Ternyata Banyak Masalah Dalam Raperda Zonasi Pesisir di Sulsel. Apa Saja?

Pemerintah kini tengah mendorong penetapan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Beberapa daerah provinsi sudah ditetapkan, namun sebagian besar masih dalam proses persiapan dan menuju penetapan, termasuk untuk RZWP3K Sulawesi Selatan.

Sayangnya, dalam proses menuju penetapan RWZP3K ini sarat dengan masalah baik dari segi proses dan subtansi ataupun dari segi kurangnya keterlibatan masyarakat di dalamnya. Bahkan di Sulsel, upaya percepatan RZWP3K ini dicurigai terkait dengan proses reklamasi untuk pusat perbelanjaan Centerpoint of Indonesia (CPI) dan penambangan pasir laut yang tengah berlangsung di perairan Kabupaten Takalar. Proses penentuan kawasan tambang pasir dinilai tanpa melalui analisis kelayakan.

“Kalau menyusun RZWP3K biasanya alokasi ruang itu dibangun dari analisis kelayakan. Di dokumen RZWP3K Sulsel yang ada sekarang itu tidak ada analisis kelayakan sehingga sejumlah kawasan kemudian ditetapkan sebagai kawasan pertambangan pasir laut begitu saja,” ungkap Yusran Nurdin Massa, Direktur Blue Forest, dalam sebuah diskusi di Kantor Blue Forest Makassar, Sabtu (19/8/2017).

(baca : Dari Diskusi Mongabay: Mengkritisi Draft Perda Zonasi Pesisir Sulsel )

 

 

Menurut Yusran, dalam analisis kelayakan ini dapat dihitung antara lain valuasi hutan mangrove ataupun seberapa besar dampak ekonomi dari pertambangan ini untuk daerah dan seberapa besar kerugiannya bagi perekonomian masyarakat.

“Itu perlu dikaji dan ahli memang penting ada di situ, makanya di Rapat Dengar Pendapat kemarin ada rekomendasi untuk pelibatan tenaga ahli yang lebih banyak. Jangan sampai pertambangan pasir itu hanya bisa dikeruk selama setahun valuasi ekonomi cuma Rp28 miliar tapi bisa merugikan hingga ratusan tahun dengan valuasi jauh lebih besar. Di RZWP3K yang ada saat ini itu tidak dikaji hal tersebut,” tambahnya.

Dalam kaitannya dengan penambangan pasir yang kini tengah berlangsung di pesisir Takalar, Yusran menilai ada pengabaian pada tuntutan-tuntutan masyarakat, termasuk ketika sebagian kawasan pantai Galesong, sekitar 19 ribu hektar, tiba-tiba dimasukkan sebagai kawasan tambang pasir dalam RZWP3K. Di saat yang sama proses perizinan untuk penambangan pasir terus berlangsung di tingkat kabupaten dan provinsi dengan total usulan telah lebih dari 10 ribu hektar.

“Kalau kita coba membaca dokumen-dokumen Amdal yang disusun oleh perusahaan-perusahaan tersebut, ada yang menuliskan bahwa sekitar 60 sampai 70 persen masyarakat tidak setuju dengan tambang tersebut, tapi kenyatannya proses perizinan tetap berlanjut. Ini juga yang perlu kita sikapi.”

(baca : Sarat Masalah, Aktivis Minta Pembahasan RZWP3K Sulsel Ditunda)

Menurut Yusran, jika dihitung secara kasar kebutuhan CPI untuk reklamasi dengan menggunakan pasir dari sekitar wilayah Galesong yang memiliki kedalaman pasir 2-4 meter maka lahan yang dibutuhkan hanya sekitar 1.000 hektar saja, jauh di bawah angka 19 ribu hektar sebagaimana yang ada dalam draft RZWP3K yang ada saat ini.

“Artinya apa, 19 ribu hektar yang ada dalam RZWP3K ini dipersiapkan untuk reklamasi skala besar. Tidak hanya untuk CPI saja. Kalau reklamasi besar di Makassar yang sudah dimandatkan RTRW itu hanya 4000 hektar. Jadi kemungkinan ini akan digunakan untuk reklamasi di tempat lain.”

(baca : Aksi Warga Takalar Menolak Tambang Pasir: Jangan Paksa Kami Menjadi Teroris)

 

Dalam semiloka tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Hotel Horison Makassar, 2-3 Agustus 2017, dibahas perlunya wali data dan kejelasan kelembagaan hingga ke tingkat daerah yang berwenang dan memiliki mekanisme adopsi dan verifikasi terhadap status dan fungsi wilayah kelola masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil dalam proses pembahasan Raperda RZWP3K propinsi Sulsel. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Tidak Sinkron

Menurut Ony Mahardika, Manajer Kampanye Pesisir, Laut dan Pulau Kecil WALHI dalam acara semiloka tentang “Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil” di Hotel Horison, Makassar, Rabu (2/8/2017) sebelumnya, masalah lain dari RZWP3K ini adalah ketidaksinkronan dengan berbagai kebijakan lain yang sudah ada sebelumnya.

“Kami menemukan ada beberapa kasus yang tidak sinkron. Pertama adalah bagaimana intregrasi antara RZWP3K dengan RTRW. Kita tahu bahwa pasca UU No.23/2014 maka ditariklah kebijakan pengelolaan laut ke provinsi. Daerah yang cenderung bermasalah dengan nelayan selalu lepas tangan. Kedua, sinkronisasi dan integrasi di mana di RZWP3K wewenang provinsi besar sekali, sementara di RTRW yang merumuskan adalah Pemkot dimana ada ketidakcocokan dengan RZWP3K,” ungkap Ony.

Menurut Ony, Walhi juga melihat RZWP3K ini cenderung tidak melibatkan masyarakat, temasuk masyarakat adat. Pelibatan masyarakat yang ada selama ini dianggap sebagai pelibatan semu dan tidak menjawab persoalan-persoalan yang ada di masyarakat dan hanya sebatas sosialisasi. Padahal harapannya, baik masyarakat ataupun LSM bisa dimasukkan sebagai bagian dari tim penyusun, tidak hanya sebagai objek kebijakan semata.

“Di sisi lain, kami juga melihat RZWP3K ini malah seperti keranjang sampah. Investasi apapun bisa masuk dan disesuaikan. Ruangnya diganti sesuai dengan kepentingan-kepentingan. Ini yang terjadi,” tambah Ony.

(baca : Kontroversi di Balik Reklamasi Pantai Makassar, Antara Kepentingan Rakyat dan Pengembang)

Menurut Imam Hanafi dari, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), dalam konteks penataan ruang, RTRW ataupun RZWP3K, ini lebih pada persoalan bagi partisipasi masyarakat dalam proses-proses perencaaan itu.

“Yang kami harapkan bahwa partisipasi itu bukan sekedar konsultasi publik. Hanya undang dan saling tanya jawab. Sementara subjek sendiri yang merupakan masyarakat di lokasi kadang-kadang tidak terlibat,” ujarnya.

Imam berharap dengan semangat keterbukaan yang ada saat ini peluang partisipasi masyarakat dibuka lebar, dan diejawantahkan lebih riil, misalnya dari penggalangan data, sampai perencanaan dan implementasi.

Ia menilai semua rencana pembangunan yang ada saat ini masih top down dimana kepentingan nasional seringkali dipaksakan di daerah. Benturan antara keinginan dan kepentingan pemerintah dan masyarakat masih sering terjadi.

“Ini kadang-kadang tidak sinkron, sehingga kita berharap dalam proses RTRW ataupun RZWP3K partisipasinya bisa lebih terbuka, khususnya dari proses penyediaan data.”

 

Pembangunan CPI, Makassar, Sulsel yang terus digugat Walhi karena dinilai tidak memiliki payung hukum yang jelas. Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum ada, sementara AMDAL yang masih berupa addendum. Foto: Wahyu Chandra

 

Imam menyitir kebijakan peta yang ada saat ini, itu indonesia belum memiliki peta status dan fungsi penguasaan oleh masyarakat baik yang berbasis darat maupun pesisir dan pantai. Sehingga pihaknya kemudian mendorong pemerintah agar kebijakan yang sudah terbuka proses dan implementasinya perlu lebih diriilkan di masyarakat.

“Dalam konteks ini setidaknya dibutuhkan ada proses sinkroninasi kebijakan, karena masih sering tumpang tindih. Antara kebijakan masih saling tarik menarik kewenangan. Itu dibutuhkan proses sinkronisasi antar kebijakan.”

Imam juga menyoroti masalah data yang sangat minim, bahkan Data Peta Status dan Fungsi Penguasaan oleh Masyarakat belum ada hingga saat ini. Yang ada hanya data dasar dan sektoral yang belum berbasis masyarakat.

“Kita ingin dalam konteks pembangunan ke depan, RTRW ataupun RZWP3K bisa lebih membuka ruang partisipasi masyarakat dari proses penggalangan data hingga perencanaan, sehingga ke depan proses pembangunan bisa lebih sinergis. Tidak ada konflik dan tumpang tindih, sehingga butuh dukungan banyak pihak.”

Menurutnya, fakta-fakta yang ada walaupun pengakuan ada tapi mekanisme teknisnya tidak ada. Khusus untuk pantai dan pesisir bahkan belum punya wali data ketika masyarakat membangun petanya sendiri, membangun informasi ruang, pantai, dan lain siapa wali data.

Wali Data sendiri adalah pihak yang bertanggungjawab tehadap data itu baik untuk menyediakan, menyimpan dan mengelola dalam proses pengambiilan keputusan.

“Agak ironis kemudian ketika partisipasi dibuka tapi datanya bukan dari masyarakat. Data kemudian disiapkan masyarakat tapi wali datanya tidak ada. Siapa yang akan mengadopsi ke RZWP3K dan RTRW tidak ada, sementara kebijakan satu peta sendiri 2019 diharapkan semua peta sudah terintegrasi. Sehingga ada satu data yang dirujuk oleh semua pihak. Ini penting bagi pemerintah untuk benar-benar memikirkan membuka seluas-luasnya peran masyarakat untuk partisipasi.“

Imam selanjutnya menyatakan perlu adanya wali data dan kejelasan kelembagaan hingga ke tingkat daerah yang berwenang dan memiliki mekanisme adopsi dan verifikasi terhadap status dan fungsi wilayah kelola masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,