Rayakan Kemerdekaan ala Petani yang Ingin Merdeka dari Tambang Semen

 

 

Langkah kaki Bambang Sutikno, berderap maju seirama gerakan tangan. Rompi warna krem bertuliskan “Selamatkan karst” dan caping bulat beruliskan “tolak pabrik semen,” dia kenakan.

Hari itu, Kamis, (17/8/17), pukul 8.00, Bambang bertugas sebagai komandan upacara. Ratusan peserta hadir di lembah perbukitan karst Desa Kedumulyo, Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Mulai dari petani, penelusur goa, pengacara, pesilat, dan pekerja seni. Hadir pula Inayah Wahid, Boedi Djarot dan Melanie Subono.

“Lokasi upacara merupakan tapak pabrik PT. Semen Gresik yang hengkang dari Karst Sukolilo Pati. Dari lokasi ini perjuangan menjaga karst Kendeng semakin kuat dan meluas,” kata Bambang, warga Desa Wukirsari dan anggota Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) ini.

Kain merah putih terbetang memanjang sekitar 17 meter dan kain hitam bertuliskan “Tolak Pabrik Semen di Jawa” di dinding karst, pada ketinggian sekitar 20 meter. Ia berhadapan dengan barisan peserta upacara.

Upacara diawali nyanyian lagu Indonesia Pusaka dan Bagimu Negeri oleh Boedi Djarot, Naomi Srikandi dan Melanie Subono. Terik matahari tak menyurutkan semangat.

Gunretno didampuk menjadi inspektur upacara. Ikat kepala hitam, baju dan celana hitam dia kenakan.

“Lapor upacara pengibaran bendera dan menjaga Pegunungan Kendeng tetap lestari siap dilaksanakan.” “Maju Indonesiaku, lestari Kendengku.” Begitu laporan komandan upacara kepada inspektur.

Suasana menjadi khitmat. Pandangan peserta tertuju pada tiga kartini Kendeng pembawa bendera merah putih. Mereka memakai jarit, caping tani dan kebaya hitam, tanpa alas kaki. Tembang Jawa mengiringi langkah mereka menuju perbukitan karst, untuk diserahkan kepada Sukilan.

Pakde tolong naik dan kibarkan bendera merah putih ini,” kata Gunarti, tokoh perempuan Sedulur Sikep, sembari mengalungkan bendera ke leher Sukilan.

Iyo tak naik dan kibarkan bendera iki,” respon Sukilan.

Sukilan naik tangga bambu di dinding  perbukitan karst. Tinggi sekitar 25 meter. Di atas bukit, Supadi menanti bendera untuk dikibarkan di atas bambu setinggi 10 meter. Pengibaran tanpa tali, namun Supadi harus memanjat sebilah bambu.

Lagu Indonesia Raya mengiringi Supadi mengibarkan bendera. Kaki mencengkram dan satu tangan memegang batang bambu sembari mengikat bendera. Hanya semenit, bendera berkibar di perbukitan karst.

“Merdeka Merdi Kawitan, kita harus tahu sejarah awal direbutnya negeri Indonesia dari kekuasaan Belanda. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya,” kata Gunretno memulai pidato.

Di hadapan peserta upacara Gunretno menyampaikan, seluruh rakyat Indonesia mengetahui sejarah, jika tidak, maka merdeka hanya dimaknai menghitung kekayaan.

“Kami, para petani tergabung dalam JMPPK bersama-sama para petani lain dari berbagai daerah di nusantara, dan masyarakat peduli kelestarian karst baik di Jawa maupun luar Jawa, bersatu padu merayakan kemerdekaan Indonesia secara hikmat dalam upacara rakyat.”

“Sebagai petani, sudah seharusnya kami tetap menanam, tetap memelihara ibu bumi agar terus ditatanami sampai kapanpun demi masa depan anak cucu kita semua,” kata Gunretno.

Inayah Wahid, memimpin doa pada upacara petani di Pegunungan Kendeng. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Dalam pidato Bung Karno pada peletakan batu pertama pembangunan kampus Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (kini IPB) pada 27 April 1952, bicara panjang lebar soal pangan dan masa depan bangsa.

“Pangan adalah hidup mati bangsa ini. Bung Karno lugas bicara perihal statistik pangan.”

Kini, Indonesia sudah 72 tahun merdeka, katanya, tetapi penindasan pada rakyat kecil, kaum marhaen, petani masih berlangsung. “Penindasan yang dibungkus kata pembangunan,” katanya.

Dia bilang, daerah dengan penduduk mayoritas bertani, sudah seharusnya berbagai kebijakan pembangunan mendayagunakan pertanian.

Pemimpin daerah, katanya,  berlindung pada peningkatan pendapatan, mengambil jalan pintas menjual berbagai sumber alam kepada pemodal.

Hutan-hutan beralih fungsi jadi hutan produksi agar bisa dieksploitasi. Kawasan bentang alam karst (KBAK) yang telah ditetapkan, diubah dan diciutkan demi bisa eksploitasi. Bahkan, kawasan karst yang jelas-jelas masuk kategori kawasan lindung geologi, dan harus dilindungi sesuai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) seperti Cekungan Airtanah Watuputih di Rembang,  tidak segera jadi KBAK.

“Mereka lupa yang menyediakan sumber air bagi mata pencaharian sawah-sawah, ialah gunung, termasuk karst,” katanya.

“Merdeka! Indonesia Jaya, Kendeng Lestari,” pekik Gunretno diikuti seluruh peserta upacara.

Inayah Wahid, putri keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga hadir pada upacara mengatakan, baru pertama kali ikut upacara bersama para petani penjaga karst Kendeng. Menurut dia, penting ikut upacara rakyat dibandingkan di istana.

“Upacara ini, mengingatkan dan menguatkan hati saya, bahwa yang menjaga kedaulatan negara ini sejatinya para petani, salah satunya di Kendeng. Jika bicara merdeka, petani selaku barisan terdepan yang berjuang dan membantu kemerdekaan bangsa ini.,” katanya.

Inayah berpesan pada pemerintah, agar berhenti bilang kelompok petani di Kendeng, menolak pabrik dan tambang semen, sama saja menolak pembangunan negeri ini.

“Jargon itu sangat menjerumuskan dan keliru. Petani Kendeng tak menolak pembangunan, mereka mengingatkan pemerintah, pembangunan tak bisa melawan alam.”

“Bohong jika bicara pembagunan tapi merusak alam dan tak jujur dalam proses perizinan. Ancaman bencana, semua bisa terkena dampak.”

Tak jauh beda dikatakan Asfinawati,  Ketua Umum YLBHI. Ini pertama kali dia ikuti upacara rakyat di Pati. Upacara ini merupakan pernyataan sikap bahwa sejatinya kemerdekaan didefinisikan dari sudut pandang dan kesejahteraan rakyat.

Kemerdekaan, katanya,  seharusnya dimaknai dengan terwujudnya keadilan ekologi bagi masyarakat dan lingkungan hidup, yang tergerus pertambangan dan perusahaan.

“Kehadiran kami merupakan simbol perlawanan, YLBHI berpihak pada rakyat tertindas dan terenggut haknya atas lingkungan dan penghidupan yang layak,”katanya.

 

Para seniman seperti Boedi Djarot dan Melanie S, menyanyikan lagu diiringi lesungan petani. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Menelusuri goa dan sumber air

Arif Aci Gapema bersama belasan rekan selaku penesulur goa memakai seragam cover all dan helm. Mereka juga ikutan upacara rakyat di lembah perbukitan karst Sukolilo.

Sehabis upacara pengibaran bendera dan makan bersama hasil pertanian warga, kegiatan dilanjutkan penelusuran goa, sumber air dan sungai bawah tanah.

Dia bersama rekannya ditunjuk menjadi pemandu warga dan tamu. Hanya berjarak 100 meter dari lokasi upacara terdapat Goa Lowo. Goa ini banyak kekelawar dan air menetes.

Satu kilometer dari lokasi upacara ada Goa Wareh. Aliran air deras keluar dari dalam mulut goa. Hari itu, ada ratusan warga mandi di Goa Wareh. Pipa-pipa air terpasang untuk menyedot air, untuk kebutuhan rumah-rumah warga. Tak pernah air mengalami kekeringan, walau dimusim kemarau.

“Air melimpah dan sumber air di Goa Wareh untuk ribuan warga, ternak dan mengaliri irigasi,” kata Arif.

Hanya sekitar 30 menit di Goa Wareh, penelusuran menuju Sumber Air Ronggo Boyo di Desa Branti, Kecamatan Kayen. Di lokasi itu merupakan tapak pabrik perusahaan PT. Sahabat Mulia Sakti, anak perusahaan PT. Indocement Tbk.

Inayah Wahid, Melanie Subono dan tamu lain, nampak serius mendengarkan Arif bercerita. Menurut Arif, tahun 2016, dia melakukan pembuktian sungai bawah tanah di Goa Pari, yang hanya berjarak 300 meter dari sumber air Ronggoboyo.

 

Goa Wareh, Sukolilo, sumber air melimpah. Apa jadinya kalau jadi tambang? Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Hasilnya, ada aliran sungai bawah tanah Goa Pari mengalir hingga sumber air Kali Gede. Jika sumber air Kali Kede hilang, sekitar 500 hektar lahan pertanian warga akan kesulitan air.

“Artinya, ada sungai bawah tanah di Goa Pari yang mengalir ke Kali Gede. Namun di dokumen Amdal tidak disebutkan,” katanya.

Penasaran dengan hal itu, Inayah dan Melanie ingin membuktikan sendiri keberadaan sumber air dan sungai bawah tanah itu. Dibantu rekan-rekan penelusur goa, dia masuk dan melihat sendiri aliran deras air sungai bawah tanah di Goa Pari.

Menurut Inayah dan Melanie, keduanya melihat langsung sungai bawah tanah yang jernih dan deras. Dokumen Amdal tidak memasukkan sungai bawah tanah. “Saya melihat langsung begitu kaya air di kawasan karst yang dianggap kering. Ini merupakan kebohongan besar,” kata Melanie.

“Negara ini katanya sudah merdeka. Iya masa’ tanah tak punya tapi air harus beli juga,” katanya.

 

Merayakan di Karst Gombong

Tak hanya JMPPK yang upacara bendera di lokasi kawasan karst. Persatuan Rakyat Peduli Karst Gombong (Perpag) juga melakukan hal serupa.

Menurut Lapio, Ketua Satu Perpag mengatakan, pengibaran sang saka merah putih di pegunungan karst dilaksanakan ratusan petani.  Harapan dan doa agar kedaulatan bangsa merah putih demi keutuhan kualitas sumber daya alam tetap terjaga.

Saat ini, katanya, Perpag masih berjuang demi keutuhan kelestarian KBAK Gombong Selatan agar tercegah dari korporasi tambang.

Perpag, kata Lapio, bertekad penyelamatan penuh dalam mempertahankan kelestarian ekosistem karst dari tipu-tipu pertambangan.

Pembakaran hutan juga terjadi baru-baru ini di Karst Gombong Selatan yang pernah dihijaukan warga dengan menanam lebih 11.000 pohon.

“Upacara ini meneguhkan, kami akan terus berjuang menjaga karst Gombong tetap lestari.”

 

Para penelusur goa usai upacara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,