Saat Masyarakat Adat Nechiebe dan Ormu Wari Berembuk Membuat Aturan Kampung Adat

Angin berdesir. Pohon-pohon berdiri membentuk benteng. Ombak samudera Pasifik memecah. Di batu-batu besar yang menjorok ke laut, anak-anak bermain di antara gemuruhnya ombak. Orang dewasa beraktifitas sebagaimana mestinya; mencari ikan atau mencari pinang.

Yoel Rate berjalan menuju balai adat. Lalu mengitari kampung. Dia adalah sekretaris kampung Nechiebe. Tangannya memegang megaphone. Dengan menggunakan pengeras suara, dia mengumumkan kepada masyarakat dan kepala-kepala suku, agar segera berkumpul di balai adat siang hari.

Inilah Nechiebe. Kampung adat dengan 225 jiwa penduduknya yang bermukim di pesisir, tepat menghadap ke laut lepas. Terletak di Distrik Raveni Rara, Kabupaten Jayapura. Untuk menuju Nechiebe hanya bisa ditempuh dengan speedboat selama satu jam lebih dari pasar Hamadi, Kota Jayapura.

Sejak kemarin para tetua adat sudah mulai berkumpul untuk membahas tentang aturan kampung. Pertemuan ini sempat tertunda karena menunggu Ondoafi atau pemimpin tertinggi dalam struktur adat di Nechiebe.

“Ondoafi sudah ada. Acaranya akan mulai siang hari. Juga akan hadir Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kampung, Kepala Distrik, dan ketua Dewan Adat Suku Imbi Numbay,” teriak Yoel.

Beberapa jam kemudian, ketika matahari mulai meninggi, acaranya berlanjut. Lima kepala suku marga hadir pada saat itu. Mereka mengikuti acara seremonial pembukaan penyusunan peraturan kampung. Setelah makan siang, masyarakat mulai antusias membahas peraturan kampung.

Gustaf Toto sebagai Ondoafi, menyampaikan permintaan maafnya kepada warga karena ia tidak sempat hadir pada malam sebelumnya. Sebab disaat bersamaan ia diundang pemerintah kabupaten untuk membahas wilayah adat Nechiebe.

Menurutnya, selama ini peraturan adat hanya seperti cerita yang kasat mata saja dan hanya menjadi pengetahuan lisan bagi masyarakat. Sehingganya perlu dibuat aturannya secara tertulis tentang bagaimana menjaga hutan adat, menjaga air, menjaga tempat keramat, menjaga laut, dan menjaga pegunungan Cyclops yang telah menjadi bagian dari masyarakat adat di Nechiebe.

“Termasuk juga bagaimana sanksi-sanksi adat yang mengatur masyarakat,” jelas Gustaf Toto.

Kehadiran Gustaf Toto sebagai Ondoafi di tengah-tengah mereka menjadi penyemangat tersendiri bagi masyarakat yang hadir. Pembahasan peraturan kampung berjalan alot, sebab sangat terkait erat dengan hak-hak ulayat masing-masing kepala suku. Mereka membahas satu persatu setiap peraturan yang akan dibuat beserta dengan sanksi-sanksinya.

 

***

 

Salah satu yang menjadi pembahasan mereka adalah mengelola kekakayaan alam di Nechiebe. Termasuk burung khas Nechiebe yaitu cendrawasih.

“Burung cendrawasih itu jahe. Burung surga. Adat sudah melarang pemanfaatan burung cendrawasih,” kata Monika Toto, tokoh perempuan adat Nechiebe.

Setiap pagi burung cendrawasih banyak bermain di hutan Cyclops. Namun perburuan menyebabkan semakin hilangnya burung yang juga merupakan lambang adat bagi orang Nechiebe.

Dari penjelasan Monika, warga kemudian membahas mengenai larangan dan denda adat pengambilan burung cendrawasih, baik yang dilakukan oleh masyarakat kampung adat dan orang yang datang dari luar kampung Nechiebe.

Tidak hanya cendrawasih, masyarakat juga membahas satu persatu satwa-satwa yang berada di dalam pegunungan Cyclops yang sudah dilindungi oleh adat, seperti kakatua jambul kuning, kus-kus totol, landak, dan satwa lainnya. Selain itu, dalam peraturan kampung, masyarakat juga menerapkan denda berdasarkan larangan yang diatur oleh negara yaitu Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

“Jika terbukti akan ada sanksi berlapis. Yaitu sanksi adat berupa tomako batu (kapak batu), ditambah denda sebesar Rp 25 juta. Serta sanksi berdasarkan Undang-undang konservasi yang diatur oleh negara sebesar Rp 100 juta,” ungkap Gustaf Toto.

 

Tokoh masyarakat dan kepala suku membuat peraturan adat kampung di Nechiebe. Foto: Chris Paino/Mongabay Indonesia

 

Selain membahas mengenai satwa, warga juga membuat aturan mengenai pembukaan jalan ke kampung, penebangan kayu sowang (Xanthosthemon novaguineense Valeton), pemanfaatan air dari pegunungan Cyclops, serta mengatur tentang ekowisata, terutama yang berkaitan dengan pengamatan burung cendrawasih.

Selain sumber daya alam yang ada di daratan, masyarakat juga membahas mengenai larangan dan sanksi adat sumber daya alam yang ada di laut.

“Masyarakat kita memiliki wilayah adat yang ada di laut juga. Sudah ada zona-zona berdasarkan wilayah pengelolaan yang diatur setiap suku,” jelas Gaspar Fouw, kepala suku marga Fouw.

Selama ini menurut warga, sering ada aktifitas penyelaman bawah laut yang dilakukan oleh wisawatan baik dalam dan luar negeri di wilayah adat mereka, namun tidak memberikan dampak sama sekali bagi kampung adat Nechiebe. Termasuk pemasangan rumpon tanpa izin adat.

“Juga tentang sampah plastik yang dibuang ke laut oleh kapal milik PT Pelni harus dimasukan dalam peraturan kampung adat. Kita akan datangi kantor mereka disertai dengan bukti-bukti foto ketika mereka membuang sampah ke laut,” usul salah seorang warga. Di perairan laut kampung Nechiebe memang menjadi jalur keluar masuk kapal penumpang, terutama milik PT Pelni.

Usulan itu disetujui oleh semua masyarakat termasuk para kepala suku marga dan Ondoafi.

 

***

 

Peraturan kampung adat mengenai pengelolaan sumber daya alama ini tidak hanya dilakukan di kampung Nechiebe. Namun juga dilakukan di kampung adat Ormu Wari. Kedua kampung ini saling berdekatan. Untuk mencapainya dari Nechiebe menggunakan speedboat dengan durasi sekitar 10-15 menit. Topografi kampung Ormu Wari sama seperti Nechiebe, masih berada dalam distrik yang sama, yaitu Distrik Raveni Rara.

Peraturan kampung adat yang dilakukan di dua kampung itu berlangsung bersamaan hampir sepekan. Di mulai dari akhir Juli hingga awal Agustus 2017. Antusias warga kampung untuk menjaga sumber daya alam, dan tempat-tempat keramat yang merupakan wilayah terlarang untuk dimasuki siapa saja amat terasa.

Sejak dahulu, Ormu Wari memiliki tiga sub suku besar; Yefei, Yoari, dan Trong yang hidup di lereng perbukitan Cyclops. Tiga sub suku besar ini adalah pembagian kekuasaan berdasarkan pemerintahan adat. Yefei membidangi pemerintahan adat, Yowari berkaitan dengan perang, dan Trong yang berkaitan dengan perekonomian.

Praktis Nechiebe dan Ormu Wari memiliki struktur adat dan pembagian suku berdasarkan keret atau suku marga yang sama persis. Sehingga pembahasan peraturan kampung adat kadang berjalan alot. Bahkan salah satu kelompok berdiskusi hingga pukul tiga dini hari.

“Karena ini menyangkut hak-hak ulayat dan pengelolaannya, menjaga tempat keramat, dan juga bagaimana menjaga pegunungan Cylops dari kerusakan,” ungkap Musa Nari, salah seorang warga di kampung adat Ormu Wari.

 

Di Kampung Ormu Wari, masyarakat membahas peraturan kampung adat tentang pengelolaan sumber daya alam. Foto: Ronald Kapisa.

 

Dalam pengaturan Dewan Adat Suku (DAS), baik Nechiebe dan juga Ormu Wari berada dalam DAS Imbi Numbay. Pembahasan peraturan kampung adat di kedua wilayah ini juga diikuti oleh perwakilan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, beserta Masyarakat Mitra Polhut (Polisi Kehutanan).

Richard Kalilago, pendamping masyarakat dan Community Outreach and Sustainable Development USAID LESTARI untuk program Papua di lanskap Cyclops menyebut peraturan kampung itu berupa draft yang kajian hukumnya akan dicek agar tidak bertentangan dengan peraturan daerah di atasnya.

“Jika sudah selesai semua prosesnya maka kami akan disosialisasikan kepada semua instansi yang terkait yang ada di Kabupaten Jayapura. Dengan demikian, Nechiebe dan Ormu Wari akan menjadi kampung pertama di Kabupaten Jayapura yang mempunyai peraturan kampung adat mengenai pengelolaan sumber daya alam,” ucap Richard.

Yafet Ikari, Kepala Kampung Ormu Wari, berharap peraturan yang semuanya berbasis nilai-nilai kearifan masyarakat itu akan menjadi alat untuk melindungi sumber daya alam dan harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat.

“Kampung kami ini kaya akan sumber daya alam, banyak potensi yang bisa dimanfaatkan. Peraturan kampung yang ada ini harus dipatuhi oleh masyarakat dan juga orang-orang dari luar yang datang masuk ke wilayah adat,” ujar Yafet Ikari.

Semoga dengan membuat peraturan kampung itu, kekayaan alam tetap terjaga menjamin masa depan keturunan mereka masih terjaga dengan baik di kaki pegunungan Cyclops.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,