya suka Flores,”  ujar Matthew.

Untuk mengkases lokasi sawah jarring laba-laba di Cancar lebih mudah melalui Ruteng dengan jarak sekitar 20 kilometer dan bisa dicapai menggunakan kendaraan umum, serta dari Labuan Bajo berjarak sekitar 100 kilometer dapat ditempuh menggunakan bus penumpang dengan biaya sekitar 80 ribu rupiah.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,